Belajar Bertanggung Jawab
Adil, No 28. Tahun ke 67. 14 - 20 April 1999




Segera setelah terjadi insiden Purbalingga, saya langsung jatuh kasihan pada rakyat. Di tengah pidato para pimpinan partai politik tentang reformasi dan penegakan kembali kedaulatan rakyat, ternyata rakyat hanya dibutuhkan dan suaranya saja oleh partai. Dan ketika rakyat menggunakan atribut partai - yang menunjukkan dukungan mereka pada partai itu - melakukan kekeliruan, para pemimpin partai tidak mau bertanggungjawab atas apa yang dilakukan rakyat. Rakyat yang bekerja atas nama dukungannya pada partai, diminta bertanggungjawab sendiri.

Rasa kasihan pada rakyat itu mengharu biru saya segera setelah Tarto Sudiro, salah seorang pemimpin PDI Perjuangan, berbicara melalui sebuah stasiun televisi swasta bahwa yang melakukan penyerangan terhadap partai Golkar di Purbalingga adalah rakyat, bukan massa PDI Perjuangan. Tarto Sudiro menolak kemungkinan adanya massa atau kader PDI Perjuangan di tengah massa yang melakukan teror dan kekerasan itu. Karena itu, PDI Perjuangan merasa tak perlu ikut bertanggungjawab dan meminta maaf atas ulah massa yang sebagian diantaranya beratribut PDI Perjuangan itu.

Selain rasa kasihan pada rakyat, yang juga layak diajukan adalah rasa prihatin pada masih rendahnya rasa tanggungjawab partai politik. Seharusnya, setiap tindakan teror atau kekerasan yang dilakukan oleh massa sebuah partai langsung ditindaklanjuti oleh tiga bentuk pertanggungjawaban: moral, politik dan hukum.

Setiap tindakan teror atau kekerasan yang dilakukan oleh massa sebuah partai, semestinya segera diikuti oleh mekanisme pertanggungjawaban moral. Bentuknya, pimpinan partai politik yang bersangkutan secara arif dan rendah hati menyatakan rasa bersalahnya dan tak malu menyatakan permohonan maaf kepada semua pihak yang dirugikan oleh tindakan teror atau kekerasan itu. Dengan melakukan tindakan ini, partai menunjukkan rasa tanggungjawab dan pengayomannya pada “rakyat” yang telah mendukung mereka.

Selain itu, setiap tindakan teror atau pengrusakan fasilitas publik oleh massa partai tertentu mestinya segera diikuti oleh mekanisme pertanggungjawaban politik. Partai politik “pemilik” massa itu harus mengambil alih tanggungjawab beserta segala konsekuensinya. Secara lapang dan ihlas partai itu harus bersedia menerima sanksi atas apa yang dilakukan massanya.

Akhirnya setiap tindakan teror, pengrusakan fasilitas publik, gangguan keamanan orang / pihak lain, serta kekerasan semestinya segera ditindaklanjuti dengan mekanisme pertanggungjawaban hukum. Orang per orang dalam kasus teror hingga kekerasan itu, mesti diproses berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Orang per orang itu semestinya diperlakukan sebagai pelaku kriminal. Dalam konteks pertarungan antar partai selama proses Pemilu 1999, yang perlu digarisbawahi dalam proses pertanggungjawaban hukum ini adalah keharusan untuk menyelesaikannya secara cepat, tuntas, transparan, dan adil. Sebab pengabaian atas keharusan-keharusan ini sangat mungkin merusak proses pemilu yang tengah berlangsung.

Jika partai-partai politik dan massa mereka cenderung menghindari tiga bentuk tanggungjawab diatas, maka bisa dibayangkan bahwa selama Pemilu 1999 kekerasan yang berbasis massa akan terus berkembang tanpa ada satu pun institusi yang bisa mengelola atau mengendalikannya. Persoalan lalu menjadi lebih sulit manakala ada partai politik yang ternyata justru menyokong - terang-terangan atau diam-diam - praktik-praktik kekerasan dan teror itu.

Pemilu-pemilu Orde Baru telah memberikan pelajaran tentang betapa berbahayanya penghindaran tiga bentuk tanggung jawab dan adanya kontestan yang pro kekerasan semacam itu. Partai-partai peserta pemilu-pemilu Orde Baru dan massa mereka selalu menghindarkan diri dari keharusan untuk bertanggungjawab secara moral, politik dan hukum. Sementara itu, peserta Pemilu - dengan Golkar sebagai representatif yang terbaik - menunjukkan “pemihakannya” pada praktik kekerasan dan teror.

Insiden Purbalingga hendaknya menjadi alarm peringatan bagi kita semua untuk tidak mengulang kekeliruan masa lampau itu. Sayangnya, sejauh ini alarm itu kelihatan tidak terlalu di dengar. Benar bahwa akhir pekan ini (8/4/99) PDI Perjuangan telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Purbalingga. Namun perkembangan positif ini tidak menjamin bahwa mekanisme pertanggungjawaban moral dan politik akhirnya akan ditunaikan oleh PDI Perjuangan. Disisi lain, proses pertanggungjawaban hukum yang mesti dilakukan kepolisian dan pengadilan juga dilakukan secara cukup lamban dan kurang transparan.

Bagaimanapun, belum semua episode epilog insiden Purbalingga selesai digelar. Saya berharap semua pihak yang terlibat bersedia secara rendah hati bertanggungjawab dan mengambil resiko dan menerima sanksi atas apa yang mereka perbuat. Secara khusus, saya juga berharap PDI Perjuangan - dengan jumlah dan karakter massa yang dimilikinya-membangun kepemimpinan yang lebih sigap dan bertanggungjawab menghadapi perilaku massanya.

Secara lebih khusus, harapan layak diajukan kepada Megawati. Tidak selayaknya Megawatiu berdiam diri menghadapi kasus semacam insiden Purbalingga itu. Bukan saja lantaran dalam Insiden Purbalingga terjadi pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang sangat berat terhadap perempuan, melainkan juga lantaran pimpinan partai seyogianya menjalankan peran aktif ditengah masa pancaroba pra tansisi sekarang ini.

Tentu saja saya paham bahwa massa perusuh dalam insiden Purbalingga tidak disimplikasikan sebagai massa PDI Perjuangan saja. Proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian misalnya, menemukan bahwa diantara para perusuh ada massa Pemuda Pancasila yang afiliasinya bukan pada PDI Perjuangan. Juga ada massa yang tidak beratribut partai apapun. Saya juga paham bahwa partai Golkar memang sangat potensial mengundang protes gangguan lantaran kekeliruan-kekeliruannya di masa lampau.

Namun semua faktor itu tidak bisa membuat PDI Perjuangan lari dari tanggungjawab. Adalah kebetulan bahwa dalam insiden Purbalingga, PDI Perjuangan menjadi pelakon utama. Jika terjadi insiden-insiden lain yang pelaku utamanya partai lain, anjuran moral untuk bertanggungjawab yang saya ajukan ini tetap berlaku. Kita semua harus mulai belajar bertanggungjawab.