ARSIP REFLEKSI

(1)
Suara Pasar,
Suara Rakyat
25 Januari 1998


Keluarga Besar Golongan Karya (Golkar) dari tiga jalur ABG (ABRI, birokrasi, dan golongan kekaryaan) meminta kesediaan Pak Harto untuk menjadi Presiden 1998-2003. Pak Harto menyanggupinya lantaran merasa bahwa permintaan itu dilandasi kehendak rakyat. Segera setelah Pak Harto menyatakan kesediaannya, nilai rupiah terjun bebas hingga ke angka mendekati Rp 12.000 per dolar AS. Pasar seolah-olah menunjukkan kehendak lain. Maka, seorang kawan langsung bertanya: Apakah dengan begitu kita bisa bilang bahwa kehendak rakyat bertentangan dengan kehendak pasar?

Alih-alih serta merta menjawab pertanyaan sulit (dan menurut Profesor Widjojo, naif) itu, saya malah kontan teringat pada Peter L Berger, sosiolog kenamaan dari Amerika Serikat. Berger pernah menulis dua buah buku yang cukup fenomenal: Piramida Kurban Manusia dan Revolusi Kapitalis.

Piramida Kurban Manusia adalah karya Berger yang sangat humanis. Dengan ilustrasi yang sangat kaya, ia menggugat apa yang disebutnya sebagai "biaya-biaya kemanusiaan" dari pembangunan. Pembangunan dalam kerangka kapitalisme, gugat Berger, ternyata memakan kurban yang luar biasa besar, bahkan mencengangkan. Karena itu Berger sampai ke kesimpulan bahwa pembangunan tak sama dengan pemanusiaan.

Revolusi Kapitalis kemudian menandai perubahan sikap Berger dari ilmuwan yang sangat kritis terhadap kapitalisme menjadi ideolog yang sangat pro. Dalam karyanya yang banyak menuai kritik ini Berger menunjukkan kompatibilitas antara kapitalisme dan perkembangan demokrasi. Hanya kapitalisme, tulis Berger, yang memberikan jalan lapang bagi perbaikan kondisi hidup manusia. Berbeda dengan pandangan sebelumnya, Berger melihat kapitalisme sebagai proyek pemanusiaan.

Entah mana yang berubah: sikap dasar Berger ataukah kapitalismenya? Yang jelas, repositioning Berger mengundang perdebatan ramai dan kemudian menggarisbawahi adanya sebuah pertanyaan yang masih menggantung hingga kini: Apakah pembangunan kapitalistik bisa membesarkan pasar sekaligus membesarkan rakyat? Tidakkah kapitalisme memanjakan pasar tapi mengerdilkan rakyat?
Itulah pertanyaan yang mestinya mengobsesi kita di tengah hiruk-pikuk pembangunan Orde Baru. Dan masa-masa krisis moneter sepanjang tujuh bulan terakhir menegaskan bahwa kita ternyata tidak membesarkan pasar sekaligus tidak membesarkan rakyat. Setidaknya, kita hanya membesarkan pasar sebagai anak macan, dan rakyat sebagai anak tiri. Inilah tragedi besar yang layak kita renungkan hari-hari ini.

Setelah 30 tahun lebih kita membangun, ternyata "pasar" kita secara riil telah terkuasai oleh segelintir orang. Kepentingan segelintir orang inilah yang sebetulnya merepresentasikan apa yang kita sebut sekarang sebagai "kehendak pasar". Segelintir orang itu bisa saja mendikte ekonomi nasional; dan itulah yang sejatinya terjadi dalam krisis ekonomi saat ini. Pasar yang berhasil kita bangun sebetulnya dicirikan oleh bekerjanya samacam "tirani minoritas". Pembangunan pun, sejatinya, tak membesarkan pasar.

Sementara itu, pada saat yang sama -- sebagai hasil pembangunan lebih dari tiga dekade -- "rakyat" juga telah terjebak hanya menjadi klaim formal sekelompok orang. Sekelompok  orang ini -- lantaran memperoleh peluang sejarah untuk mengendalikan institusi-institusi politik -- berwenang menentukan kehendak rakyat. Jadilah ia sebuah model elitisme politik. Sebuah model yang pada hakikatnya telah meniadakan rakyat sebagai entitas politik yang penting. Rakyat tenggelam di balik suara segelintir orang besar.

Krisis ekonomi yang dipicu oleh fluktuasi mata uang kita -- yang lebih besar dan lebih banyak turunnya ketimbang naik -- memperlihatkan betapa berbahayanya ketegangan hubungan antara minoritas yang menguasai pasar dengan orang-orang besar yang menguasai rakyat. Ketegangan hubungan ini telah membuat kita terjebak pada keadaan yang lebih buruk ketimbang penggambaran Berger (baik lewat Piramida Kurban Manusia maupun Revolusi Kapitalis).

Bahwa pembangunan kita tak membesarkan pasar sambil memakan kurban-kurban manuasiwi; apalagi membesarkan pasar sambil menopang harkat manusia. Langgam pembangunan kita ternyata sangat potensial untuk dimusuhi baik oleh pasar maupun oleh rakyat.

Maka wajarlah jika terjadi dua adegan ini. Seorang sopir taksi ditanya penumpangnya, "Bapak ikut antri memborong makanan waktu terjadi rush 8 Januari lalu?" Sang sopir dengan cepat menukas: "Yang bisa antri dan borong-borong kan, hanya orang kaya..." Seorang sopir taksi yang lain ditanya penumpangnya, "Bagaimana pendapat Bapak soal rame-rame calon Presiden dan Wakil Presiden?" Dengan tak kurang cepatnya, sang sopir menukas: "Untuk soal gituan, rakyat kayak saya sih nggak punya suara ...,Pak."