SI dan Ancaman
Ledakan Politik Luar-Dalam
Adil, 11-17 November 1998



Apa yang istimewa dari Sidang Istimewa MPR 10-13 November 1998? Inilah pertanyaan standar yang kerap saya terima dalam berbagai forum diskusi belakangan ini. Jawaban saya juga standar: suasana dan tantangan politiknya.

SI MPR diadakan di tengah luapan kebebasan dan euforia politik pasca-Soeharto yang melanda semua kalangan hampir tanpa kecuali. Maka SI pun diadakan di tengah dua ancaman ledakan politik: ledakan di dalam dan ledakan di luar gedung MPR.

Di dalam gedung MPR, kita bakal menyaksikan suasana politik yang dinamis, alot, dan menantang. Suasana semacam ini terutama akan dibangun oleh radikalisasi politik Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP).

Jauh-jauh hari FPP sudah menegaskan komitmennya untuk bersikukuh dengan tawaran-tawaran agenda mereka yang telah tertolak dalam Badan Pekerja (BP) MPR. Sejumlah rantap usulan FPP yang gagal diperjuangkan di BP akan tetap diajukan dalam SI, termasuk rantap sensitif dan krusial: penghapusan dwifungsi ABRI. Maka dilihat dari ukuran Orde Baru, FPP akan menjadi tokoh antagonis; atau dilihat dari ukuran era reformasi, menjadi tokoh protagonis; dalam SI MPR kali ini.

Radikalisasi FPP itulah yang bakal membentuk "suasana istimewa" dalam SI MPR kali ini. Tetapi saya sangsi bahwa radikalisasi itu akan berlenjut menjadi ledakan politik dahsyat. Saya sangsi bahwa FPP akan terus bersikukuh tanpa kenal kompromi sehingga SI menemui jalan buntu. Ada dua faktor yang bisa meredam radikalisasi made in FPP itu.

Pertama, bagaimanapun PPP, sebagaimana PDI, merindukan pemilu yang demokratis secepatnya, tanpa ancaman kecurangan lewat komputer, kuku, atau paku. Karena itu, sangat tak logis jika FPP menjalankan radikalisasi tanpa kompromi. Dugaan saya, FPP akhirnya akan menyerah pada mekanisme voting yang membuat mereka merasa kalah hanya oleh soal teknis-prosedural. Sulit membayangkan FPP bersedia menjadi martir; bertahan terus pada posisinya sehingga SI MPR deadlock. Ya, ledakan politik di dalam akan teredam oleh kerinduan PPP pada Pemilu Mei 1998 yang hanya mungkin terjamin pelaksanaannya jika SI MPR "sukses".

Kedua, saya menemukan kesan bahwa pada para anggota FPP yang sedang mengalami musim semi kritisisme politik itu sebetulnya bertahan sisa-sisa cara berpikir konservatif. Ini terlihat tegas tatkala mereka memposisikan SI MPR 1998 dalam sejarah perubahan. Mereka umumnya menolak membanding-kan SI MPR 1998 dengan tuntutan ideal tentang sebuah persidangan ideal di era reformasi. Mereka lebih bersedia membuat perbandingan dengan masa lalu (SU MPR Orde Baru). Cara pikir ini lalu membentuk rasa puas pada mereka terhadap SI MPR 1998 beserta segenap agendanya. Sebab, dibandingkan dengan masa lalu, SI MPR ini difahami sebagai sebuah kemajuan politik yang dramatis. Ledakan radikalisasi FPP akan teredam oleh rasa puas semacam ini.

Lalu bagaimana halnya ledakan politik di luar?  Jika ledakan di dalam patut dicemaskan karena terancam aborsi, maka ledakan di luar justru sebaliknya. Ini jutsru patut dicemaskan lantaran bisa menjadi ledakan besar tanpa kendali.

Sumber ledakan besar itu disediakan oleh bekerjanya tiga gerakan politik di luar gedung MPR. Gerakan pertama menerima secara mutlak SI MPR beserta agenda-agendanya tanpa reserve. Gerakan inilah yang belakangan terlihat menggejala di kalangan Islam tertentu yang diekspresikan melalui penggalangan sentimen dan massa besar-besaran.

Gerakan politik kedua justru menolak total SI MPR, baik lembaga maupun agendanya. Mereka -- antara lain direpresentasikan oleh Forum Kota (Forkot), Barisan Nasional, dan Koalisi Nasional -- menyikapi SI MPR dengan logika delegiitimasi total semua elemen politik warisan Orde Baru, termasuk pemerintahan Habibie. Gerakan ini pun menggalang sentimen dan massa besar-besaran.

Gerakan politik ketiga bersikap lebih moderat. Mereka menerima SI MPR sebagai sebuah proses transisi yang tak terhindarkan dalam suasana "cuci piring bekas pestanya Soeharto" namun dengan sederet catatan serius atasnya. Mereka bisa menerima SI manakala agenda-agenda reformasi total -- semacam penghapusan dwifungsi ABRI, pengadilan atas Soeharto, dan penghapusan korupsi-kolusi-nepotisme -- terakomodasi. Saya melihat indikasi bahwa kelompok ini pun berupaya menggalang desakan publik yang berbasis massa. Lembaga-lembaga formal kemahasiswaan dari berbagai kampus di Indonesia belakangan menunjukkan sikap moderat ini.

Pusat perhatian ketiga gerakan politik itu saat ini tertuju ke satu fokus yang sama: Gedung DPR-MPR Senayan. Mudah dibayangkan bahwa ketiganya akan saling berebut mendekati -- bahkan menduduki -- gedung ini. Pertumbukan antargerakan massa pun mudah dibayangkan. Jika pertumbukan ini benar-benar terjadi, maka sebuah ledakan politik dahsyat di luar gedung MPR mudah sekali dibayangkan.

Pada titik itu, sulit mengharapkan massa tiba-tiba saja punya kearifan untuk saling toleran lintaskelompok. Massa bakal terjebak dengan mudah pada suasana intoleransi, permusuhan, dan saling menyerang. Maka harapan kearifan pun hanya bisa ditumpukan pada agen-agen penggalang massa.

Agen-agen penggalang massa seyogianya bisa tampil sebagai aktor-aktor politik dewasa dan bijak. Mereka mesti menghindarkan kemungkinan pertemuan antarmassa di titik yang sama. Mereka hendaknya tak memanjakan dan mengeksploitasi sentimen intoleransi massa masing-masing. Sebaliknya, mereka berkewajiban mengendalikan massa mereka untuk tak leluasa menyalurkan sentimen-primitif intoleransi dan permusuhan lintaskelompok.

Jika tak ada kedewasaan dan kebijakan semacam itu, maka ledakan politik besar di luar gedung MPR sangat mungkin terjadi. Ini menandai bahwa kita jangan-jangan memang tidak sedang menjalani proses bongkar-pasang format politik. Boleh jadi sebetulnya kita hanya senang membongkar tanpa mau memasang. Jika benar demikian, layaklah kita prihatin dalam stadium keprihatinan setinggi-tingginya

Banjarmasin, 7 November 1998