Catatan untuk Hari ABRI (1)
Pudarnya Identitas Pejuang
Republika, 6 Oktober 1998


Terpuruk. Inilah penggambaran
yang tampaknya paling tepat untuk ABRI
di tengah ulang tahunnya ke-53.
Bersamaan dengan maraknya euforia reformasi
segera setelah jatuhnya Soeharto, hujatan
terhadap kekeliruan-kekeliruan politik
ABRI datang bertubi-tubi dari pelbagai penjuru.
Desakan publik untuk redefinisi dan
reposisi ABRI pun mengemuka dengan tegas.
Berbagai respons kemudian diberikan oleh ABRI.
Seminar tentang "Peran ABRI Abad XXI" di Sesko ABRI
Bandung (22-24/9/98) adalah salah satu
respons penting yang layak dicatat.



Merekonstruksi sejarah ABRI secara lebih jujur. Inilah semangat yang saya temukan dengan tegas dalam Seminar ABRI di Bandung, akhir September lampau. Semangat ini saya temukan pada hampir semua pemakalah -- kecuali Prof Bilveer Singh -- dan peserta seminar.

Fakta itu menegaskan bahwa sebuah kesadaran kolektif sebetulnya sudah tumbuh, yakni kesadaran semua kalangan bahwa perjalanan ABRI dengan dwifungsinya telah melewati fase kekeliruan serius dalam dua dekade akhir Orde Baru. Penjelasan terang benderang tentang soal itu datang dari Letjen (Purn) ZA Maulani yang berbicara pada sessi I (22/9/98) bersama Prof Bilveer Singh dan Indria Samego.

Maulani membagi perjalanan ABRI ke dalam empat periode. Periode pertama diletakkan dasarnya oleh Panglima Besar Soedirman, dimulai sejak kelahiran ABRI hingga dekade 1950-an. Dalam periode ini ABRI menempatkan diri sebagai aparatur negara, penjaga negara-bangsa, dan mengikhlaskan diri menjadi "pemadam kebakaran" dalam lapangan politik.

Dalam periode inilah ABRI menjalankan perlawanan bersenjata -- mendampingi perlawanan diplomasi politisi sipil -- di masa Revolusi Kemerdekaan yang romantik. ABRI kemudian melanjutkannya dengan berdiam di barak dan menjadi pemanagemen konflik-konflik kekerasan selama Demokrasi Parlementer.

Periode kedua dijalani ABRI sebagai kekuatan politik yang bermitra secara pro-aktif dengan kekuatan politik sipil. Inilah periode yang dasar-dasarnya diletakkan oleh Nasution ketika pada 11 November 1958 memperkenalkan konsep "Jalan Tengah". Dalam periode ini ABRI menghindari titik-ekstrem-keras sebagai junta militer sekaligus menghindari titik-ekstrem-lunak sebagai kekuatan yang sama sekali abai pada soal-soal sosial-politik. Menjadi kekuatan mitra politik proaktif dari sipil, dipahami sebagai posisi di antara dua titik itu.

Dalam konteks itulah ABRI membesarkan saluran dan basis dukungan politik (semenjak Konsepsi Presiden Soekarno 1957) serta membentuk basis infrastruktur ekonomi (semenjak Nasionalisasi Ekonomi 1958). Dalam periode itu pula ABRI menjadi kekuatan penyeimbang Partai Komunis Indonesia di bawah kendali hampir penuh dari Presiden Soekarno dalam Demokrasi Terpimpin.

Periode ketiga dijalani ABRI semenjak detik-detik akhir Demokrasi Terpimpin hingga satu dekade pertama Orde Baru. Dasar bagi periode ini diletakkan oleh generasi militer penegak Orde Baru. Dalam periode ini ABRI menjadi bagian dari penentu jalannya kekuasaan secara bermakna. ABRI menjadi tulang punggung sistem politik. Dalam periode ini ABRI adalah perancang bangun sistem politik dan ekonomi bersama-sama aliansi strategis Orde Baru: birokrasi, teknokrasi, dan pemodal.

Periode keempat dijalani ABRI dalam dua dekade akhir Orde Baru. Dalam periode ini format politik Orde Baru makin tegas mengarah menuju personalisasi kekuasaan di tangan Soeharto. Dalam konteks ini ABRI menjadi instrumen kekuasaan personal Soeharto. ABRI menjadi salah satu pilar penyangga personalisasi kekuasaan itu melalui berbagai bentuk aktivitas sosial-politik. Praktis, ABRI -- seperti dijelaskan dengan baik oleh Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah, salah seorang intelektual yang dimiliki ABRI -- terkekang di bawah kekuasaan yang paternalistik, feodalistik, dan sentralistik.

Dalam operasi kekuasaan personal Soeharto, ABRI menjadi tangan kanan untuk menciptakan "politik keamanan otokratis": Membangun stabilitas politik namun dengan membentuk rasa takut kolektif rakyat. Dalam posisi inilah berbagai praktik pelanggaran hak asasi manusia dan pemusnahan potensi-potensi demokrasi dijalankan oleh ABRI atas nama pembangunan.

Terposisikannya ABRI sebagai instrumen kekuasaan personal Soeharto beserta segenap distorsi yang diproduksi olehnya, merupakan fakta sejarah yang memperoleh pengakuan hampir bulat dari Seminar ABRI di Bandung. Boleh jadi, pengakuan kolektif ini mesti dipandang sebagai sebuah kemajuan berarti dalam rangka penyehatan format politik masa depan serta posisi dan peran ABRI di dalamnya.

Yang diperlukan kemudian, adalah dua kebutuhan lanjutan: mencari sebab-sebab keterjebakan ABRI pada posisi dan peran sejarah yang keliru itu secara jujur; dan menegaskan kemauan-kolektif sistem politik untuk mengubahnya sehingga sejalan (compatible) dengan kebutuhan transisi menuju demokrasi.

Mempelajari sejarah Orde Baru berarti menemukan beberapa sebab terjebaknya ABRI dalam posisi dan peran yang tidak produktif bagi demokratisasi. Pertama, sirkulasi kepemimpinan nasional mengalami kemandekan dalam rentang waktu terlampau lama. Soeharto bercokol terlampau lama di tampuk kepemimpinan nasional sementara regenerasi ABRI -- dalam tataran formal -- terus berjalan dengan cepat.

Itulah yang menyebabkan posisi tawar Soeharto dan ABRI makin tidak seimbang. Maka memasuki dekade kedua dan ketiga kekuasaan Soeharto, kepemimpinan ABRI diisi secara tegas oleh "adik-adik" dan "anak-anak" Soeharto. Dalam satu dekade terakhir Orde Baru, umumnya mereka yang diduduk dalam tampuk kepemimpinan ABRI adalah mereka yang memiliki utang politik besar pada Soeharto. Dengan leluasa, Soeharto pun menjadikan ABRI sebagai instrumen kekuasaannya.

Kedua, ABRI mengalami kelangkaan pemimpin yang kredibel. Jika di masa lampau, ABRI memiliki Soedirman, Simatupang, Nasution, Zulkifli Lubis, dan Ahmad Yani yang -- dengan segala catatan dengan kekurangannya -- memiliki keberanian untuk berkata "tidak" berhadapan dengan kebijakan pemerintahan yang dipandangnya keliru, maka dalam dua dekade terakhir Orde Baru kualitas pemimpin ABRI semacam itu menjadi barang langka. Bahkan Benny Murdani yang di masa Demokrasi Terpimpin berani menolak keinginan Sukarno yang hendak menjadikannya pimpinan Cakrabirawa, di masa Orde Baru tunduk pada -- setidaknya: tak bisa melawan secara efektif -- kebijakan-kebijakan Soeharto.

Ketiga, proses sakralisasi dwifungsi ABRI telah berjalan begitu jauh di kalangan ABRI (dan juga sipil). Inilah yang menjadikan ABRI terlelap menjadi instrumen kekuasaan personal Soeharto sembari tetap merasa menjalankan "peranan satria" -- sebagaimana diistilahkan Peter Britton (1996). Sakralisasi dwifungsi telah membuat ABRI menjalankan fungsi-fungsi sosial-politik distortif sambil seolah-olah menjalankan pekerjaan mulia untuk kebesaran bangsa dan negara.

Keempat, hilangnya mekanisme kontrol dalam sistem politik. Fakta ini tidak hanya ditunjang oleh gagalnya pembentukan institusi-institusi politik formal yang bekerja untuk demokrasi selama masa Orde Baru, melainkan juga lantaran dihilangkannya variabel publik dari sistem politik. Dalam konteks inilah keterjebakan ABRI dalam kekeliruan posisi dan peran politik menjadi kebablasan lantaran tidak terlawan dan tidak pernah disentakkan oleh alarm peringatan yang berarti.

Mengakui secara jujur sebab-sebab di atas berarti berkaca di cermin yang bersih. Yang kemudian muncul di balik itu adalah mendefinisikan secara kontekstual identitas diri ABRI sebagai "pejuang" dan prajurit. Sebuah cermin yang bersih ternyata memperlihatkan bahwa "prajurit" boleh saja menjadi identitas yang melekat secara otomatis di tubuh setiap anggota ABRI. Namun tak demikian halnya dengan identitas "pejuang".

"Pejuang" bukanlah identitas yang diwariskan dan melekat secara otomatis di tubuh anggota ABRI. Ia merupakan identitas yang harus diraih secara sudah payah. Masa Orde Baru membuktikan bahwa identitas kepejuangan -- yang dekat dan membela rakyat -- ternyata tidak berhasil direbut oleh ABRI dengan baik.

Karena itu, bagi ABRI, memasuki era reformasi dengan gagah, bukanlah dengan tetap meminta porsi peran sosial politik -- secara institusional -- di atas alasan identitas historis sebagai prajurit dan pejuang. Tetapi, membuktikan bahwa sebagai peajurit mereka memang berkehendak secara sungguh-sungguh menjadi pejuang.