Halaman 1



MEMBANGUN PUBLIK:
AGENDA DEMOKRATISASI
PASCA-ORDE BARU

Oleh Eep Saefulloh Fatah

(Disampaikan dalam acara "Deklarasi Agustus", 17 Agustus 1999, di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Acara Deklarasi Agustus dikelola bersama-sama dengan Rendra, Teten Masduki, Anggito Abimanyu, Sudjiwo Tedjo, Edi Haryono, dan Anto Baret.)




SEJARAH INDONESIA MERDEKA selama lebih dari lima dasa warsa adalah cerita tentang tiadanya posisi publik dalam Republik. Publik tidak pernah diposisikan sebagai faktor penting apalagi menentukan dalam proses politik dan pemerintahan. Publik terposisikan sebagai non-faktor. Maka sejarah politik Indonesia sepanjang kemerdekaan sejatinya bisa disebut sebagai sejarah Republik tanpa publik.

Sejarah selalu direkonstruksikan sebagai jejeran cerita orang-orang besar. Sejarah selalu diceritakan sejalan dengan peredaran nama-nama yang tidak mewakili institusi orang banyak atau publik. Sejarah tidak pernah dipahami sebagai hasil dari peranan kumpulan anonim melainkan selalu diasosiasikan dengan nama-nama besar para pahlawan. Lebih lanjut, umumnya pahlawan bahkan hampir selalu merupakan wakil dari kekuasaan yang menguasai orang banyak, bukan orang banyak itu sendiri. Bahkan pola penceritaan sejarah seperti itu telah berakar hingga jauh ke masa sebelum kemerdekaan.

Maka hampir tak ada perdebatan yang berarti di antara versi penceritaan sejarah Indonesia merdeka yang berbasis publik dengan versi yang berbasiskan elite, penguasa, orang besar. Para ahli sejarah sepertinya sudah bersepakat bahwa publik bukanlah aktor utama sejarah, bahkan aktor pembantu seklipun. Publik adalah figuran yang keberadaannya tidak menambahi carut-marut sejarah dan ketiadaannya tidak menimbulkan kehilangan.

Di antara begitu miskinnya perdebatan sejarah di antara versi propublik dan proelite, kita bisa menyebut sebuah contoh langka: Perdebatan Kahin dan Anderson tentang periode revolusi kemerdekaan, 1945-1949. Di satu sisi, Kahin memahami sejarah revolusi itu sebagai sejarah peranan orang-orang tua, elite. Di sisi lain, sang murid Kahin, Anderson, membantah versi elitis itu dengan versi populis, bahwa sejarah revolusi adalah sejarah tentang revolusi pemuda yang menggambarkan betapa para pemuda sebagai bagian dari publik memainkan peran menentukan. Ya, hanya menyangkut periode revolusi yang romantis-pendek ini perdebatan tentang versi sejarah Indonesia merdeka pernah terjadi dengan sengit di mana peranan publik (pemuda) ikut dipertimbangkan.

Selebihnya, sejarah tak pernah diceritakan sebagai hikayat rakyat melainkan legenda raja-raja. Ahli ilmu sejarah, Onghokham -- melalui studi-studi sejarahnya yang kritis -- pun menggambarkan betapa sejarah membuktikan bahwa Indonesia memiliki tradisi yang sangat panjang dalam hal pengisolasian rakyat dari kekuasaan. Sepanjang sejarah kekuasaan politik di Indonesia, rakyat tidak pernah menjadi pusat. Rakyat selalu menjadi korban dari proses politik dan pemerintahan yang berpusat pada penguasa.

Mengapa publik menjadi sesuatu yang seolah-olah tak bermakna dalam proses politik dan pemerintahan sepanjang sejarah kemerdekaan? Pertama, publik dalam pengertian yang sejati memang belum pernah ada di tengah Indonesia merdeka. Kedua, sistem politik yang pernah dibangun sepanjang Indonesia merdeka pada hakikatnya merupakan sistem sentralistik yang memberi ruang besar bagi elite dan menjauhkan unsur publik yang populis dari proses politik dan pemerintahan. Ketiga, akibat dari dua hal itu, politik tidak pernah bisa dikondisikan sebagai hubungan tawar menawar antara elite penguasa versus publik dalam kerangka mekanisme pertannggungjawaban publik (public accountability).

Menurut hemat saya, ketiga soal mendasar itulah yang bisa dijadikan potret buram demokrasi Indnesia sepanjang kemerdekaannya. Memetakan wilayah kerja demokratisasi pasca-Orde Baru berarti membuat anatomi mengenai ketiga hal di atas; dan mengagendakan demokratisasi berarti mengubah ketiganya. Dalam konteks ini, demokratisasi politik sebetulnya sama artinya dengan memposisikan publik dalam Republik.


(Lanjutan)