Menuju Pemilu yang Anggun
Madani, 11-18 Maret 1999



Saya membaca buku itu dengan takzim. Ditulis oleh Boyd R Compton, seorang calon Indonesianis amat potensial namun meninggalkan dunia akademis sebelum sempat meninggalkan jejak teoritis tentang Indonesia. Bukunya -- sebetulnya lebih tepat disebut kumpulan laporan pandangan mata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia -- berjudul Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R Compton.

Salah satu bagian buku itu bercerita tentang Pemilu 1955. Saya tak terkesan oleh kebaruan dan spesifikasi datanya -- memang tak banyak data baru dan spesifik di sana --  melainkan oleh penggarisbawahan Compton yang tegas tentang suasana Pemilu 1955 yang tenang dan tertib. Compton menggambarkan bahwa Pemilu 1955 berjalan dalam cekaman sepi yang aneh, namun penuh kedamaian.

Saya terkesan oleh fakta itu. Sebuah pemilu pertama di Republik  yang belum lama merdeka di tengah sistem multipartai, ternyata bisa berjalan dengan tertib tanpa kerusuhan. Sungguh menakjubkan. Apalagi jika dikomparasikan dengan suasana politik di seputar Pemilu 1997 lalu dan suasana politik menjelang Pemilu 1999 hari-hari ini.

Fakta itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru saya temukan pada laporan Compton. Jauh sebelum laporan Compton terpubilkasi, laporan penelitian Alfian dan Herbert Feith telah menggambarkan Pemilu 1955 sebagai pemilu yang anggun.  Diikuti oleh puluhan partai politik -- ada 172 tanda gambar di seluruh Indonesia (Alfian), dengan 28 peserta (partai, nonpartai) yang akhirnya memperoleh kursi (Feith) -- Pemilu 1955 berjalan tanpa kerusuhan, tanpa korban jiwa.

Sekalipun Feith menceritakan adanya praktik intimidasi di berbagai pelosok, Pemilu 1955 relatif bersih dari praktik manipulasi dan represi. Maka hingga sekarang, Pemilu 1955 diingat orang sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Bagaimanakah Pemilu 1955 yang anggun itu bisa kita jelaskan?  Jawabannya terletak pada eksperimen demokrasi liberal yang meletari Pemilu 1955. Eksperimen ini -- dengan segala cacat yang diidapnya -- telah menumbuhkan sejumlah tradisi politik positif yang sangat produktif, menunjang terlaksananya sebuah pemilu yang anggun.

Pertama, semenjak Maklumat No X/1945 dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, partai-partai politik berdiri bak cendawan di musim hujan. Ini berimplikasi pada terjadinya pembiasaan kemajemukan politik. Setelah berjalan sembilan tahun (1946-1955), kemajemukan dalam wadah sistem parlementer itu akhirnya membangun tradisi politik dewasa: tradisi perbedaan, kesiapan untuk berbeda.

Kedua, eksperimen demokrasi liberal menampilkan iklim kompetisi yang sangat ketat dan relatif konstan -- terutama sepanjang 1949-1955. Persaingan tak hanya terjadi dalam parlemen yang membuat kabinet jatuh bangun namun juga terekspresikan dalam pers. Menurut catatan Edward C Smith, pers waktu itu tak saja berkembang dari sudut jumlah -- selama 1949-1955 jumlah koran yang terbit di Indonesia berkembang pesat: 75 surat kabar pada 1949 dan berturut-turut, 93, 85, 102, 104, 105, dan 108 surat kabar dalam tahun-tahun berikutnya (Smith, 1986; 242) -- namun juga kualitatif. Pers merefleksikan kompetisi antarpartai. Ini menanamkan tradisi kompetisi politik dalam kehidupan partai.

Ketiga, eksperimen demokrasi liberal ditandai oleh jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang sangat kerap. Selama 1945-1955, tak ada satu pun kabinet yang bisa bertahan dalam waktu dua tahun penuh. Bahkan ada beberapa kabinet yang hanya bisa bertahan sekitar satu bulan. Dalam perspektif positif, gejala itu diam-diam menanamkan tradisi sirkulasi kekuasaan dalam sistem politik. Yang kemudian mencuat dari baliknya adalah kesiapan menjadi pemenang atau pecundang yang baik.

Keempat, eksperimen demokrasi liberal membuktikan betapa sebuah Republik yang masih bayi ternyata memiliki stok pelaku politik dewasa. Tokoh-tokoh politik nasional -- baik yang berpartai maupun yang tidak berpartai -- memiliki kemahiran berkonflik secara politik sambil tetap berhubungan baik secara personal. Mereka memiliki kearifan untuk mempertahankan kepentingan politiknya sambil dengan menyisakan ruang bagi kompromi atas nama kepentingan yang lebih besar. Taufik Ismail menggambarkan fakta ini dalam salah satu sajak yang terkumpul dalam Malu Aku Menjadi Orang Indonesia (1999).

Kelima, Pemilu 1955 dilaksanakan di tengah tradisi berpartai yang sudah berjalan hampir sembilan tahun. Ini memberi kesempatan bagi partai-partai politik untuk membina basis politik bahkan ideologi pada elite dan massanya. Partai-partai sempat membangun "politik aliran" -- dalam pengertian sesungguhnya. Partai-partai politik sempat membangun "barisan politik" -- tak sekadar "kerumunan politik" -- yang berbasiskan aliran. Dengan mengecualikan partai atau kelompok non-partai yang baru tumbuh menjelang Pemilu 1955, sistem multipartai yang ada waktu itu telah cukup matang.

Kelima faktor itulah -- adanya (1) tradisi perbedaan, (2) tradisi kompetisi, (3) tradisi sirkulasi kekuasaan dengan kesiapan menjadi pememang dan pecundang yang baik, (4) kemampuan konflik dan kompromi, serta (5) politik aliran dalam sistem kepartaian yang cukup matang -- yang melatari terbangunnya Pemilu 1955 yang anggun.

Celakanya, Pemilu 1999 dilaksanakan setelah lima faktor itu terpangkas habis oleh kekeliruan politik empat dekade terakhir era Sukarno-Soeharto. Politik sinkretisme Sukarno dan politik penyeragaman Soeharto telah menghabisi tradisi berbeda, berkompetisi, sirkulasi kekuasaan, dan konflik-kompromi. Selain itu, partai-partai politik yang tumbuh sepanjang Mei 1998 - Maret 1999 -- jumlahnya mencapai 141 buah plus tujuh buah yang tak dilegalisasi sebagai partai politik -- tidak sempat membangun basis politik apalagi ideologi pada massanya; bahkan pada elitenya sekalipun. Maka berbeda dengan Pemilu 1955 yang ditandai oleh sigapnya politik aliran, Pemilu 1999 sebetulnya hanya ditandai oleh nekadnya politik bendera. Partai-partai adalah kerumunan politik yang belum sempat diolah menjadi barisan politik; belum sempat diikat oleh aliran.

Ditambah dengan faktor rusaknya kredibilitas pemerintah, aparat pengaman, dan institusi hukum -- plus suasana krisis ekonomi yang mencekam -- Pemilu 1999 memang jadi sangat mengkhawatirkan. Inilah pemilu yang harus dijalankan dengan kemampuan kendali dan menahan diri yang sangat besar.

Dalam konteks itu, agenda Pemilu 1999 bukan saja menggapai tingkat kejujuran dan keadilan yang setinggi mungkin, melainkan juga mencapai tingkat ketertiban setinggi mungkin dengan minimalisasi kekerasan politik. Untuk itu dibutuhkan peran sebanyak mungkin isntitusi publik -- termasuk instituti pers -- yang masih peduli pada agenda ketertiban sosial dan antikekerasan.