Menghindari
Orla Jilid Tiga
TEMPO, 5 Desember 1998



Di tengah hiruk pikuk lalu lintas politik hari-hari ini, mengalir dua arus politik pokok. Arus pertama digerakkan oleh ribuan demonstran yang mengkonsentrasikan diri pada isu pengadilan Soeharto. Arus kedua digerakkan oleh ratusan anggota parlemen yang mengkonsentrasikan diri pada penyiapan Undang-undang Politik.

Yang dihasilkan oleh dua arus itu adalah kecemasan. Pembongkaran masa lampau dan perancangan masa depan dilakukan oleh dua kekuatan yang terpisah dan boleh jadi bertolak belakang kepentingannya.

Di satu sisi, gerakan mahasiswa begitu bersemangat membongkar masa lampau. Saya pecaya bahwa kepentingan sebagian terbesar dari mereka adalah menjaga kelangsungan agenda reformasi total.

Di sisi lain, para anggota parlemen dari hari ke hari membikin kesepakatan demi kesepakatan tentang UU Politik yang justru sangat boleh jadi merupakan langkah diam-diam menuju rekonsolidasi otoritarianisme. Terlebih-lebih, RUU Politiknya sendiri sebetulnya mengandung banyak jebakan otoritarian.

Saya khawatir sejarah akan kembali berulang. Pada penghujung 1960-an, pada awal-awal pencanangan Orde Baru, gerakan mahasiswa sangat sibuk membongkar masa lampau, menyokong desukarnoisasi. Tapi di saat yang sama gerakan mahasiswa makin terpecah dan berkurang daya tekannya ketika sekelompok kecil orang menyiapkan rancang bangun Orde Baru. Hasilnya: Lima-sepuluh tahun setelah Soeharto berkuasa, gerakan mahasiswa hanya menghasilkan kegagahan dan mitologisasi namun terjebak oleh rancang bangun Orde Baru yang otoritarian. Gerakan reformasi awal Orde Baru terkhianati ketika sisa-sisa teriakan reformasi belum menguap sepenuhnya dari udara.

Dalam Memenuhi Panggilan Tugas AH Nasution pun bersaksi bahwa cita-cita Orde Baru dikhianati pada tahap yang sangat dini. Ketika sejumlah tokoh pro-pendekatan-moral dan anti-stabilisasi-terburu-buru disingkikan, Orde Baru pun mulai bersimpang jalan. Nasution kira-kira ingin mengatakn  bahwa Orde Baru dengan cepat keluar dari rel pembaruan. Kesaksian serupa itulah yang diberikan Francois Raillon lewat disertasinya tentang mingguan Mahasiswa Indonesia. Dalam awal dekade 1970-an, Orde Baru sudah mulai kehilangan wataknya sebagai rezim reformis yang anti-otoritarianisme.

Saya khawatir, dalam beberapa tahun ke depan kita akan kembali menemukan fakta serupa itu. Gerakan-gerakan sosial -- dengan mahasiswa sebagai wakil terbaiknya -- terlampau sibuk membongkar masa lalu sementara jutsru kekuatan-kekuatan pro-otoritarianisme dalam lembaga-lembaga formal negara lah yang sibuk menyiapkan rancang bangun masa depan.

Jika benar demikian, maka benarlah Peter Worsley ketika dalam The Third World mensinyalir bahwa umumnya negara dunia ketiga kerapkali gagal memanfaatkan momentum perubahan untuk kebutuhan konsolidasi demokrasi. Kebanyakan mereka, tulis Worsley dengan getir, hanya sukses menjalani sebuah musim semi kebebasan yang sebentar dan setelah itu justru merekonsolidasikan otoritarianisme. Otoritarianisme lama tumbang tapi melahirkan kembali otoritarianisme dalam wajah baru. "Sebuah siklus otoritarianisme yang berdekatan," tulis Worsley.

Adalah tugas sejarah kita untuk menghindari terulangnya kekeliruan sejarah; menghindari "siklus otoritarianisme yang berdekatan". Karenanya, ada kebutuhan pada gerakan sosial -- yang masih teguh menyuarakan protes dan perlawanan politik hari-hari ini -- untuk menyusun ulang prioritas.

Benar bahwa pengadilan Soeharto adalah agenda penting. Namun bagaimanapun, ini adalah agenda jangka panjang yang tak mudah. Harus dihemat betul energi untuk mendesak soal ini.

Seyogianya penyiapan UU Politik dijadikan prioritas yang lebih urgen. Energi desakan publik mesti dikonsentrasikan sementara waktu ke soal ini mengingat anasir-anasir politik yang bekerja dalam parlemen tampaknya masih sangat kikuk dan gagap menyikapi transisi menuju demokrasi.

Dalam konteks itu, gerakan mahasiswa mestinya menghemat benar energi untuk membongkar masa lampau. Sebab, tak ada yang mudah dan sebentar dalam urusan itu. Gerakan mahasiswa mestinya justru menjadi wakil publik-rasional yang ikut menjaga agar rancang bangun masa depan menuju ke reformasi total. RUU Politik pun mesti menjadi pusat perhatian gerakan.

Saat ini gerakan sosial memanggul amanat sejarah yang amat penting: Menjadi kekuatan rasional yang menjaga agar bangsa ini tidak dikhianati untuk kedua kali; menjaga agar era pasca-Soeharto tidak menjadi Orde Baru jilid kedua atau Orde Lama jilid ketiga.

Depok, 5 Desember 1998