Bubur Panas Habibie
Gatra, 21 November 1998



Usainya Sidang Istimewa (SI) MPR justru menadai mulainya -- bukan berakhirnya -- pertaruhan konkret bagi pemerintahan Habibie. Sebelum pelaksanaan SI MPR, perdebatan tentang pemerintahan Habibie lebih banyak berpusat pada soal legitimasi. Seusai SI MPR perdebatan itu bergeser, memusat pada soal efektivitas: Seberapa jauh pemerintahan Habibie bersungguh-sungguh melaksanakan hasil SI MPR secara efektif?

Dalam konteks itu, dari 12 ketetapan yang dihasilkan SI Ketetapan tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme -- untuk mudahnya kita sebut saja Tap Anti-KKN -- yang memuat keharusan mengusut dan mengadili Soeharto akan menjadi ketetapan yang paling menentukan, mengudang pertaruhan bagi kelangsungan pemerintahan Habibie. Gelombang demonstrasi mahasiswa pe-kan lampau yang menjadikan kompleks kediaman Soeharto di Jalan Cendana sebagai target pokok, merupakan indikasi yang sangat jelas mengenai mulainya pertaruhan itu. Saya menduga bahwa salah satu target politik dari aksi mahasiswa ini adalah mendesak pemerintahan Habibie untuk mengusut dan meng-adili Soeharto sambil mengukur seberapa besar perlindungan masih diberikan oleh Habibie bagi mantan bosnya itu.

Dalam konteks itu, saya agak skeptis bahwa pemerintahan Habibie akan bisa menjadikan Tap Anti-KKN ini sebagai perangkat yang efektif untuk memenuhi tuntutan pengusutan dan pengadilan Soeharto beserta kroninya. Ada beberapa argumen yang melatari skpetisisme ini.

Pertama, sejak awal, persoalan yang dihadapi pemerintahan Habibie sebetulnya bukan kurangnya dasar dan perangkat hukum  yang memadai untuk memeriksa dan mengadili Soeharto. Pokok soal terletak pada kikuknya pemerintahan Habibie dalam menyikapi kekeliruan-kekeliruan masa lalu ter-utama yang berkaitan langsung dengan Soeharto dan keluarga Cendana. Peranan Tap Anti-KKN sebagai dasar hukum untuk mengadili Soeharto bisa saja terkendala oleh kekikukan itu.

Kedua, terlampau banyak pihak di seputar pemerintahan Habibie yang berkaitan dengan masa lampau, termasuk dengan kekeliruan-kekeliruan yang diproduksinya. Dalam kerangka ini, Golkar misalnya, berkepentingan terhadap tidak terungkapnya praktik KKN di seputar Soeharto mengingat praktik itu sedikit banyak berkaitan dengan pembentukan basis ekonomi-bisnis-finansial Golkar melalui melalui sejumlah yayasan Soeharto. Membongkar KKN di seputar Soeharto dengan sendirinya menghancurkan kredibilitas Golkar.

Ketiga, Habibie membangun pemerintahannya dengan mengan-dalkan aliansi strategis warisan Soeharto ditambah sejumlah kecil pelaku baru. Maka persoalan Golkar di atas bisa diluaskan sebagai persoalan pelaku-pelaku aliansi strategis Orde Baru di luar Golkar --  militer, teknokrasi, birokrasi, dan pebisnis-pemo-dal -- di sekeliling Habibie yang pernah sangat diuntungkan oleh model pengelolaan ekonomi dan politik a la Soeharto. Mereka boleh jadi berkepentingan terhadap terus tertutupinya episode-episode ekonomi-politik Orde Baru yang hitam kelam lantaran mereka menjadi aktor atau sutradaranya. Adanya para pelaku aliansi strategis lama itu dalam pemerintahan Habibie tentu me-nyulitkan upaya pemberantasan KKN, pengusutan atas Soehar-to, dan pemutusan masa lampau secara tegas. Tap Anti-KKN bukanlah perangkat yang cukup untuk mengatasi kesulitan ini.

Keempat, Soeharto telah mmbuktikan dirinya sebagai seorang aktor politik yang sangat cerdik menggunakan siasat-siasat mo-ral dan hukum untuk menyembunyikan praktik penyelewengan kekuasaan. Jika Soeharto tak secerdik itu, tak mungkin ia bisa bertahan begitu lama. Sangat masuk akal jika Soeharto dengan cerdik sudah menyiapkan lapis demi lapis perlindungan hukum bagi harta kekayaan yang ia timbun selama Orde Baru. Karena itu, sekalipun tersedia perangkat hukum yang lengkap dan kemauan politik yang teguh, membongkar harta Soeharto melalui jalur hukum pastilah bukan pekerjaan mudah.

Mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas, maka peng-usutan dan pengadilan Soeharto akan menjadi "bubur panas" di depan Habibie. Habibie terdesak keadaan untuk segera mema-kannya dan tak punya waktu sama sekali untuk mendi-nginkannya dulu. Memakannya langsung persis di tengah akan membuat lidah Habibie terbakar dan boleh jadi membuatnya jera; membuatnya tak lagi punya keberanian untuk meng-habiskan bubur itu.

Pasca SI MPR, Habibie dan bubur panasnya itulah yang menja-di pusat perhatian publik hampir tanpa kecuali -- melewati perbedaan wilayah tinggal, etnik dan ras, kelompok politik, serta ideologi. Maka tak ada pilihan lain bagi Habibie selain memakan bubur panas itu sampai habis dengan strategi yang benar.

Ia harus memakannya dari pinggir yang paling luar, melahap-nya perlahan-lahan hingga ke tengah. Jika Habibie memegang janji melaksanakan ketetapan-ketetepan hasil SI MPR, ia  mesti-nya bisa mulai menjalankan amanat Tap Anti-KKN dengan membongkar praktik-praktik penyelewengan bisnis keluarga Cendana, putra-putri Soeharto. Ia bisa mulai dari Tommy de-ngan Timor-nya atau Tutut dengan bisnis-raksasa jalan tol-nya. Dari pinggir Habibie bisa bergerak ke tengah hingga akhirnya menjangkau Soeharto.

Dalam konteks itu, tak ada alasan bagi Jaksa Agung Andi Ghalib atau siapa pun untuk mengatakan bahwa mereka tak pu-nya cukup data dan bukti. Sejak akhir Mei 1998 lampau, media massa telah mengekspose besar-besaran berbagai penyele-wengan bisnis putra-putri Soeharto dengan data melimpah.

Tinggal lagi persoalannya sekarang: Seberapa jauh Habibie bisa mengatasi kekikukannya? Seberapa kuat ia bisa menepis tangan-tangan yang mencegahnya agar tidak melahap bubur panas itu? Atau, seberapa serius sebetulnya Habibie sebagai aktor transisional yang sungguh-sungguh?

Jawabannya akan menentukan seberapa mampu Habibie berta-han berhadapan dengan gelombang kritik dan pendongkelan atasnya pasca SI MPR. Bagaimanapun, menunda-nunda memakan bubur panas sama artinya dengan membiarkan semua produk SI -- termasuk yang progresif semacam penyelenggaraan pemilu yang dipercepat, pengakuan hak asasi manusia, dan pembatasan masa jabatan Presiden -- tenggelam seolah tak punya arti. Menunda-nunda makan bubur panas juga sama artinya dengan membiarkan gerakan massa terus eskalatif dan memperpendek usia politik pemerintahan Habibie.

Depok, 21 November 1998