Kesabaran Revolusioner
Pilar, 1 November 1998


Sekitar dua pekan lalu (23/10/1998), seorang aktivis asal Surabaya bercerita pada saya bahwa ia (bersama kawan-kawannya) merasa terpanggil untuk mengamankan jalannya Sidang Istimewa (SI) MPR 10-13 Mei 1998. Menurutnya, tak ada pilihan lain selain memberikan kesempatan pada MPR untuk mengesahkan pelbagai rantap yang sudah disiapkan oleh BP MPR. Menurutnya, rantap-rantap itu sudah mencerminkan kehendak reformasi.

Pekan lalu (31/10/1998), seorang aktivis mahasiswa asal Depok Depok yang baru saja kembali dari kegiatan konsolidasi di Yogyakarta bercerita pada saya bahwa sejumlah besar aktivis lembaga kemahasiswaan se-Jawa sepakat bahwa mereka menerima SI MPR sebagai sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Mereka, katanya, hanya akan mendesak agar SI MPR itu menghasilkan output yang sejalan dengan kebutuhan reformasi total.

Seorang aktivis muda yang lain dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan (1/11/1998) mengaku pada saya bahwa ia merasa dilematis mengahadapi SI MPR. Jika ia menerima jalannya SI, maka ia khawatir SI akan membajak proses reformasi. Sebaliknya, jika ia menolak SI, ia merasa tidak memiliki alternatif lain untuk membuat reformasi berjalan lebih cepat dan mendasar sementara agenda-agenda politik seperti yang sudah dicanangkan Habibie -- Pemilu dan SU MPR 1999 -- tetap bisa berjalan.

Sejumlah aktivis gerakan oposisi yang saya temui dalam diskusi Barisan Nasional (30/10/1998) punya sikap yang lebih keras: menolak SI dengan mendelegitimasi total seluruh lembaga dan proses politik yang dikendalikan pemerintah. Menurut mereka, reformasi hanya bisa berjalan jika dilakukan sebuah perubahan total dalam waktu sangat cepat alias revolusi yang akan mengantarkan pembentukan sebuah kepemimpinan nasional kolektif -- sebuah dewan atau presidium.

Keempat aktivis yang saya temui dalam dua pekan terakhir itu tampaknya merepresentasikan sikap yang berkembang di tengah masyarakat berhadapan dengan SI MPR. Bahwa selain penolakan total, mengemuka juga penerimaan total, penerimaan dengan catatan, dan sikap dilematis.

Terpilahnya penyikapan masyarakat ke dalam empat kelompok di atas dalam batas tertentu menggambarkan adanya tiga pendekatan yang dikembangkan kelompok-kelompok politik terhadap proses transisi pasca-Soeharto. Kelompok pendekatan pertama menolak kenyataan historis tentang transisi dan sebaliknya mereka terus bertahan dengan agenda revolusi. Mereka hanya percaya bahwa hanya replacement (mengganti rezim beserta perangkatnya secara total) yang akan membawa Indonesia pada demokrasi.

Pendekatan kedua menerima kenyataan historis tentang jalannya reformasi tetapi merasa tidak bisa membiarkan rezim Habibie bekerja tanpa kontrol ketat dari publik. Mereka percaya transisi menuju demokrasi di Indonesia bisa dijalankan melalui transplacement (aliansi untuk perubahan di antara faksi reformis dalam negara dengan kekuatan gerakan sosial). Penganut pendekatan ini terpecah menjadi dua kelompok: yang masih dilematis; dan yang bisa menerima SI MPR namun dengan catatan.

Pendekatan ketiga menerima secara total seluruh pekerjaan transisi yang dikendalikan pemerintahan Habibie. Penganut pendekatan ini bahkan menyediakan diri sebagai instrumen penjaga Habibie dengan alasan menjaga transisi atau reformasi. Mereka memahami transisi menuju demokrasi di Indonesia dalam kerangka tranformation (perubahan bakal datang sebagai buah dari kebaikan budi elite negara).

SI MPR diadakan berkembangnya tiga pendekatan tersebut. Karena setipa kelompok pendekatan itu sedang berada dalam suasana 'Siaga Satu" menjelang SI sekarang, maka bisa dipastikan bahwa hari-hari menjelang dan di seputar pelaksanaan SI akan ditandai oleh eskalasi gerakan politik dari berbagai penjuru dengan agenda atau isu beragam. Bahkan, mengingat kontras yang tersedia di antara ketiga kelompok itu, boleh jadi benturan atau letupan politik bisa terjadi di seputar SI.

Menurut hemat saya, pendekatan pertama -- menolak fakta transisi dan mengidamkan revolusi melalui replacement -- mengidap persoalan serius. Mereka hanya akan menemukan suasana revolusioner tanpa ketersediaan infrastruktur revolusi. Karena itu, ketika kelompok ini melakukan eksperimen revolusioner dengan menggerakkan massa dalam skala besar untuk mendelegitimasi SI berserta anasir proses politik lain, boleh jadi ia akan menjadi eksperimen revolusi yang abortif alias gagal.

Sebaliknya, kelompok pendekatan ketiga yang menerima tanpa reserve proses transisi produk pemerintahan Habibie tanpa kesiagaan kontrol politik, juga akan membiarkan proses pembajakan reformasi dilakukan melalui lembaga formal semacam MPR. Pendekatan ini mengidap persoalan serius dalam hal kepercayaannya yang berlebihan pada rezim baru pasca-Soeharto yang tidak homogen dan penuh dengan tarik-menarik kepentingan. Padahal, di dalam rezim ini kekuatan-kekuatan status quois masih menancapkan kukunya cukup dalam.

Sementara pendekatan kedua -- memahami transisi menuju demokrasi melalui transplacement -- mengidap persoalan serius jika pendekatannya ini dipakai untuk jangka panjang, apalagi dipermanenkan. Menurut hemat saya, pendekatan ini hanya cocok untuk kebutuhan jangka pendek ketika Habibie menjalankan pemerintahan transisional sekarang saja. Dalam jangka panjang, yakni pasca-SU MPR 1999, Indonesia akan memasuki demokratisasi secara bermakna jika melakukan proses replacement  -- sebagaimana yang diidamkan oleh skenario revolusioner.

Dalam konteks itu, SI seyogianya disikapi dengan sebuah "kesabaran revolusioner" yakni dengan melihatnya sebagai salah satu proyek transisional yang perlu dijaga dengan kesigaan publik dan kesiagaan oposisi. Kekuatan publik dan oposisi ini mesti terus bekerja agar produk SI -- dengan segenap catat politik bawaannya --  bisa compatible dengan kebutuhan penyiapan kerangka dasar awal bagi reformasi. Saya percaya bahwa sebuah kesabaran revolusioner lah yang bakal membawa kita melalui fase transisi yang serba tidak pasti sekarang menuju kepastian tanpa memakan kurban kemanusiaan yang terlampau besar.


Taman Mini, 1 November 1998