Gigantisme Bernama Golkar
Tekad, 24 Oktober 1998


Golkar adalah sebuah fenomena gigantisme: Posturnya besar bak raksasa namun terbangun oleh berbagai penyakit. Gigantisme Golkar berakar pada kegagalannya sebagai sebuah eksperimen pluralisme. Sepanjang masa Orde Baru Golkar menjalankan model "pluralisme otokratis", yakni peluralisme yang ditumbuhkan melalui represi dan manipulasi politik. Eksperimen pluralisme yang keliru dan gagal inilah yang sekarang menghasilkan postur gigantis Golkar.

Dalam postur semacam itulah Partai Golongan Karya dideklarasikan pada 20 Oktober 1998 lampau, di tengah suasana ulang tahun ke-34 organisasi politik tulang punggung Orde Baru itu. Bagaimanakah kita memahami wajah baru Golkar sebagai partai politik? Bagaimana masa depannya?

Pada saat mendeklarasikan diri sebagai partai politik, Golkar sebetulnya tengah menjalani langkah-langkah awal menuju periode kelima perjalanan politiknya. Inilah periode yang berat dan krusial yang mengawali proses penyurutan daya tarik dan daya kompetitif Golkar dalam politik Indonesia -- sebuah proses yang secara sangat mirip telah lebih dulu dijalani PRI di Meksiko dan LDP di Jepang dalam beberapa tahun beberapa belakangan ini.

Golkar menjalani periode pertama kehidupannya sebagai sebuah embrio politik antara 1957-1964. Proses pertumbuhan embrio ini dimulai ketika terjadi koalisi-pragmatis antara Soekarno -- "orang besar" yang terkecewakan oleh eksperimen demokrasi parlementer yang menempatkannya dalam kedudukan presiden simbolik-seremonial -- dengan militer (baca: Angkatan Darat) yang kecewa lantaran ditempatkan sebagai pemadam kebakaran oleh pemerintahan sipil. Dalam periode ini, Golkar-embrionik -- yang terdiri dari berbagai kelompok fungsional-kekaryaan yang mempolitisasi diri -- adalah instrumen untuk membangun basis politik bagi pemerkuatan (empowering) militer vis a vis kekuatan politik lain, khususnya komunis.

Golkar lalu menjalani periode kedua perjalanan politiknya antara 1964-1971. Dalam periode yang singkat ini, Golkar menjadi instrumen bagi militer untuk mengelola proses transisi atau transfer kekuasaan dari Demokrasi Terpimpin-nya Sukarno ke tangan mereka. Pada ujung akhir periode ini Golkar menunaikan tugas instrumentalnya dengan memperoleh suara mayoritas mutlak (60,8 persen) dalam Pemilu 1971 -- pemilu pertama Orde Baru.

Periode ketiga dijalani Golkar antara 1971-1978. Inilah periode menentukan bagi Golkar ketika mereka -- sebagaimana digambarkan oleh Julian M Boileau -- dibebani tiga pekerjaan politik besar: (1) menjadi mesin politik penghasil legitimasi bagi kekuasaan Orde Baru; dan (2) memassalkan ideologi pembangunan dalam kerangka modernisasi; dan (3) menenggelamkan sistem kepartaian. Dalam periode yang singkat ini Golkar menjadi "kelompok strategis" yang bersama-sama elemen Orde Baru lainnya membangun aliansi besar bagi otoritarianisme baru.

Munas II Golkar di Denpasar, Bali, pada penghujung 1978, membuka langkah Golkar memasuki periode keempat kehidupannya. Inilah periode panjang -- dua dekade (1978-1998) -- yang memposisikan Golkar sebagai instrumen kekuasaan personal Soeharto. Pada periode ini kekuasaan Orde Baru telah mulai dipersonalisasi oleh Soeharto, sementara anasir-anasis Orde Baru lainnya (militer, birokrasi, teknokrasi, dan kekuatan modal) diposisikan menjadi instrumen kekuasaan personal Soeharto. Golkar tidak terkecuali.

Adalah Golkar yang selama dua dekade akhir Orde Baru itu menjadi pemberi bobot legitimasi politik riil bagi kekuasaan personal Soeharto. Dengan memposisikan Golkar secara instrumental, Soeharto mengumpulkan kapabilitas sebagai penguasa tunggal yang memegang tali kendali politik secara efektif.

Jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998 mengakhiri periode keempat perjalanan politik Golkar. Golkar dipaksa oleh sejarah untuk memasuki suasana yang sama sekali baru dalam periodenya yang kelima. Inilah periode di mana Golkar mesti memetik buah-buah kekeliruan masa lampau.

Dalam periode kelima itu, sebagai partai politik Golkar diwarisi oleh setidaknya lima penyakit. Pertama, ketergantungan pada militer sebagai ayah kandungnya. Sulit dibantah bahwa selama dua dekade terakhir Orde Baru, militer telah memberikan fasilitas politik yang sangat istimewa bagi Golkar sehingga bisa menenggelamkan kekuatan dan sistem kepartaian.

Kedua, ketergantungan pada birokrasi. Golkar dibesarkan dalam suasana ketiadaan netralitas politik birokrasi. Keluarga birokrasi -- yang dikemudian hari meluas menjadi "aparatur birokrasi beserta keluarganya" -- adalah salah satu kantong besar yang menjadi captive market Golkar. Terbentuklah kemudian dua jenis ketergantungan Golkar pada birokrasi: ketergantungan institusional berupa dukungan politik lembaga birokrasi bagi kemenangan demi kemenangan Golkar; dan ketergantungan manipulatif berupa dimobilisasinya anggota keluarga aparatur birokrasi untuk menyokong Golkarisasi di mana-mana.
Ketiga, keterikatan emosional pada sakralisasi ideologi pembangunan dalam kerangka modernisasi. Golkar telah menjadi penyangga penting ideologi modernisasi Orde Baru. Hampir seluruh hidup Golkar merupakan cerita tentang pergelutan mereka dengan ideologi itu. Maka, di tengah suasana reformasi yang mendelegitimasi secara total ideologi modernisasi Orde Baru, Golkar mewarisi sebuah kekikukan yang sulit disembunyikan.

Dalam konteks itulah sebetulnya kita bisa memahami arogansi Golkar yang ditampilkan beberapa hari lampau, ketika mereka tidak bersedia meminta maaf atas dosa-dosa masa lampau yang mereka bikin. Meminta maaf berarti mengakhiri pemihakan Golkar atas ideologi modernisasi serta mengakui hujatan banyak pihak bahwa Orde Baru adalah sebuah kekeliruan besar. Dalam kerangka ini, keterikatan emosional Golkar dengan ideologi modernisasi Orde Baru telah menggumpal menjadi sebuah penyakit kronis yang akan makin tegas terlihat di tengah suasana reformasi saat ini.

Keempat, geroktokrasi. Golkar adalah kekuatan politik yang relatif abai pada regenerasi politik secara bermakna. Ketika kepengurusan Golkar berpindah dari Harmoko ke Akbar Tanjung, regenerasi politik memang telah terjadi namun sebetulnya dalam wujudnya yang sangat tersendat-sendat. Struktur politik Golkar yang gerontokratif -- dikuasai oleh orang-orang tua -- belum mengalami metamorfosis secara bermakna.

Kelima, telanjur termanjakan oleh basis massa alienatif. Kemenangan demi kemenangan Golkar adalah cerita tentang praktik moblisasi dan manipulasi politik. Kemenangan yang bermasalah ini bisa terus berlanjut -- selain lantaran merebaknya praktik kecurangan pemilu sebagai diceritakan oleh Alexander Irwan dan Edriana (1995) -- juga lantaran karakter basis massa Golkar yang bersifat alienatif. Basis massa yang pragmatis dan apolitis itu memanjakan Golkar lantaran relatif mudah dijadikan objek mobilisasi dan manipulasi. Di tengah suasana perubahan sekarang, termanjakan oleh basis massa alienatif adalah sebuah penyakit serius.

Mengingat lima penyakit yang diidapnya itu, sungguh sulit membayangkan Golkar akan mempertahankan posturnya politik sebagai raksasa. Sebaliknya, mudah membayangkan bahwa Golkar akan makin terpuruk didera oleh berbagai penyakitnya. Golkar hari ini barangkali akan mengalami proses metamorfosis dari "gigantisme historis" (bak raksasa tapi dibentuk oleh banyak penyakit) menjadi "gigantisme mitologis" (postur raksasanya hanya tinggal mitos, sementara penyakit-penyakitnya tetap bertahan).

Sekalipun demikian, di tengah sistem multipartai yang menggejala dan tidak tertahan daat ini, Golkar masih memiliki beberapa modal untuk mempertahankan setidaknya sekitar sepertiga basis pemilih lamanya, lantaran sebab-sebab ini: jaringan infrastrukturnya yang kuat; dukungan sumber daya finansialnya yang kokoh warisan Orde Baru; dan tersisanya basis massa alienatif sebagai hasil perebutan dengan beberapa partai lain terutama PDI Perjuangan Megawati. Celakanya, ketiga sebab ini adalah sebab-sebab berjangka pendek. Dalam jangka panjang, hanya satu pertanyaan yang layak diajukan kepada Golkar: Quo vadis?

Surabaya, 24 Oktober 1998