Halaman 2
Publik

Apakah sejatinya publik itu? Apakah setiap kerumunan massa dengan sendirinya dapat diidentifikasi sebagai publik? Apakah massa yang diam dapat disebut sebagai publik? Apakah publik dilahirkan secara alamiah dan begitu saja di semua sistem politik dan karenanya tidak perlu dibangun?

Publik yang sejati bukanlah kategori pasif melainkan aktif. Publik bukanlah kerumunan massa yang diam. Publik tidak pernah dilahirkan secara begitu saja dalam masyarakat melainkan selalu hasil proses bentukan sosial. Publik bukanlah sesuatu yang alamiah dalam setiap sistem politik, melainkan sesuatu yang harus dibentuk secara sosiologis.

Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Dalam konteks ini, ada atau tidaknya publik di satu tempat, dalam satu sistem politik, bisa diukur dari ada tidaknya kepekaan masyarakat di tempat itu terhadap penindasan. Dengan demikian, ketiadaan perlawanan pada bentuk-bentuk penindasan di satu tempat merupakan indikasi bahwa tak ada publik di tempat itu.

Karena itu, publik bukanlah kategori pasif melainkan aktif. Publik tidak ditandai oleh wujud fisik kerumunan manusia melainkan oleh ada tidaknya aktivitas politik dari kerumunan itu. Salah satu catatan buram kemerdekaan Indonesia selama ini adalah gagalnya proyek pembentukan publik semacam itu.


Sentralisasi dan Terabaikannya
Mekanisme Pertanggungjawaban Publik

Rezim Sukarno maupun Soeharto adalah rezim yang bekerja di atas prinsip sentralisasi yang menindas keanekaan, individu, komunitas, dan lokalitas. Soekarno di atas jargon revolusi yang belum selesai dan dengan kerangka Demokrasi Termpimpin. Sementara Soeharto dengan jargon pembangunan atau stabilitas dan pertumbuhan dalam kerangka Orde Baru.

Melalui Demokrasi Terpimpin, Sukarno menjalankan sentralisasi dengan biaya mahal berupa matinya demokrasi. Maka Sukarno, sekalipun dengan simbol-simbol populismenya, sejatinya mematikan publik. Soeharto dan Orde Barunya kemudian menjalankan praktik serupa dengan cara dan jubah berbeda. Memahami matinya publik dapat dilakukan dengan memahami rezimentasi yang dilakukan Orde Baru di bawah Soeharto.

Rezimentasi selama masa Orde Baru dapat dibagi ke dalam lima fase. Fase pertama adalah fase konsolidasi awal rezim (1967-1974). Dalam fase ini rezim Orde Baru baru saja terbentuk dan sedang menata aliansi di dalam dirinya secara internal. Dalam fase ini, Soeharto belum menjadi siapa-siapa, bahkan pada awalnya kurang diperhitungkan oleh banyak orang. Soeharto masih menjadi bagian dari kekuatan politik militer secara kolektif; belum menjadi kekuatan politik mandiri. Fase rezimentasi ini tersokong oleh kemenangan mutlak Golkar -- memperoleh 62,8% suara -- dalam Pemilu 1971 yang dipenuhi represi, mobilisasi, serta ketiadaan kompetisi terbuka dan sehat.

Peristiwa Malari 1974 kemudian melangkahkan kaki Orde Baru ke fase kedua (1974-1978). Dalam awal fase kedua ini, Soeharto disadarkan bahwa kedudukan politiknya sebagai presiden dan penguasa sebetulnya goyah dan sangat rentan oleh konflik intra-elite negara -- sebagaimana tercermin dari konflik Soemitro-Ali Moertopo. Maka Soeharto melakukan seleksi-ulang orang-orang di sekelilingnya dan memperkuat posisinya sebagai kekuatan politik mandiri.

Jika dalam fase pertama terjadi penyingkiran elite politik gelombang pertama (Nasution dkk), maka dalam fase kedua terjadi penyingkiran elite politik gelombang kedua dalam skala lebih besar dan dramatis (Soemitro dkk). Dalam fase ini Soeharto menata kekuasaan Orde Baru untuk mempertinggi soliditas penguasaan militer atas Orde Baru sekaligus mulai membangun dirinya sebagai kekuatan politik mandiri.

Munas II Golkar pada tahun 1978 di Denpasar menandai berhasilnya upaya Soeharto di atas dan membawa Orde Baru ke fase ketiga rezimentasi dirinya (1978-1985). Munas II Golkar itu menyepakati pembesaran kekuasaan Dewan Pembina yang memusat pada Ketua Dewan Pembina (Soeharto). Maka mulai saat ini Soeharto berhasil menjadikan Golkar sebagai instrumen politik yang langsung dikendalikan olehnya. Mulailah kekuasaan personal Soeharto terbentuk dalam rezim Orde Baru.

Faksionalisme politik di dalam elite politik mulai sulit terbentuk karena tidak diberi peluang pembentukannya oleh Soeharto. Fase ini bisa disebut sebagai fase personalisasi dan sakralisasi kekuasaan Soeharto. Konfigurasi kekuasaan Orde Baru makin mengerucut ke dalam tangan pengendalian Soeharto; elemen-elemen kekuasaan Orde Baru lain praktis sudah berada di bawah penguasaan Soeharto secara hampir penuh

Fase keempat rezimentasi Orde Baru terjadi antara 1985-1990. Awal fase ini ditandai oleh diundangkannya Paket UU Pembangunan Politik -- tentang partai politik, organisasi kemasyarakatan, pemilihan umum, susunan dan kedudukan MPR/DPR/DPRD, dan referendum -- yang melegalisasi format politik yang diinginkan dan dibangun oleh Soeharto. Dalam fase ini format politik Orde Baru yang otonom (dalam arti “antipartisipasi masyarakat”) dan sentralistis, bisa dikatakan “telah selesai pembentukannya”. Penguasaan Soeharto terhadap seluruh elemen kekuasaan Orde Baru makin menguat, terlebih-lebih setelah mulai terbentuk konglomerasi Keluarga Cendana.

Fase kelima (1990-1998) ditandai oleh dipakainya simbol Islam sebagai identitas baru Soeharto dan Orde Baru. “Islamisasi” -- dalam pengertian sekadar simbolik -- ini memberikan basis legitimasi moral bagi Orde Baru tanpa mengubah karakter kekuasaannya sama sekali. Maka dalam fase ini, terjadi perubahan basis dukungan politik bagi Soeharto. Kalangan Islam-politik menjadi pilar baru yang penting.

Fase ini juga ditandai oleh mulai munculnya tanda-tanda keretakan elite politik lantaran dua sebab: (1) konsekuensi dari naik daunnya tokoh-tokoh Islam-politik dan terkecewakannya tokoh-tokoh non-Islam-politik; dan (2) mulai rapuhnya usia biologis Soeharto yang membuat wacana suksesi kepempinan nasional -- beserta fenomena aliansi dan realiansi elite politik di dalamnya -- makin menjadi wacana umum. Sekalipun demikian, faksionalisme politik di tubuh elite tidak dapat menemukan peluang untuk mengemuka dan memperlihatkan dirinya secara tegas karena tertelan oleh sosok Soeharto yang -- dengan basis kekuasaan politik dan ekonominya -- sudah menjadi Haji Muhammad the untouchable Soeharto. Soeharto jatuh dalam posisi seperti ini.

Kelima fase yang dijalani Orde Baru di atas telah menghasilkan empat karakter operasi kekuasaan Orde Baru yang berpusat pada Soeharto. Pertama, sentralistis. Kekuasaan dikendalikan secara sentralistis dengan alasan pembangunan ekonomi dan stabilisasi. Kedua, personal. Setelah berkuasa selama 11 tahun (1967-1978) Soeharto berhasil mengambil alih kendali Orde Baru ke bawah tangannya. Kekuasaan kemudian mengalami personalisasi, terlebih-lebih setelah Soeharto -- melalui putra-putrinya -- juga semenjak pertengahan 1980-an meluaskan kekuasaannya ke wilayah ekonomi.

Ketiga, sakral. Kekuasaan yang telah mengalami sentralisasi, dan personalisasi, akhirnya tak terbendung -- sebagaimana telah banyak terbuktikan dalam hukum besi sejarah otoritarianisme di mana pun -- mengalami sakralisasi. Kekuasaan menjadi sakral, tidak bisa tersentuh, tidak bisa salah atau disalahkan, steril dari dosa. Kekuasaan yang sakral bahkan telah diposisikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah bukan fenomena kerja manusia biasa.

Akhirnya, keempat, otonom. Kekuasaan Orde Baru bekerja dengan menghilangkan peluang bagi terbentuknya publik serta bagi meluasnya partisipasi publik. Kekuasaan bekerja dengan logikanya sendiri; otonom dari kepentingan masyarakat. Sama halnya dengan Demokrasi Terpimpin-nya Sukarno, Orde Baru-nya Soeharto akhirnya bermuara pada matinya publik.

Sentralisasi kekuasaan itu, baik di masa Sukarno maupun Soeharto, menuntut biaya yang sangat mahal. Ada tiga biaya yang harus dikeluarkan untuk mendanai sentralisasi beserta instrumen-instrumennya: tidak tegaknya konstitusionalisme, terabaikannya etika dan moralitas politik; dan tidak berjalannya mekanisme pertanggungjawaban publik.

Penguasa, parlemen, partai politik, birokrasi, dan lembaga-lembaga politik lainnya tidak merasa perlu melakukan pertanggungjawaban pada publik. Publik diperlakukan seolah-olah tak ada dan tidak diperlukan. Publik hanya dimanfaatkan untuk membangun legitimasi semu melalui proses pemilihan umum yang juga semu.


(Lanjutan)