Halaman 4
Demokratisasi: Merebut Ruang Publik

Memposisikan publik dalam Republik atau demokratisasi membawa tuntutan pekerjaan jangka pendek, yakni merebut dan menciptakan ruang-ruang publik. Sejarah demokratisasi yang sejati di mana-mana tidak pernah memperlihatkan adanya proses penghadiahan ruang publik. Ruang publik tidak pernah merupakan bingkisan melainkan sesuatu yang mesti direbut bahkan diciptakan.

Ruang publik adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, kebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi dan keadilan sistem hukum.

Perebutan ruang-ruang publik itu adalah agenda demokratisasi jangka pendek atau setidaknya menengah. Dalam kasus Portugal setelah Revolusi Bunga 1974, perebutan ruang publik dilakukan dan berhasil diperoleh selama sekitar tujuh tahun, dan kemudian dilanjutkan dengan konsolidasi sistem politik baru yang demokratis. Dalam kasus Filipina, perebutan ruang publik membutuhkan waktu satu periode kepemimpinan Presiden Cory Aquino semenjak 1986. Dalam kasus Afrika Selatan pasca politik Apartheid, perebutan ruang publik terjadi secara dramatis di bawah kepemimpinan Nelson Mandela dalam waktu yang lebih pendek. Dalam kasus Uni Soviet, perebutan ruang publik dalam bentuk gerakan Perestroika dan Glasnost terjadi dalam waktu yang lebih pendek lagi semenjak 11 Maret 1985 dan berujung pada runtuhnya Uni Soviet Komunis pada akhir dekade 1980-an.

Belajar dari pengalaman-pengalaman perebutan dan penciptaan ruang-ruang publik di sejumlah tempat di dunia dalam abad ke-20 ini, berarti menemukan beberapa pola. Pertama, pola revoluisoner. Sistem politik mengalami pergantian rezim secara total. Bisa total dalam arti seluruh elemen rezim baru benar-benar bersih dari unsur lama seperti di Afrika Selatan pasca politik Apartehid. Atau total dalam arti kepemimpinan rezim yang baru benar-benar menggalang rezimentasi yang bertentangan dengan rezim sebelumnya, seperti Uni Soviet di bawah Gorbachev. Dalam pola revolusioner ini perebutan ruang publik menjadi pekerjaan rezim baru yang bertaubatan nasuha.

Dalam pola ini ruang-ruang publik bisa ada dalam posisi rentan manakala pergantian rezim kembali terjadi secara total. Rezim baru bisa saja kembali menutup ruang-ruang publik yang sudah mulai terbangun. Dalam pola ini, keterjagaan ruang publik hanya mungkin manakala di tengah perubahan revolusioner itu tumbuh gerakan sosial yang punya kapabilitas memadai.

Kedua, pola persekutuan unsur reformis horizontal dan vertikal. Dalam pola ini, gerakan sosial membangun persekutuan horizontal (antarmereka) secara kuat dan bersekutu dengan agen-agen reformis dalam kekuasaan. Dalam pola ini, perebutan ruang publik dimungkinkan oleh adanya gerak persekutuan di antara kekuatan politik kaki lima (gerakan sosial) dengan kubu reformis dalam blok kekuasaan negara.

Ketiga, pola pertarungan vertikal. Dalam pola ini, perebutan ruang publik terjadi dalam bentuk gerakan sosial melawan kekuasaan atau rezim. Rezim yang bersikukuh makin lama makin terdesak oleh gerakan sosial yang menguat dan mengeras. Ruang-ruang publik terbangun sebagai buah keringat gerakan sosial.

Dalam ketiga pola yang tersedia, variabel yang senantiasa harus ada adalah gerakan sosial. Dalam konteks ini, penguatan gerakan sosial merupakan agenda demokratisasi yang sulit ditawar.


(Lanjutan)