Radikalisasi Pak AM,
Radikalisasi PPP
Adil, 18 Oktober 1998


Dalam beberapa pekan terakhir ini, Pak AM -- begitu biasanya Menteri Negara Pangan AM Saefuddin dipanggil -- menjadi sumber berita-berita panas halaman depan surat kabar. Ini diawali "celetukan" Pak AM pekan kedua September lalu.

Segera setelah Presiden Habibie membentuk satu tim khusus untuk memeriksa kekayaan mantan Presiden Soeharto, Pak AM "nyeletuk" bahwa percuma saja memerika Soeharto jika semua kroni Soeharto tidak ikut diperiksa. Mestinya, kata Pak AM, para bekas menterinya Soeharto, termasuk yang sekarang masih ada di kabinetnya Habibie, termasuk Presiden Habibie sendiri, ikut diperiksa.

Masih pada pekan kedua September, ketika media massa diharu-biru oleh keputusan Golkar untuk menarik kembali sejumlah menteri dari keanggotaan Badan Pekerja (BP) MPR, Pak AM lagi-lagi "nyeletuk". Sikap Golkar itu, kata Pak AM, setengah hati. Mestinya Golkar bukan hanya menarik para menteri dari keanggotaan BP MPR, melainkan dari keanggotaan MPR sekalian.

Kritik Pak AM untuk Golkar -- seorang menteri mengeritik Golkar tentu terdengar janggal di masa lalu -- berlanjut pertengahan Oktober ini. Pak AM dengan lugas mengatakan bahwa pihak yang paling berdosa di masa Orde Baru-nya Soeharto adalah Golkar.

Sebelumnya, ketika namanya disebut sebagai calon terkuat untuk jabatan Ketua Umum PPP menggantikan Ismail Hasan Metareum, Pak AM membuat berita yang lain. Ia menyatakan siap menjadi calon Presiden. Tidak hanya itu, ia juga menantang kandidat lain, seperti Amien Rais dan Megawati, untuk berdebat di depan publik untuk mengukur kesiapan mereka menjadi Presiden.

Berita yang paling menghebohkan yang dibikin Pak AM adalah ketika ia beberapa hari lalu "melempar bola api" -- begitu harian Merdeka mengistilahkannya. Pak AM mempersoalkan agama yang dianut Megawati sebagai sebuah persoalan yang mestinya mengganjal kemungkinan Megawati menjadi Presiden. Bola api ini dilemparkan Pak AM segera setelah foto Megawati sedang beribadah di sebuah pura Hindu di Bali, beredar di tengah masyarakat. Bahkan, soal agama Megawati ini diakui Pak AM makin menstimulasi dirinya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden. Supaya Indonesia tidak memiliki Presiden yang beragama Hindu, katanya. Dalam konteks ini, Pak AM menyatakan keyakinannya bakal mengalahkan Megawati.

Begitu atraktifnya Pak AM sebagai sumber berita, sehingga Dr Ayzumardi Azra, Rektor IAIN yang baru, sampai mengatakan bahwa Pak AM adalah kandidat pemimpin nasional yang mestinya lebih diperhitungkan sekarang, bahkan dibandingkan dengan Amien Rais sekalipun. Pak AM, kata Ayzumardi, mencuat ke atas ketika Amien Rais seperti kehilangan amunisinya sebagai pemimpin reformis yang konsisten.

Benarkah demikian? Sebegitu signifikankah langkah-langkah Pak AM sehingga kita mesti menantikan kehadirannya sebagai alternatif kepemimpinan nasional masa datang? Tidakkah ada tafsir lain atas radikalisasi Pak AM itu?

Saya ingin mengatakan bahwa radikalisasi Pak AM adalah sebuah radikalisasi bemasalah, setidaknya dilihat dari beberapa sisi. Pertama, radikalisasi Pak AM sebetulnya mesti dipahami sebagai masuknya Pak AM pada kebutuhan politisasi-jalur-cepat tatkala ia sedang dalam persiapan menuju kursi kepemimpinan PPP.

Dalam posisinya sebagai Menpangan, radikalisasi itu bisa memunculkan persoalan bagi publik. Radikalisasi itu terjadi di wilayah politik ketika publik justru menunggu "radikalisasi" Pak AM di wilayah kompetensi-profesional-fungsionalnya sebagai Menpangan. Orang lebih menunggu gebrakan Pak AM dalam mengatasi persoalan pangan yang sangat akut ketimbang gebrakan-gebrakan politik yang panas.

Kedua, radikalisasi Pak AM juga bisa dipersoalkan dari sisi subtansi. Ketika Pak AM melempar bola api, menggugat ketidakislaman Megawati, maka Pak AM sangat boleh jadi justru menampilkan citra politik kalangan Islam yang buram. Betapa bermasalah, menurut saya, mempersoalkan agama formal seorang calon Presiden, tanpa memperdebatkan terlebih dahulu dua soal lain yang lebih substantif: proses pemilihan Presiden yang demokratis, dan keotentikan para kandidat Presiden.

Demokrasi adalah semacam pasar bebas politik. Karena itu, mempersiapkan kemenangan politik kalangan Islam dalam pemilihan Presiden yang demokratis mestinya dilakukan dengan menyiapkan daya kompetisi kalangan Islam -- bukan dengan menyerang sisi religiositas "kandidat yang tidak diharapkan". Dalam konteks demokratisasi, mempersoalkan agama Megawati adalah kontraproduktif, karena memanjakan basis massa primordial yang selama ini bersikap sangat komunalistik. Alih-alih memanjakannya, adalah lebih roduktif mendidik basis massa semacam itu untuk menjadi massa rasional yang kuat.

Dalam konteks itu, sisi individual yang menurut saya leih substantif untuk dipersoalkan sejak awal, adalah tingkat keotentikan seorang kandidat Presiden. Bahwa ketika sang kandidat menyerukan sikap antikorupsi, maka ia sendiri memang bukan koruptor. Bahwa ketika sang kandidat menyerukan agar masyarakat membangun kehidupan yang bermartabat, maka ia sendiri memang dikenal sebagai seorang yang pandai menjaga martabatnya. Menurut saya, tanpa menggugat agama Megawati atau kandidat lain, Pak AM bisa bersaing dengan Megawati dalam sisi keotentikan semacam itu. Dari sudut pendidikan politik, berkompetisi di jalur keotentikan, adalah lebih bermakna.

***

Radikalisasi Pak AM bisa dipahami dengan baik jika ditempatkan dalam konteks radikalisasi PPP. Mesti diakui bahwa sepeninggal Soeharto, PPP adalah sisa-sisa institusi formal masa lampau yang mengalami radikalisasi paling serius dan konsisten. Prosesi persidangan BP MPR beberapa waktu lampau, bisa dijadikan salah satu indikasinya. Dalam sidang-sidang BP MPR -- sebagaimana saya ketahui serba terbatas melaui media massa -- PPP hampir-hampir sendirian dalam mempertahankan gagasan-gagasan perubahan radikal semacam menghapuskan kursi pengangkatan ABRI di DPR.

Radikalisasi PPP sepeninggal Soeharto itu adalah lanjutan dari radikalisasi yang sebetulnya telah terjadi semenjak 1995-1996, menjelang Pemilu 1997. Ketika itu, PPP memecahkan kebekuan politik dengan mencuatkan gagasan-gagasan menyentak. PPP menjelang Pemilu 1997 pun mengambil alih posisi yang pernah ditempati PDI menjelang Pemilu 1992: Menjadi partai yang mengeritik dengan nyaring kemapanan-kemapanan politik.

Namun, radikalisasi menjelang dan selama Pemilu itu kemudian dijalani oleh PPP secara tidak konsisten. Di tengah proses radikalisasi itu -- sekedar menyebut contoh inkonsistensi -- PPP me-recall Sri Bintang Pamungkas; dan  menjadi salah satu promotor bagi pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden pada SU MPR 1998.

Sampai dengan fase akhir masa Soeharto, radikalisasi PPP pun dipahami oleh publik yang kritis sebagai radikalisasi yang bermasalah. Jatuhnya Soeharto, memberi peluang bagi PPP untuk mengembangkan kembali radikalisasi dalam tubuhnya, bahkan dalam intensitas lebih tinggi. Persoalannya, di era pasca-Soeharto itu, menjadi radikal bukanlah sebuah keistimewaan. Radikalisasi telah menjadi sebuah kelaziman baru; ia terjadi pada hampir semua kalangan.

Karena itu, radikalisasi an sich sebetulnya belum tentu bermakna. Makna radikalisasi akan ditentukan oleh seberapa sejalan (compatible) substansi radikalisasi itu dengan proses pendidikan politik rakyat. Menjadi radikal semata-mata hanya akan membuat rakyat yang sudah memiliki amunisi kemarahan yang meluap, memperoleh pembenaran bahwa mereka bisa meluapkan kemarahannya dengan cara apapun. Saya hanya punya sebuah harapan sederhana: Pak AM dan PPP bersedia mempertimbangkan soal ini dan menampilkan bentuk radikalisasi yang memang benar-benar mencerdaskan.

Bandung, 18 Oktober 1998