Mbak Mega, Bicaralah !
Tekad, No. 20/Tahun  I . 15-21 Maret 1999



Dalam Suatu diskusi  dua pekan lalu, saya memperoleh pertanyaan dari seorang peserta: Pemimpin seperti apakah yang kita butuhkan ? Yang lebih banyak bicara atau yang lebih bayak diam ? jawaban saya : yang bicara sesuai kebutukan  dan yang diam sesuai kebutuhan.

Sang peserta tak puas dengan jawaban itu dan melanjutkan dengan pertanyaan lanjutan : Apakah bicaranya M Amin Rais dan diamnya Megawati Sukarno Putri sudah sesuai dengan kebutuhan? Jawaban saya; Amin Rais kerapkali bicara lebih banyak dari yang dibutuhkan. Hampir tak ada isu yang tidak tersentuh oleh Pak Amin. Akhirnya, Pak Amin kerapkali tampil sebagai seorang “koki masakan Jepang”. Ia memasak isu-isu yang beredar didepannya dengan cepat, spontan, namun kerapkali tak matang. Pak Amin pun kerapkali terseok-seok. Kerepotan sendiri dengan dengan isu-isu yang dimasaknya itu. Maka jika “rajin bicara” merupakan titik unggul pak Amien, itu pulalah yang kini menjadi titik lemahnya.

Namun sekalipun begitu, lantaran rajinnya Pak Amien bicara dalam hampir semua medan perdebatan, maka publik bisa menimbang Pak Amien dengan baik. Pak Amien tak jadi kucing dalam karung, melainkan kucing yang banyak berkeliaran dipekarangan banyak orang. Semua orang bvisa menimbang sosoknya, mencermati warnanya, dan menilai kegarangan-kelembutannya. Mbak Mega sebaliknya, Ia sangat terlampau banyak diam ketika publik sebetulnya justru memerlukan suara-suara bijak dari seorang calon pemimpin..Karena itu, porsi diam Mbak Mega, menurut hemat saya, terlalu banyak. Terlebih-lebih hal itu sudah berlangsung cukup lama, sejak Soeharto masih menjadi orang nomor satu di Negeri ini. Ketika gerakan Reformasi 1998 tengah mengalami grafik naik - antara Febuari sampai Mei 1999 - Mbak Mega hampir tidak pernah terlibat dalam perdebatan publik yang sangat ingar bingar waktu itu. Mbak Mega  tenggelam  dalam kebisuan ketika semua tokoh penting terlibat dalam pembentukan wacana reformasi.

Pekan lalu, Mbak Mega sudah memberikan penjelasan tentang sikap diamnya. Menurut penuturannya, ia sengaja diam dalam banyak  isu publik karena sudah terlalu banyak orang yang bicara. Sebagai bagian dari publik, sebagai seorang warga negara yang sedang menimbang-nimbang sejumlah calon pemimpin bangsa, saya terus terang tidak bisa menerima logika penjelasan itu. Menurut hemat saya, di tengah lalu-lintas isu yang sangat padat, ketika banyak sekali suara terdengar, justru dibutuhkan pandangan-pandangan yang jernih, lintas kepentingan kelompok  dan menyejukan dari para (calon pemimpin. Setiap orang sebetulnya berhak “ melarikan diri”, menjauh dari lalu lintas isu yang bising saat ini dengan memilih diam dan membangun keheningan . Tetapi, menurut hemat saya, hak itu sebaiknya tidak diberlakukan terlalu leluasa bagi para (calon) pemimpin. Mereka seyogyanya ada ditengah lalu lintas yang bising  itu dan melakukan langkah-langkah pro-aktif didalamnya untuk menghindari sebuah “ kemacetan total”. Krena itu, izinkanlah saya menggunakan hak saya sebagai warga negara untuk mengajak Mbak Mega lebih banyak bicara. Sebab hanya dengan itu, saya bisa menakar kapasitas beliau sebagai salah seorang calon pemimpin bangsa.

Menurut hemat saya, publik berhak mengetahui kompetensi profesional calon pempinan mereka. Ini antara lain bisa dilihat dengan mengetahui kekayaan gagasan sang calon pemimpin. Dengan cara ini, pemilihan pemimpin akan terhindar dari mekanisme membeli kucing dalam karung atau mekanisme pemberian cek kosong - Yang merupakan praktek tak sehat. Persoalannya kerapkali tidak hanya di level calon pemimpin, namun juga ditingkat publik. Masyarakat kita adalah warisan orde baru. Masyarakat selama ini justru dibiasakan hidup ditengah model kepemimpinan yang tertutup, sakral, dan cenderung membangun kharisma-irrasional- dengan Soeharto sebagai model terbaiknya.  Orde Baru membiasakan masyarakat  untuk hidup di tengah pemimpin yang lebih banyak  diam, seolah-olah tidak menyukai publisitas dan membiarkan “ para pembantu”  yang banyak  bicara. Orde Baru membiasakan masyarakat  untuk hidup di tengah pemimpin yang enigmatik, sulit diduga apa maunya, sulit dibaca bagaimana pemikirannya, sulit ditimbang bagaimana rasa dan ekspresinya.

Dalam konteks itu, model kepemimpinan yang kemudian terbentuk adalah model kepemimpinan yang kemudian terbentuk adalah model kepemimpinan ala raja masa lampau. Semakin banyak diam sang pemimpin, maka semakin mistik dan sakral lah dia. Wibawa seorang pemimpin dianggap semakin tinggi ketika ia semakin diam, tak bergeming, model kepemimpinan semacam inilah - yang pernah digambarkan Clifford Geert ketika membahas theatre state - yang bisa ditemukan dalam praktek Orde Baru.

Ada Beberapa konsekuensi penting dari praktek model kepemimpinan seperti itu. Pertama, kepemimpinan mengalami proses sakralisasi. Semakin hari sang pemimpin menjadi semakin sakral. Akibatnya semakin hari sang pemimpin samakin jauh dari " “dunia rakyatnya" ”- bukannya semakin dekat.
Kedua, kharismatisasi. Kualitas kepemimpinan dinilai semakin tinggi ketika sang pemimpin mencapai tingkat kharisma yang makin tinggi. Ditenga proses sakralisasai yang difasilitasi secara sengaja dan legal oleh sistem sosial dan politik - kharisma yang terbentuk bukanlah kharisma alamiah melainkan produk rekayasa dan pemaksaan.

Ketiga, kepemimpinan pun tak bisa menghindarkan diri dari proses personalisasi. Kepemimpinan makin menjadi gejala personal. Kerja kepemimpinan makin pada personalitas.

Keempat, kepemimpinan menjadi semakin steril dari pengawasan dan terhindar dari keharusan untuk menegakan public accountability (akuntabilitas publik). Akibatnya pemimpin - seperti digambarkan (almarhum) Dr Alfian dalam salah satu laporan penelitian - punya kecenderungan untuk monopoli kebenaran. Potret kepemimpinan yang centang-perenang semacam itulah yang terpraktekan di era Soekarno dan Soeharto. Masyarakat yang kemudian terproduksi dari dalamnya. Adalah masyarakat yang tidak memiliki kecenderungan untuk kritis pada pimpinannya; masyarakat yang cenderung irrasional berhadapan dengan pilihan atas pimpinan mereka; masyarakat yang memanjakan para pemimpin.

Suasana pemanjaan yang datang dari masyarakat itulah yang saat ini sangat mencemaskan. Terlampau banyak sekarang ini pemimpin yang dimanjakan. Adalah sungguh celaka manakala para pemimpin pun menyenangi dan menikmati pemanjaan itu. Menurut hemat saya, jika Pak Amien, Mbak Mega, Gus Dur, atau siapa pun, memang ingin membangun masyarakat Indonesia baru - dengan penyehatan di sana sini-seyogianya mereka justru ada dibarisan terdepan untuk menghindarkan kembalinya model kepemimpinan distortif seperti tergambar diatas. Mereka justru harus mengambil inisiatif  untuk menjalani proses menuju tampuk kepemimpinan bangsa melalui mekanisme yang melibatkan publik. Mereka harus banyak bicara untuk soal-soal yang memang membutuhkan peranan mereka. Sebaliknya, mereka tentu saja boleh berdiam diri ketika suara mereka memang sedang tidak dibutuhkan.

Dalam kerangka itu, saya ingin menggunakan hak saya sebagai warga negara untuk memberi saran-saran berikut. Orang seperti Pak Amien seyogianya bisa membatasi diri untuk tidak terlalu banyak bicara di luar kebutuhan dan tidak terlalu cepat bicara  sebelum mengolah isu dengan matang. Orang seperti Gus Dur  sebaiknya lebih hati-hati, transparan, dan tanggung jawab ketika bicara. Dan Mbak Mega seyogianya memperbanyak bicara.