Menimbang Perceraian                                                  
Menhankam dan Pangab                                                  
Republika, 11 Janurai 1999



Jabatan Menhankam dan Pangab sebaiknya disatukan atau dipisah? Inilah pertanyaan yang hari-hari ini (kembali) menjadi bahan diskusi publik. Jika pertanyaan itu diajukan dalam konteks Orde Baru, jawabannya jelas: Terserah Soeharto saja.                             

Di masa Orde Baru, dua jabatan itu digabung dan dipisah tanpa pola yang jelas -- sebagaimana umumnya soal-soal lain yang terkendali langsung di tangan Soeharto. Penggabungan jabatan Menhankam dan Pangab mulai dilakukan dalam Kabinet Pembangunan (KP) II (1973-1978), di tangan Jenderal M Panggabean. Penggabungan ini dilanjutkan dalam kabinet berikutnya (KP III) di tangan Jenderal M Jusuf.           

Soeharto kemudian memisahkan dua jabatan itu pada KP IV. Menhankam dijabat Jenderal S Poniman dan Pangab dijabat Jenderal LB Moerdani. Pemisahan ini berlanjut dalam satu periode berikutnya (KP V), ditangan Jenderal LB Moerdani (Menhankam) dan Jenderal Try Sutrisno (Pangab).                                                             

KP VI sempat ditandai penggabungan kembali dua jabatan itu di tangan Jenderal Edy Sudrajat. Selain menjabat Menhankam/Pangab, Jenderal Edy bahkan menjabat KSAD pula. Namun ini tak berlangsung lama. Jabatan-jabatan itu segera dipisah ke tangan Jenderal  Edy (Menhankam),Jenderal Feisal Tanjung (Pangab), dan Jenderal R Hartono (KSAD). Pemisahan itu ternyata tak berlanjut dalam kabinet terakhir di bawah  Soeharto (KP VII). Jabatan Menhankam dan Pangab kembali disatukan di  tangan Jenderal Wiranto. Model penggabungan ini dipertahankan Habibie hingga sekarang.                                                      

Mencermati gejala rujuk-cerai-rujuk jabatan Menhankam/Pangab sepanjang Orde Baru memang ditemukan ketiadaan pola yang jelas. Ada kesan bahwa pisah dan gabungnya dua jabatan itu selama Orde Baru lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan pembagian kekuasaan (power sharing)orang-orang lingkaran-dalam Soeharto.                                 

Sebagaimana kita mafhum, salah satu azimat Soeharto selama berkuasa adalah tak pernah menganakemaskan atau memanjakan satu orang atau kubu tertentu di sekitarnya. Soeharto senantiasa menyeimbangkan kekuasaan di antara poros-poros terpenting di sekelilingnya. "Kebijakan menghindari munculnya putra mahkota" -- yang kemudian terbukti mewariskan persoalan pelik dalam pencarian pemimpin nasional pasca-Soeharto -- inilah yang melatari pisah-gabungnya jabatan   Menhankam dan Pangab.                                                 

Begitulah kita bisa memahami pemisahan dua jabatan itu dalam KP IV(1983-1988) sebagai rumus untuk menyeimbangkan (kelompok) Moerdani versus (kelompok) Sudharmono. Begitulah kita memahami pemisahan serupa dalam KP V (1988-1993) sebagai upaya Soeharto menyeimbangkan poros Sudharmono-Habibie-Moerdani. Begitu pula cara kita memahami fenomena pemisahan dua jabatan itu antara 1993-1998 sebagai upaya menyeimbangkan kubu Try-Edy-Moerdani dengan kubu Habibie-Feisal-Hartono -- sekalipun kemudian kubu terakhir ternyata tidak sesolid yang dicitrakan media massa.                            

Ketika dua jabatan itu kembali disatukan di tangan Wiranto, Soeharto telah sampai pada kesadaran -- yang amat sangat terlambat - untuk menyerahkan kekuasaan ke pelanjut pilihannya: Habibie. Pada saat sama, ABRI telah mengalami regenerasi serius ke tangan perwira angkatan  1968-1974, satu gerbong antara Wiranto sampai dengan Prabowo, dengan faksionalisme politik yang tidak setegas di masa sebelumnya.          

Pendeknya, rujuk atau cerainya dua jabatan itu memang terserah Soeharto belaka. Maka, fenomena penggabungan atau pemisahan Menhankam-Pangab di kala itu pun hanya mengindikasikan dua hal. Pertama, makin menegaskan cara kerja kekuasaan Soeharto yang enigmatik, sulit diterka, dan cenderung "semaunya sendiri". Kedua, mengkonfirmasikan dan menegaaskan posisi ABRI yang dalam dua puluh tahun terakhir Orde Baru (1988-1998) telah sepenuhnya dijadikan instrumen politik Soeharto.                                 

Dalam kerangka itu, kita bisa mengatakan bahwa penggabungan dan pemisahan jabatan Menhankam/Pangab selama Orde Baru pada hakikatnya memang mengabaikan pertimbangan efisiensi dan penyehatan birokrasi pemerintahan atau pertimbangan proporsionalisasi politik militer. Pertimbangan-pertimbangan rasional ini ditenggelamkan dalam rumus formal-konstitusional: Hak Prerogatif Presiden.                       

Diskusi publik mengenai pemisahan Menhankam dan Pangab yang kembali bergulir hari-hari ini hendaknya mempertimbangkan kekeliruan sejarah itu. Karenanya, alih-alih dijawab dengan jawaban formal-konstitusional(hak prerogatif Presiden) atau jawaban-jawaban sejenisnya, pertanyaan soal kebutuhan pemisahan Menhankam dan Pangab hendaknya digeledah melalui jawaban rasional.                                             

Benarkah pemisahan ini akan bermafaat bagi efisiensi dan penyehatan birokrasi pemerintahan? Benarkah ia akan memberi sumbangan bagi proporsionalisasi politik militer? Saya sendiri lebih cenderung pada jawaban positif: Ya. Langkah pemisahan itu potensial memberi beberapa sumbangan konstruktif. Pertama memisahkan Departemen Hankam dari institusi ABRI berarti memberikan peluang bagi Departemen Hankam untuk meredefinisikan dan mereaktualisasi fungsi-fungsi birokratisnya secara lebih efisien dan sehat tanpa terganggu oleh dominasi kepentingan militer.                                                              

Pemisahan itu produktif untuk menyokong konsep back to basic dalam mengo-perasionalkan konsep pertahanan dan keamanan baru. Bahwa soal pertahanan dan (terutama) keamanan bukanlah semata-mata persoalan ABRI; bukan persoalan stabilitas melalui penggunaan aparatur kekerasan belaka; bukan persoalan meningkatkan kemampuan kendali kemiliteran an sich. Pemisahan itu bermanfaat untuk mengembalikan Dephankam ke posisi dan peranannya yang proporsional.                           

Kedua, sebaliknya, memisahkan Pangab dari tugas-tugas birokratis di Departemen Hankam berarti memberikan keleluasaan bagi institusi ABRI untuk berbenah diri sebagai tentara rakyat dan tentara nasional yang profesional dan dicintai rakyat. Membebani pimpinan ABRI tugas birokratis pemerintahan cenderung membawa institusi ABRI pada kekeliruan pemihakan. ABRI yang mestinya menjadi pengabdi negara bisa terjebak menjadi pengabdi pemerintah -- sebagaimana terjadi di masa  Orde Baru. Pemisahan Menhankam dan Pangab setidaknya bisa meminimalisasi kemungkinan jebakan semacam itu.                       

Ketiga, berkait dengan dua hal di atas, pemisahan Menhankam dan Pangab memberi keleluasaan bagi sistem politik pasca-Soeharto untuk merespons dan mengagendakan reformasi secara lebih layak. Setidaknya, pemisahan itu potensial meningkatkan sensitivitas Dephankam dan ABRI terhadap tuntutan reformasi di dua institusi bermasalah itu serta tuntutan reformasi di bidang hankam secara menyeluruh.                

Keempat, pemisahan Menhankam dan Pangab lebih lanjut bahkan bisa memberikan sumbangan berarti bagi proyek pluralisasi kekuasaan pasca-Soeharto. Selama dua jabatan itu digabungkan dalam satu tangan, demokratisasi dalam pengambilan kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan terkendala oleh tak adanya mekanisme kontrol dan negosiasi diantara fungsi birokrasi (Dephankam) dan fungsi operasi (ABRI). Dalam konteks itu, manakala jabatan Menhankam dan Pangab dipisahkan,  boleh jadi di masa datang institusi operasi (ABRI) tidak bisa dengan mudah meminta layanan fasilitas dari fungsi birokrasi (Dephankam) tanpa melalui negosiasi dan pengawasan transparan yang melibatkan publik. Pemisahan Menhankam dan Pangab adalah satu langkah awal yang berarti menuju ke sana.                                               

Tentu saja, alangkah indahnya jika kebijakan pemisahan itu dilengkapi dengan menanggalkan kecenderungan sakralisasi jabatan Menhankam sebagai jatah militer. Dan, seorang seperti Prof Juwono Sudarsono, Prof Ichlasul Amal, atau orang sipil mumpuni lainnya pun bisa dibayangkan duduk dalam posisi itu.