Menimbang Tim Independen
Pengusut Soeharto
Republika, 25 November 1998
Di antara 12 ketetapan (Tap) yang dihasilkan Sidang Istimewa (SI) MPR 1998, ada satu Tap yang sangat populer dan paling ramai dijadikan bahan perdebatan publik: Tap Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme -- untuk mudahnya kita sebut saja Tap Anti-KKN. Dalam Tap inilah nama mantan Presiden Soeharto disebut. Tap ini bahkan mengamanatkan pada pemerintahan Habibie untuk mengusut dan mengadili Soeharto, kerabat, dan kroninya dalam rangka pembersihan KKN.
Maka dengan adanya Tap Anti-KKN, pengusutan dan pengadilan atas Soeharto bergeser dari sekadar tuntutan publik menjadi sebuah agenda formal negara. Makin memusatnya gerakan demonstrasi mahasiswa di Jalan Cendana menandai pergeseran itu. Tanda-tanda lain juga bermunculan. Desakan Fraksi Karya Pembangunan -- melalui Ketua FKP MPR Marzuki Darusman -- agar Soeharto dikenai tahanan rumah, adalah salah satunya yang penting.
Pasca SI MPR wacana pengusutan dan pengadilan Soeharto memang mengalami pembesaran bobot politik. Namun demikian, skeptisisme adalah aroma yang paling kuat tercium di sekitar wacana itu. Umumnya orang skeptis bahwa pemerintahan Habibie akan bisa mengemban amanat SI MPR untuk mengusut dan mengadili Soeharto secara efektif dan sungguh-sungguh. Pelbagai kalangan terutama meragukan Habibie lantaran ia merupakan bagian dari masa lampau serta pernah bekerja selama dua dekade di tengah suasana legalisasi dan institusionalisasi KKN. Bahkan tak hanya Habibie melainkan mayoritas aktor-aktor utama dalam pemerintahan Habibie juga pernah menjadi bagian yang sangat dalam dari masa lampau.
Dari balik skeptisisme itulah kemudian mencuat gagasan agar pengusutan dan pengadilan atas Soeharto tidak disiapkan dan dilakukan langsung oleh pemerintahan Habibie melainkan oleh sebuah tim yang independen. Bahkan Habibie sendiri telah sepakat mengenai perlunya tim independen itu. Benarkah bahwa tim independen merupakan jawaban yang tepat untuk mengefektifkan pelaksanaan amanat Tap Anti-KKN? Benarkah bahwa tim independen bisa menjawab skeptisisme banyak orang terhadap proyek pengusutan dan pengadilan Soeharto?
Jawabannya: Belum tentu. Adanya tim independen bukanlah jawaban tepat dan tuntas. Terlebih-lebih, sebagian publik saat ini sudah memiliki trauma terhadap tim semacam itu setelah terjadi skandal Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Tengah Mei 1998. TGPF yang diklaim oleh pendirinya -- sejumlah menteri dari beberapa departemen -- dan oleh anggotanya yang berasal dari berbagai kelompok sosial-politik, sebagai tim yang independen yang bakal membongkar misteri Kerusuhan Tengah Mei, ternyata tak lebih dan tak kurang sekadar tim yang disarati kepentingan-kepentingan politik sepihak.
Rekomendasi TGPF bukannya membongkar misteri itu dan membuatnya menjadi terang benderang, melainkan justru membungkus misteri kerusuhan Tengah Mei dengan kabut-kabut baru yang makin bikin kabur. Anggota TGPF bahkan terpecah lantaran ketidakpercayaan yang satu dengan yang lain. Sejumlah data yang diajukan TGPF bahkan dirusak oleh analisis yang tidak kredibel serta oleh informasi yang belum terverifikasi -- terutama menyangkut korban perkosaan bermotif rasial.
Ketika sebagian publik tertrauma oleh skandal TGPF itu, kehadiran sebuah tim independen untuk mengusut Soeharto jelas tak akan bisa menjadi jawaban bagi skeptisisme banyak orang. Sekalipun demikian, sebagai salah satu langkah untuk mengoperasionalisasikan kehendak Tap Anti-KKN, pembentukan tim independen boleh saja dipertimbangkan namun dengan sejumlah catatan.
Pertama, belajar dari kekeliruan pembentukan TGPF, tim independen itu harus dibentuk dengan benar. Tim independen ini seyogianya tidak dibentuk semata-mata sebagai respons di tingkat kosmetika politik menghadapi desakan publik -- terutama mahasiswa -- yang makin menguat. Tim independen ini hendaknya dibentuk dengan mempertimbangkan tiga faktor; kredibilitas moral; kompetensi profesional; dan representasi politik.
Anggota tim independen pengusut Soeharto semestinya memiliki kredibilitas yang cukup. Mereka harus terdiri atas ''para pengusut yang otentik'', yakni yang bisa leluasa membongkar praktik KKN lantaran mereka sendiri tidak pernah apalagi sedang/masih terlibat KKN; dalam skala besar maupun kecil. Seleksi keanggotaan tim independen seyogianya memperhitungkan benar syarat kredibilitas moral ini. Jika tidak, kredibilitas tim independen di depan publik (yang kritis) jelas tidak akan tinggi. Sebuah tim independen yang tidak kredibel -- alih-alih membantu menuntaskan agenda pemberantasan KKN -- justru akan menambah soal-soal baru. Tim independen yang tidak kredibel akan membuka peluang berubahnya isu pokok dari pembongkaran praktik KKN Soeharto menjadi sahih tidaknya temuan tim itu secara moral.
Anggota tim independen pengusut Soeharto seyogianya juga direkrut dengan mempertimbangkan kompetisi profesional mereka. Di dalam tim ini semestinya ada ahli hukum, politik, ekonomi, serta para profesional di bidang akuntan, manajemen perbankan, intelijen dan kepolisian internasional, penyidikan, valuta asing, diplomasi, dan lain-lain.
Hanya dengan kompetensi profesional yang memadai dari para anggota itu, tim independen ini bisa bekerja secara profesional dan efektif. Sebuah tim yang mengabaikan syarat kompetensi profesional ini akan terjebak untuk sekadar bekerja secara politik tanpa perolehan-perolehan hasil konkret. Yang kita butuhkan bukan kumpulan politisi yang senang bergunjing dan berkonflik melainkan tim yang kohesif secara profesional. Syarat kohesivitas-profesional ini makin terasa perlu jika diingat bahwa Soeharto terkenal pandai membuat pagar-pagar hukum bagi penyelewengan yang ia lakukan.
Syarat berikutnya bagi keanggotaan tim independen pengusut Soeharto adalah representasi politik. Setelah syarat kredibilitas moral dan kompetensi profesional terpenuhi, barulah rumus representasi politik digunakan untuk menyeleksi keanggotaan tim. Bahwa tim mesti terdiri atas tokoh-tokoh yang merepresentasikan berbagai kelompok politik yang hidup di dalam negara dan masyarakat. Ini bukan syarat pokok tetapi syarat penting di tengah suasana pemajemukan politik saat ini. Tetapi tim independen ini hendaknya tidak mengulangi kekeliruan TGPF yang hanya mementingkan aspek representasi politik namun agak abai pada dua aspek lain yang lebih pokok (kredibilitas moral dan kompetensi profesional).
Kedua,tim independen pengusut Soeharto harus memiliki jadwal kerja yang pasti dan terukur. Masyarakat luas harus diberi informasi yang cukup mengenai tahap demi tahap pekerjaan tim itu beserta tenggat dan target yang mesti dicapai dalam setiap tahap itu. Bagaimanapun tim independen ini tidak bisa begitu saja mengisi sendiri ''cek kosong''. Cek harus sudah jelas nilai/isinya sejak awal sehingga tim ini tidak menjadi makhluk gelap buat masyarakat.
Ketiga, tim independen pengusut Soeharto mau tak mau harus bekerja secara transparan dengan berorientasi pada kewajiban pertanggungjawaban publik (public accountability). Tim itu harus selalu melaporkan setiap perkembangan pekerjaan mereka kepada publik serta selalu memberi peluang pada publik untuk mengawasi setiap perkembangan itu. Tim independen yang baik sejatinya harus bekerja dengan prinsip ''mandataris publik'' bukan ''wali publik''. Sebagai mandataris publik, tim itu harus menjadikan publik sebagai orientasi loyalitasnya. Tim itu tidak boleh merasa berkuasa di atas publik sehingga mengabaikan suara-suara publik (wali).
Tiga catatan itulah yang tampaknya harus kita berikan pada wacana pembentukan tim independen pengusut Soeharto. Saya percaya bahwa manakala ketiga catatan tersebut diabaikan maka tim independen pengusut Soeharto boleh jadi hanya akan menambah panjang daftar kegagalan kita dalam menyelesaikan banyak urusan yang berkaitan dengan kekeliruan-kekeliruan masa lampau.
Selama ini, tim demi tim pernah dibikin namun hampir selalu tidak pernah menunaikan tugasnya sampai tuntas. Tim demi tim itu -- entah ia menjalankan tugas yang luas semacam Komisi Anti-Korupsi-nya Wilopo maupun yang memperoleh tugas sangat spesifik semacam Dewan Kehormatan Perwira kasus penculikan aktivis -- tidak pernah berhasil menuntaskan semua pekerjaan pokok mereka.
Selain itu, tim demi tim yang dibentuk kerapkali hanya efektif pada tingkat publikasi yang ingar-bingar namun kedodoran dalam soal substansi. Tim demi tim itu biasanya hanya memberi manfaat besar bagi produsen jasa informasi dan sensasi semacam pers, namun memberi manfaat kecil bagi publik yang butuh klarifikasi. Jika tidak, tim demi tim hanya dibentuk seolah-olah untuk meredakan ketegangan dan suhu politik belaka namun tidak memberi sumbangan signifikan bagi pemecahan masalah-masalah positif yang sudah akut.
Menurut saya, cukuplah sudah kesia-siaan semacam itu menjadi bagian dari masa lalu kita yang memang kelam. Saya berharap, kini dan mendatang kita seyogianya mulai menggarap pekerjaan-pekerjaan historis secara serius. Apalagi untuk kasus pembersihan KKN produk Orde Baru, sebab inilah persoalan yang tidak saja menjadi pertaruhan bagi pemerintahan transisional Habibie melainkan juga bagi cerah atau tetap kelabunya masa depan demokrasi di negeri ini.
|