Halaman 3
Demokratisasi: Pendirian Institusi Publik

Memposisikan publik dalam Republik sebagai hakikat demokratisasi berarti mendirikan institusi-insitusi publik. Kehadiran institusi publik tidak dapat dirasakan melalui papan nama, label, atau pengatasnamaan. Kehadiran institusi publik terasakan melalui terakomodasinya kepentingan publik dalam proses dan hasil kerja institusi itu.

Partai politik an sich bukanlah institusi publik. Tetapi partai politik yang berorientasi pada kepentingan publik(-nya sendiri-sendiri) adalah institusi publik. Sebagai institusi publik, partai tak menggunakan mekanisme kedaulatan partai atau kedaulatan pengurus partai melainkan kedaulatan publik yang menjadi basis pendukung atau konstituennya. Demokratisasi menuntut partai politik yang ada sekarang menjadi institusi publik semacam itu. Partai-partai yang kemudian tinggi hati berhadapan dengan publik dan tuli pada aspirasi publik semestinya tidak memperoleh tempat dalam demokrasi.

Bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan, komite-komite aksi, dan institusi-institusi yang mengatasnamakan publik lainnya, an sich, bukanlah institusi publik sebelum mereka benar-benar menjadikan publik sebagai pelaku terpenting sekaligus orientasi di dalam aktivitasnya. Dalam konteks itu, membangun institusi-institusi publik berarti mereorientasikan berbagai organisasi dan komite itu sehingga tak lagi sekedar mengatasnamakan publik.

Bahkan parlemen, birokrasi dan lembaga-lembaga formal kenegaraan lainnya, pada sejatinya perlu dijadikan sebagai institusi publik. Mereka semestinya menjadi perpanjangan tangan publik sekaligus melayani kepentingan-kepentingan publik. Pun tentara. Menghentikan politik tentara merupakan langkah reorientasi tentara ke khittah 1945, yakni menjadikan kembali mereka sebagai tentara rakyat yang berjuang membela negara, bukan menyokong pemerintah belaka, dan karenanya berjuang menjadi pembela publik. Tentara yang menjadi musuh publik adalah tentara yang menyalahi kodratnya.

Pun oposisi, seyogianya dibangun sebagai institusi publik. Oposisi bisa efektif sebagai pendorong demokratisasi manakala mampu mempertahankan dua karakteristik utamanya: bekerja berbasis moralitas politik (tak sekadar anti-incumbency atau antipejabat yang sedang berkuasa melainkan prodemokrasi); dan otentik. Oposisi yang otentik adalah oposisi yang benar-benar berbasiskan publik. Oposisi menjadi otentik manakala ia atau mereka tak sekadar mengatasnamakan publik untuk membuatnya menjadi lebih gagah. Kurangnya dukungan masyarakat terhadap oposisi tiban yang berdiri beramai-ramai setelah Soeharto jatuh -- sementara mereka sendiri pernah menjadi bagian yang langsung dan nikmat dari kekuasaan Soeharto -- adalah konsekuensi dari ketidakotentikan oposisi.

Maka membangun institusi-institusi publik berarti mengelola tiga bentuk pergeseran serius dalam proses dan produk institusi-institusi sosial-politik-ekonomi-budaya yang sudah tersedia saat ini. Yakni pergeseran serius dari prinsip totalitas ke pluralitas, perwalian ke perwakilan, pemanjaan ke pertanggungjawaban.

Institusi sosial-ekonomi-politik-budaya mesti meninggalkan prinsip dasar kerja mereka yang lama, yakni prinsip totalitas. Selama ini institusi-institusi itu didirikan dengan tendensi menyeragamkan. Prinsip totalitas semacam ini mesti diubah menjadi prinsip pluralitas. Institusi justru berdiri untuk mewadahi keanekaan dan membiarkan keanekaan itu menjadi energi pokok dari pertumbuhan institusi. Partai politik, LSM, organisasi kemasyarakatan, komite-komite, parlemen, dan lain-lain seyogianya tumbuh di atas prinsip pluralitas seperti ini.
Prinsip kerja institusi sosial-politik-ekonomi-budaya juga perlu diubah dari perwalian ke perwakilan. Dalam prinsip perwalian, pelaku ekonomi-sosial-politik-budaya merasa lebih tahu dari publik -- bahkan dalam hal apa yang diinginkan publik itu -- karena itu mereka tak merasa perlu membangun hubungan intens dengan publik. Mereka menempatkan dirinya sebagai wali dari publik. Ini mesti diubah menjadi perwakilan publik. Setiap pelaku memposisikan dirinya sebagai representasi atau wakil dari publik dan karenanya merasa perlu untuk terus menerus berkonsultasi dengan publik bahkan ada di tengah publik yang mereka wakili. Begitulah aktivis partai politik dan anggota parlemen -- sekadar menyebut misal -- mesti memposisikan dirinya bukan sebagai wali tetapi wakil.

Dalam kerangka itulah, kerja institusi sosial-ekonomi-politik-budaya seyogianya diorientasikan dari model "pemanjaan publik" ke "pertanggungjawaban publik". Dalam model pemanjaan publik, para pelaku sosial-ekonomi-politik-budaya memanfaatkan keterbelakangan-keterbelakangan -- semacam ketidaksadaran dan ketidakberanian publik -- untuk kepentingan mereka. Ini seyogianya diorientasikan menjadi model pertanggungjawaban publik. Mereka justru memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus terus menerus mempertanggungjawabkan segala hal yang mereka lakukan pada publik. Para pemimpin misalnya, alih-alih memanfaatkan pemanjaan publik, justru mesti membangun hubungan pertanggungjawaban dengan publik. Pemimpin yang seenaknya saja mengambil sikap atau kebijakan publik tanpa memahami kepentingan publik mestinya tak diberi tempat lagi dalam demokrasi.


(Lanjutan)