Mewaspadai Tahap
Pendaftaran Pemilih
Panji Masyarakat, 21 April 1999



Setelah sempat tertunda secara mencemaskan, tahap pendaftaran pemilu akhirnya dilaksanakan. Namun kecemasan tampaknya belum boleh diakhiri setidaknya lantaran beberapa sebab.

Pertama, setelah lebih dari satu minggu pendaftaran pemilih berjalan --terhitung sejak 5 April 1999-- persoalan dan kendala teknis tersebar di mana-mana. Kendala ini terentang mulai dari belum tersedianya formulir pendaftaran atau stempel hingga ke kendala yang sangat serius semacam belum sampainya informasi mengenai bagaimana pendaftaran pemilih itu harus dilakukan, yang membuat petugas pendaftaran pemilih (gastarlih)  menunggu tanpa bisa melakukan apa-apa. Bahkan di beberapa tempat, lantaran kendala-kendala itu, tahapan pendaftaran pemilih belum bisa dimulai sama sekali sekarang ini.

Kedua, perubahan model pendaftaran dari pasif --yang selalu dipakai dalam pemilu-pemilu Orde Baru-- ke aktif, ternyata mendatangkan kecanggungan di mana-mana bagi banyak pihak. Di beberapa tempat tingkat kecanggungannya sebegitu serius sehingga baik calon pemilih maupun panitia pemilu (PPS) tak tahu harus melakukan apa.

Karena rasa canggung itu, misalnya, banyak orang memahami model daftar aktif itu secara keliru. Sistem daftar aktif dipahami bukan sebagai perkembangan positif --perubahan sikap filosofis dari “memilih sebagai kewajiban” menjadi “memilih sebagai hak”-- melainkan sebagai upaya mengurangi partisipasi. Rasa canggung itu juga yang membuat terjadi distorsi tentang persentase pemilih. Dengan sistem daftar aktif seharusnya tak ada lagi keharusan untuk memaksakan diri mencapai persentase pemilih di atas 90% seperti terjadi selama ini.

Ketiga, waktu yang sangat terbatas membuat KPU dan PPI tidak “sempat” membuat aturan dan penjelasan aturan yang serinci mungkin tentang mekanisme pendaftaran. Akibatnya, panitia pemilu di tingkat lokal (PPD I, PPD II, PPK, PPS, dan KPPS) harus kreatif mengoperasionalisasikan aturan-aturan itu. Ini menimbulkan persoalan yang bisa berkembang menjadi sangat serius: mekanisme pendaftaran pemilih tidak seragam dari satu tempat ke tempat lain. Masalah seriusnya adalah potensi pelanggaran aturan perundang-undangan terbua di mana-mana. Di beberapa tempat terjadi mobilisasi pemilih, pendaftaran perwakilan-kolektif, dan praktik pendaftaran pasif.

Keempat, tahap pendaftaran pemilih sangat boleh jadi akan lepas dari pemantauan yang efektif. Ketika pendaftaran pemilih dimulai, para pemantau masih sibuk melakukan konsolidasi di tingkat awal. Konsolidasi awal ini --mulai dari rekrutmen relawan hingga ke pelatihan calon relawan-- baru akan usai ketika tahap pendaftaran pemilih sudah selesai. Karena itu, pendaftaran pemilih tidak akan mendapatkan jatah porsi pemantauan yang cukup.

Sumber-sumber kecemasan di atas pada gilirannya membuat tahap pendaftaran pemilih bisa berjalan sambil mengidap persoalan atau pelanggaran serius. Beberapa bentuk pelanggaran bisa disebut di sini. Misalnya terhambatnya calon pemilih oleh kartu identitas (karena kekeliruan tafsir aturan di tingkat bawah yang mengharuskan KTP sebagai satu-satunya kartu yang bisa dipakai), dan kemungkinan adanya pendaftaran ganda akibat buruknya administrasi kependudukan.

Potensi kecurangan juga terbuka dalam bentuk mobilisasi politik calon pemilih di daerah terpencil --yang menggunakan model daftar aktif-- oleh gastarlih. Bentuk kecurangan lain adalah mobilisasi atau intimidasi --baik halus maupun kasar-- terhadap masyarakat agar mendaftar atau tidak mendaftar. Fatwa MUI yang menyatakan ikut pemilu adalah fardlu `ain, atau mobilisasi oleh PRD di Timtim agar masyarakat bersikap Golput, adalah dua contoh pelanggaran itu.

Dalam konteks itu, mewaspadai tahapan pendaftaran pemilih adalah sebuah keharusan. Kewaspadaan ini mesti dimiliki  oleh media massa dengan meliput dan melaporkan secara faktual setiap kecurangan atau potensi kecurangan yang bisa ditemukan di lapangan. Peran pers menjadi sangat penting sekalipun daya jangkaunya terbatas.

Bentuk kewaspadaan lain yang akan lebih efektif adalah melakukan pengawasan atau oposisi individual. Setiap masyarakat calon pemilih hendaknya bersikap kritis dan siaga ketika menjalani tahapan pendaftaran. Setidaknya mereka siaga pada tendensi mobilisasi dari pihak mana pun.  Mereka harus berpegang teguh pada prinsip memilih adalah hak sebagaimana diatur oleh UU No. 3/1999 tentang Pemilu. Setiap orang berhak untuk mendaftar atau tidak mendaftar secara leluasa tanpa diganggu siapa pun.