Partai Sirkus dan
Kampanye Membosankan                                
Republika, 24 Mei 1999



Apa pelajaran penting dari lima hari kampanye yang telah berlangsung? Jawabannya: Banyak. Antara lain, sejumlah partai dibuat tahu diri bahwa mereka hanyalah partai media massa. Bukan partai massa. Mereka berkampanye dan tak ada massa yang tertarik hadir. Mulai hari kedua kampanye di Jakarta, terlihat tegas bahwa umumnya partai akhirnya batal mengerahkan massa bukan karena berubah pikiran menjadi lebih setuju kampanye dialogis dengan massa terbatas, melainkan karena memang benar-benar tak punya massa.                                   

Dan pelajaran terpenting dari lima hari kampanye itu boleh jadi adalah betapa 'ramalan-ramalan Jakarta' -- yang dibuat di Jakarta dengan bahan dasar 'kecemasan orang Jakarta' -- ternyata tak atau belum sepenuhnya benar. Banyak peramal yang mengatakan akan ada rusuh nasional atau ledakan politik besar di mana-mana semenjak saat-saat awal kampanye. Nyatanya, hingga hari kelima ramalan itu tak terbuktikan. Memang ada beberapa insiden atau sengketa di beberapa tempat, namun itu sama sekali tak bisa disebut sebagai gejala nasional yang menyeluruh.
Di sejumlah tempat yang terjadi justru berbanding terbalik dengan 'ramalan Jakarta'. Di Ujungpandang misalnya, kampanye ditandai oleh kemesraan PAN dan PDI Perjuangan yang kedua-duanya mengerahkan massa besar. Di sejumlah tempat massa kedua partai bahkan bertukar bendera.

Massa besar ternyata bisa juga terkendali. Di banyak kota bahkan diadakan pawai bersama 48 partai politik sebagai tanda dimulainya masa kampanye. Sayangnya, di Jakarta pawai semacam ini dirusak oleh tindakan kekerasan terhadap Golkar.                                   

Terlepas dari nasib buruk yang dialami Golkar sebagai sasaran amuk dan kemarahan -- yang sebagian merupakan buah dari hutan rimba kekeliruan Golkar di masa lampau -- secara umum suasana kampanye relatif positif.

Setidaknya sejauh ini suasana kekerasan tidak mencekam sebagaimana 'ramalan Jakarta' yang dibuat sebelumnya. Di beberapa kota bahkan kampanye sejauh ini berlangsung secara tenang dan tidak  hiruk pikuk. Berbagai kota bahkan dikepung oleh spanduk dan  atribut-atribut antikekerasan.                                        

Namun kata 'sejauh ini' tampaknya harus digarisbawahi. Saya sendiri masih agak khawatir bahwa suasana minim kekerasan itu mirip kampanye Pemilu 1997. Pada awalnya, kampanye terkesan sepi namun semakin hari bertambah panas dan keras sampai akhirnya pada putaran terakhir kampanye meletus Tragedi Jumat Kelabu di Banjarmsin yang merenggut ratusan nyawa dan memporak-porandakan kota.                           

Mudah-mudahan saja kampanye minim kekerasan itu bukan sesuatu sementara sehingga keprihatinan kita lebih terfokus ke soal lain yang lebih menyangkut substansi kampanye. Yakni keprihatinan mengenai setidaknya dua soal. Pertama, umumnya partai ternyata masih mengandalkan pawai, arak-arakan, dan rally di jalan raya sebagai bentuk kampanye andalan. Budayawan WS Rendra punya sebutan bagus untuk gejala ini: Partai Sirkus. Dan kita tampaknya butuh waktu cukup panjang untuk mengubah partai sirkus menjadi partai betulan.          

Kedua, dilihat dari isinya, kampanye melalui media massa -- terutama media TV yang bisa saya ikuti -- ternyata mengecewakan. Pimpinan-pimpinan partai terkesan tidak mampu menjangkau alam pikiran rakyat secara baik. Mereka sibuk dengan alam pikirannya               sendiri-sendiri sehingga pokok-pokok pikiran yang mengemuka sangat    umum, elitis, dan tidak konkret. Kasihan sekali rakyat sebetulnya.    Menurut survei kredibel dari IFES dan The Asia Foundation-AC Nielsen, rakyat antusias dengan Pemilu 1999, dan saya yakin kampanye partai tidak bisa mengakomodasi antusiasme itu. Pendeknya, betapa membosankannya kampanye partai-partai.                                

Saya melihat ada beberapa faktor yang melatari kinerja kampanye yang  membosankan itu. Umumnya partai politik tampil tanpa fokus. Semua partai tanpa kecuali -- termasuk partai-partai yang pertanyaan tentang basis pendukungnya hanya bisa dijawab dengan jawaban wallahua'lam bish-shawab -- memborong semua isu penting seolah-olah mereka bakal jadi penguasa baru yang digdaya seperti Golkar di masa lalu. Kampanye tanpa fokus ini mau tak mau membosankan siapa pun.                    

Selain itu, kesan saya -- mudah-mudahan keliru -- umumnya pimpinan    partai yang tampil  di  TV seperti sedang belajar menjadi pejabat ala Orde Baru: Formal dibuat-buat, membaca teks atau sangat sering  melirik teks, necis, dibuat seberwibawa mungkin, terkesan sok tahu.   

Menonton mereka berpidato atau berdebat di TV membuat saya punya kesan bahwa mereka dengan sengaja mematikan urat spontanitas kemanusiaannya. Saya khawatir, di balik itu ada pikiran bahwa menjadi pimpinan politik di Republik ini adalah menjadi sesuatu yang sakral dan tak tersentuh oleh rakyat.                                                          

Saya khawatir jangan-jangan kerangka berpikir di belakang para jurkam atau pimpinan partai itu sama persis seperti kerangka berpikir pembuat sinetron. Indonesia ditampilkan harus secara bersih, mentereng, gemerlap, penuh bualan-bualan besar, berjas dan berdasi. Pendeknya, Indonesia yang mengkilat. Sebagaimana pembuat sinetron Indonesia, jangan-jangan mereka hanya berusaha untuk membuat rakyat punya mimpi. Mereka tidak membangunkan rakyat untuk memeras keringat dan berjuang secara susah karena realitas medan pertempurannya memang berat.       

Saya sungguh khawatir dengan kemungkinan itu. Saya khawatir kampanye yang membosankan semacam itu hanya akan menambahi sumber-sumber letupan sosial di kemudian hari. Mudah-mudahan sisa sembilan hari kampanye, mulai ditandai dengan kampanye-kampanye cerdas yang menusuk langsung ke persoalan rakyat. Semoga mulai besok rakyat tidak lagi disuguhi oleh mimpi namun ajakan untuk menggalang barisan setelah selama ini hanya berkerumun.                                          

Ya Tuhan, semoga mulai besok partai sirkus dan kampanye-kampanye yang membosankan makin berkurang. Amien.                                   
Taman Mini, 23 Mei 1999