Wajah Indonesia
yang Berbeda
Adil, 10-16 Maret 1999



Bersahaja. Inilah kesan umum saya tentang partai-partai politik baru yang saya verifikasi di Riau dan Sumatera Selatan. Tanda-tanda kebersahajaan yang paling tampak adalah kantor mereka.

Di Pekanbaru (Riau) saya menemukan kantor sebuah partai di lantai dua sebuah pasar tradisional, terhimpit kios-kios toko kelontong. Di Ogan Komering Ilir (Sumsel), kantor partai malah bagian dari toko kitab dan alat-alat tulis kantor (ATK) di antara deretan kios-kios Jamu, beras, dan beragam jenis barang jualan.

Di Kampar (Riau), kantor sebuah partai adalah ruang depan sebuah rumah kontrakan yang hanya berisi hamparan tikar dan tumpukan sedikit dokumen. Dan siapa nyana, ketika kami -- saya dan Pak Dhani Indra dari LPU -- masuk ke sebuah ruang makan sederhana, ternyata di bagian belakang rumah makan itu adalah kantor sebuah partai hanya tersekat oleh sebuah lemari pajangan.

Di Pekanbaru saya juga menemukan kantor partai di lantai tiga sebuah pertokoan yang ruangannya lebih mirip lapanga parkir ketimbang sebuah kantor: ruangan luas menghampar tanpa sekat dan hanya ditandai  oleh kursi-kursi yang berderet dan spanduk besar bertuliskan identitas partai itu. Selain itu, adalah sangat umum bahwa kantor sebuah partai di tingkat kabupaten/kotamadya -- pun beberapa di tingkat provinsi! -- adalah rumah milik pengurus partai sendiri atau kontrakan yang dijadikan sebagai sekretariat sebuah partai.

Tentu ada juga kantor partai yang memang cukup representatif laiknya sebuah kantor. Namun, di Riau dan Sumsel, kantor partai semacam ini jumlahnya sangat tidak berarti  -- satu dua saja -- dibandingkan kantor-kantor yang bersahaja lain.

Dan justru ditempat-tempat amat bersahaja itulah saya menemukan wajah Indonesia yang berbeda. Indonesia yang bersemangat, antusias dan optimistik berhadapan dengan masa depan politiknya.

Umumnya para aktivis partai tidak bisa memperkirakan sebegerapa besar mereka bisa mendulang suara dalam Pemilu 1999. Namun wajah mereka memancarkan semangat yang sulit disembunyikan. Saking bersemangatnya, para pengurus partai di Kampar (Riau) yang mestinya menunggu kedatangan saya di kantor mereka, ternyata sudah berkumpul di kantor Bupati menanti kedatangan saya, sehari sebelum saya datang.

Umumnya pengurus partai yang saya temui adalah aktivis yang terjun ke politik sepenuh hati. Mereka juga memiliki keyakinan yang penuh tentang betapa pentingnya  kemajemukan politik mulai ditumbuhkan. Umumnya mereka percaya bahwa partainya tidak mungkin menjadi pemenang -- bahkan sekadar meraih suara besar sekalipun -- namun mereka yakin berpartai dan berkompetisi di lapangan politik secara riil akan membuat mereka berperan dalam proses perubahan yang tengah berjalan.

Yang paling menggembirakan saya adalah komitmen partai-partai itu pada pemilu tanpa kekerasan. Seluruh pengurus partai yang saya temui sepakat bahwa salah satu tugas mereka dalam Pemilu adalah menjaga jangan sampai massa pendukung mereka saling berkonflik secara fisik satu sama lain atau berkonflik dengan aparat. Mereka tanpa kecuali mengidamkan suasana pemilu yang tenang.

Pendeknya, para aktivis partai itu -- umumnya mereka berusia muda, satu generasi dengan saya -- tak bisa menutupi antusiasme, semangat dan optimisme mereka akan Indonesia yang lebih baik. Dari kebersahajaan dan kejernihan pikiran yang mereka miliki saya memperoleh pencerahan politik yang luar biasa.

Saya diajari tentang Indonesia dalam wajah yang sama sekali berbeda dengan wajah yang bisa saya tangkap di ruang-ruang diskusi atau halaman-halaman media massa Jakarta. Di Jakarta, Indonesia yang saya pahami adalah Indonesia yang begitu gelap gulita -- seperti digambarkan Ben Anderson dalam diskusi di Jakarta akhir pekan lampau. Namun di Pekanbaru, Kampar, Palembang , Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Indonesia yang saya temukan adalah Indonesia yang berbeda: Indonesia yang masih menerbitkan harapan.

Wajah Indonesia yang berbeda tentu saja bukan Indonesia tanpa masalah. Justru di berbagai tempat di Riau dan Sumatera Selatan, saya bertemu dengan persoalan-persoalan yang menguras keprihatinan.

Di Palembang misalnya, ternyata masih ada partai (baru) yang dihambat -- entah oleh siapa -- dalam kegiatan surat menyurat intra-partai. Surat yang dikirim dari tingkat propinsi ke kabupaten atau sebaliknya atau antarkabupaten kerapkali  sangat terlambat sampai di tempat tujuan.

Sebuah surat penting -- tentang permohonan legalisasi kepengurusan DT II oleh aparat partai DT I -- sebagai misal, dikirim dari kantor DPC Musi Rawas pada 14 Januari 1999 dan baru tiba di kantor DPD Sumsel di Palembang 11 Februari 1999. Akhirnya, setiap kali saling berkirim surat, partai ini tak menggunakan amplop yang menunjukkan identitas mereka. Walhasil: surat-menyurat lancar sebagaimana mestinya.

Di Musi Banyu Asin, Sumsel, ada kasus lain yang menjadi bahan keprihatinan masyarakat dan kalangan partai. Sejak beberapa bulan terakhir, formulir pembuatan KTP habis. Ppenduduk yang masa berlaku KTP-nya sudah habis pun tidak bisa meperbaharui KTP mereka.

Soal KTP itu menjadi kerisauan umum di kalangan partai politik dan penduduk. Sebuah partai yang berinisiatif melakukan pendataan terhadap KTP bermasalah dan sulit diperbaharui itu, dalam tempo singkat sudah bisa mengumpulkan lebih dari 3.000 helai KTP. Soal KTP ini pun menjadi bahan keresahan umum partai-partai di Sumsel lantaran dinilai potensial menjegal keikutsertaan calon pemilih dalam Pemilu 1999.

Secara umum, saya menemukan bahwa partai-partai baru di Riau dan Sumatera Selatan sebetulnya dihinggapi trauma busuknya praktik politik di sekitar Pemilu-pemilu Orde Baru. Mereka masih dihantui oleh berbagai praktik kecurangan dan keculasan yang menjadi salah satu ciri yang umum di balik kemenangan demi kemenangan Golkar.

Saya percaya bahwa kecurangan atau keculasan a la Orde Baru yang masih dipertahankan bisa menjadi sumber ledakan konflik yang sulit dikendalikan. Dalam konteks inilah saya memahami mengapa setiap aktivis partai yang saya temui umumnya memiliki semangat yang tinggi untuk ikut serta Pemilu 1999 namun dengan kecurigaan dan kewaspadaan yang juga tinggi.

Bagaimanapun, saya melihat bahwa verifikasi partai politik yang dijalankan sebagai bagian pekerjaan Tim 11, telah mendorong partai-partai baru untuk bersiap menghadapi Pemilu 1999. Partai-partai menjadi terpacu untuk menyiapkan diri, setidaknya secara administratif.

Sekarang Tim 11 sudah bubar. Verifikasi telah usai dan menghasilkan rekomendasi tentang peserta Pemilu 1999. Saya tahu bahwa partai-partai yang direkomendasikan tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu tentu tidak puas dan kecewa. Saya ingin memberi dua catatan tentang ini.

Pertama, sejauh ketidakpuasan dan kekecewaan itu diartikulasikan secara rasional dan dewasa, maka ia bisa menjadi bagian yang positif dari persiapan pemilu yang demokratis. Namun jika ketidakpuasan dan kekecewaan itu diletupkan secara irasional dan kanak-kanak, saya kawatir ia bisa menjadi salah satu ganjalan menuju Pemilu demokratis.

Kedua, ketidakpuasan dan kekecewaan itu seyogianya disalurkan melalui mekanisme kelembagaan yang tepat. Tim 11 saat ini sudah tidak ada, sudah bubar. Rekomendasi Tim 11 telah dijadikan bahan bagi Keputusan Mendagri selaku Ketua LPU untuk menetapkan partai politik peserta Pemilu 1999. Beberapa hari lagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) terbentuk. Sebaiknya ketidakpuasan dan kekecewaan partai-partai yang tidak bisa menjadi peserta Pemilu 1999 diselesaikan pada tingkat KPU. Dan saya yakin, beragam alternatif jalan keluar masih terbuka di sana.