Pemanjaan Golkar
Gamma, 18 April 1999



Dalam berbagai diskusi publik belakangan ini saya sering mendengar pernyataan: Jika Golkar menang pasti pemilu tidak jurdil alias penuh kecurangan. Pernyataan itu tak hanya saya dengar dari kalangan awam, melainkan juga para analis, pengamat politik, dan politisi.

Menurut saya, pernyataan itu mengidap persoalan metodologis dan historis yang cukup serius. Secara metodologis, penggunaan kemenangan Golkar atau partai politik manapun untuk mengukur kualitas Pemilu 1999 tidaklah bisa dipertanggungjawabkan. Untuk mengukur jurdil atau tidaknya Pemilu 1999 yang harus dilihat adalah proses demi proses pemilu yang berlangsung, bukan hasil akhir dari pemilu itu. Kemenangan Golkar tak bisa menjadi ukuran yang serta merta atas kualitas pemilu.

Secara historis pernyataan di atas cenderung abai pada kenyataan bahwa umumnya masyarakat pemilih yang tersedia dalam Pemilu 1999 adalah masyarakat pemilih produk dan warisan Orde Baru. Masyarakat pemilih Pemilu 1999 bukanlah sesuatu yang datang dari langit. Mereka tidak baru lahir dan menumbuhkan pola pikirnya ketika reformasi berlangsung, segera setelah Soeharto jatuh. Umumnya mereka ada, hidup di dalam, dan berkembang bersama Orde Baru.

Salah satu karakter penting dari masyarakat pemilih seperti itu adalah kejernihan berpikir dan paradigma politik mereka telah terdistorsi oleh kekeliruan-kekeliruan Orde Baru. Politik keamanan dan politik logistik Orde Baru (yang menjauhkan masyarakat dari politik sambil memberi "hadiah" berupa relatif tersedianya kebutuhan pokok minimal) telah membentuk mereka sebagai masyarakat apolitis dan sangat pragmatis. Dalam Pemilu 1999 Golkar termasuk yang termanjakan oleh karakter pemilih seperti ini, dan karena itu mungkin saja tetap bisa meraup suara besar tanpa perlu merusak sepenuhnya kualitas jurdil pemilu.

Mari kita lacak logika berpikir historis tentang masyarakat pemilih itu. Secara umum kita bisa mengkategorisasikan masyarakat pemilih Pemilu 1999 ke dalam tiga kantong besar: kantong kalkulatif, primordial, dan alienatif.
Kantong pemilih kalkulatif adalah kantong terkecil; umumnya lebih banyak tersedia di perkotaan, di tengah komunitas yang tingkat konsumsi informasinya cukup tinggi serta tingkat kapabilitas sosio-ekonominya relatif tinggi. Pemilih kalkulatif akan memilih partai setelah mengkalkulasi secara rasional apa yang bisa diberikan partai untuknya.

Selain kecil, kantong ini terbelah lagi ke dalam dua varian: pemilih kalkulatif pencari keamanan-kepastian jangka pendek yang didera kekhawatiran kenikmatan masa lampaunya terenggut; dan pemilih kalkulatif kritis-reformis yang siap mengambil risiko. Golkar dan PDI Perjuangan masih bisa mengeduk suara dari pemilih kalkulatif varian pertama. Sementara PAN akan atraktif bagi varian kedua.

Kantong pemilih primordial adalah kantong yang jauh lebih besar dari kantong kalkulatif. Pemilih jenis ini menentukan afiliasinya pada partai berdasarkan kesamaan identitas primordial: etnik, ras, agama, dan bentuk-bentuk ketiga ikatan itu yang lebih mikro. Golkar bukanlah partai yang cocok dengan ikatan emosi-primordialistik. Di kantong ini Golkar tak akan laku. Begitu juga PDI Perjuangan.

Pemilih primordial Islam adalah pemilih yang akan paling bingung dalam Pemilu 1999 karena ada 20 partai Islam yang ikut bertarung. Partai-partai "besar" kalangan Islam (PPP, PKB, PBB, dan PK) dan PAN akan memperebutkan  secara sengit kantong ini. Partai Kristen/Katolik dan Partai Bhineka Tunggal Ika (pencari suara Tionghoa) akan memperbutkan sisanya.

Kantong terbesar adalah pemilih alienatif. Inilah pemilih yang umumnya berdiam di pelosok-pelosok dan telah dibentuk sebagai massa khas Orde Baru yang apolitis dan pragmatis. Dalam batas-batas tertentu, mereka juga "kedap reformasi". Mereka mudah diikat suaranya oleh simbolisme (PDI Perjuangan), ketokohan nasional (Golkar, PDI Perjuangan, dan PAN), atau oleh tawaran pragmatisme yang sangat berjangka pendek dan ad hoc (Golkar). Golkar dan PDI Perjuangan adalah partai yang akan paling berpesta pora memperebutkan kantong ini.

Pemetaan tentatif di atas mengarah pada kemungkinan Golkar atau PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 1999. Namun siapapun di antara mereka yang akan menjadi nomor satu, ia tetap tak akan bisa meraih suara mayoritas mutlak. Yang mencemaskan dari kemungkinan ini adalah pemenang Pemilu 1999 boleh jadi memang bukan partai yang benar-benar menunjukkan karakter dukungan massa reformis. Irasionalitas, pragmatisme-jangka pendek, ketokohan artifisial, dan simbolisme  yang berbasiskan otoritarianisme masa lampau (Orde Lama untuk PDI Perjuangan dan Orde Baru untuk Golkar), akan merupakan faktor-faktor pendukung kemenangan partai dalam Pemilu 1999.

Dalam konteks itulah penyadaran dan pemberdayaan akan menjadi agenda sangat mendesak saat ini. Semakin terabaikan agenda ini maka semakin besar kemungkinan kekalahan reformasi melalui Pemilu 1999. Dan jangan lupa, di tengah basis pemilih yang tersedia, reformasi  bisa kalah secara jurdil.