Majelis Ketujuh
Tekad, 5 Oktober 1998


Dalam dua dekade terakhir Orde Baru, politik ABRI ditandai oleh tiga gejala penting. Pertama, ABRI makin terposisikan -- atau memposisikan diri -- sebagai instrumen dari kekuasaan personal Soeharto. ABRI sibuk dengan proyek-proyek pembentukan dan penguatan pilar-pilar bagi personalisasi kekuasaan.

Dalam posisinya sebagai instrumen kekuasaan Soeharto inilah ABRI kehilangan kepekaannya terhadap kepentingan publik dan terhadap keharusan pendewasaan politik bangsa. Alih-alih menjadi penyokong demokratisasi, ABRI justru menjadi salah satu benteng terkuat bagi status quo. ABRI pun kerapkali diposisikan berseberangan dengan kekuatan-kekuatan politik yang menuntut penegakan hak asasi manusia dan demokrasi.

Kedua, dwifungsi ABRI sebagai ideologi politik ABRI mengalami sakralisasi. Sakralisasi ini tidak berproses dalam kerangka konsep "Jalan Tengah"-nya AH Nasution melainkan dalam kerangka pembentukan kekuasaan Orde Baru yang berwatak sentralistik, paternalistik, dan  personal.

Maka wajah dwifungsi ABRI yang terbentuk dalam proses itu adalah dwifungsi yang distortif. Dwifungsi mewujud sebagai "ideologi sakral" -- dalam bahasa Riswandha Imawan, "konsep ilahiah" -- beserta atribut-atributnya yang distortif: pelanggar hak asasi manusia, pelahap porsi politik sipil, pensubversi proses demokratisasi, dan seterusnya.

Ketiga, dalam konteks dua gejala di atas -- menjadi instrumen Soeharto dan sakralisasi dwifungsi -- politik ABRI kemudian ditandai oleh banyak kekeliruan tetapi dibungkus oleh alasan atau justifikasi yang seolah-olah mulia. ABRI memainkan peranan dominan di bidang politik, ikut menyokong distorsi sistem politik, namun sambil menegaskan bahwa semua itu dilakukan untuk kebesaran bangsa dan negara.

Selama ini, ketiga gejala tersebut tidak pernah mengapung ke atas panggung diskusi publik lantaran terhambat oleh praktik pengekangan kebebasan politik yang luar biasa ketat. Ketika kekuasaan personal Soeharto runtuh di penghujung Mei 1998, hilanglah hambatan itu. Semua distorsi politik ABRI terkuak dan tak bisa disembunyikan lagi. Dalam kerangka itu, runtuhnya kekuasaan personal Soeharto seyogianya dipahami sebagai momentum yang sangat bagus untuk mulai mendiskusikan perbaikan sistem politik -- dan politik ABRI di dalamnya -- secara substantif dan mendasar. Reposisi, redefinisi, dan reaktualisasi dwifungsi secara serius adalah salah satu kebutuhan yang mencuat di balik itu.

Salah satu usulan cukup populer yang tampaknya layak diperhitungkan sekarang adalah menanggalkan dwifungsi ABRI. ABRI sudah selayaknya mulai memikirkan secara serius pembenahan profesionalismenya yang kedodoran sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan. Pada saat yang sama -- atas nama memberi jalan lapang bagi proses transisi menuju demokrasi -- ABRI semestinya meninggalkan lapangan politik secara bermakna.

Penanggalan dwifungsi ABRI merupakan sebuah usulan yang sebetulnya memiliki alasan historis dan situasional yang kuat. Secara historis, ada kebutuhan mendesak saat ini untuk memutus masa lampau secara tegas. Berbagai persoalan politik yang hingga sekarang masih terus mengganggu sebetulnya berakar pada masih tersisa cukup banyaknya unsur dan paradigma lama. Menanggalkan dwifungsi adalah sumbangan besar bagi upaya memutus masa lampau ini.

Selain itu, penanggalan dwifungsi adalah respons yang sangat tepat untuk siatuasi politik akhir-akhir ini. Sebagaimana ditampakkan oleh berbagai survei atau jajak pendapat, masyarakat mengalami perubahan persepsi tentang ABRI secara sangat dramatis. Dalam konteks ini, dwifungsi telah menjadi sesuatu yang menakutkan dan mengancam. Menanggalkan dwifungsi berarti peka pada kehendak publik yang sedang tumbuh dan menguat.

Yang terpenting, menanggalkan dwifungsi akan memiliki implikasi jangka panjang dan permanen yang sangat produktif bagi transisi dan konsolidasi demokrasi pasca-Orde Baru. Ia -- penanggalan itu -- bakal menyumbang proses penyehatan sistem politik.

Sekalipun memiliki alasan historis dan situasional yang kuat, penanggalan dwifungsi sejauh ini berhadapan dengan beberapa kendala-potensial. Pertama, kemungkinan tidak beraninya elemen-elemen formal penyelenggara negara untuk memformalisasi penanggalan dwifungsi lantaran masih tingginya daya-tawar-politik-formal ABRI saat ini. Kedua, kesulitan konsensus internal di kalangan ABRI untuk secara ikhlas meninggalkan doktrin yang sudah terlanjur disakralkan itu.

Ketiga, adanya suasana benci tapi rindu yang melekat pada sebagian masyarakat -- sebagai salah satu bentuk distorsi politik produk Orde Baru -- terhadap dominasi politik ABRI. Bahwa selain membenci kekeliruan praktik-praktik politik ABRI di masa lampau, sebagian mnasyarakat tampaknya masih merindukan kembalinya ABRI sebagai pengendali politik utama sebagai jalan pintas mengakhiri ketidakpastian dan instabilitas politik pasca-Soeharto.

Akhirnya, menanggalkan dwifungsi merupakan pintu masuk yang penting bagi ABRI untuk memasuki posisi dan peran baru sebagai penyokong demokratisasi. Peran yang bisa dibayangkan dalam konteks ini adalah menjadi katalisator proses demokratisasi: ABRI ikut memfasilitasi dan membantu sepenuh hati jalannya transisi menuju demokrasi sambil melakukan profesionalisasi dan meninggalkan panggung politik ketika demokrasi sudah terkonsolidasikan.

Jika posisi dan peran semacam itu dapat diwujudkan maka ABRI akan diingat sebagai majelis ketujuh -- setelah legislatif, eksekutif, yudikatif, pers, barisan oposisi, dan kampus -- yang menyokong transisi menuju demokrasi (the seventh estate of democracy). Tampaknya, inilah posisi terbaik yang bisa dibayangkan untuk ABRI saat ini.