Musim Semangka,
Mangga dan Mentimun
Tempo, 10 Mei 1999



Dalam perjalanan pulang dari sebuah kota di luar Jawa, April lalu, saya bersua dengan pemimpin sebuah partai Islam peserta Pemilu 1999. Di tengah cerita ngalor-ngidul, ia tak bisa menyembunyikan optimismenya. Ia yakin, di Jawa Barat saja partainya bisa meraih 28 kursi. Pun ia yakin bisa meraih 40 persen kursi yang diperebutkan di Sumatra. “Minimal kami akan meraih 50-70 kursi parlemen pusat, “ katanya optimistis

Terus terang, saya tak terkejut oleh optimisme yang mengelembung itu. Partai, tanpa kecuali, memang sedang berlomba-lomba optimistis. Ketika berbicara tentang kans pendulangan suara, mereka selalu menyebut persentase fantastis. Maka ketika persentase itu dijumlahkan, kita tak menemukan angka 100 persen, melainkan lebih dari 600 persen.

Membangun optimisme besar-besaran bukan dosa, melainkan bahaya. Adalah bahaya manakala semua partai menyiapkan diri hanya dengan stok optimisme berlebih tanpa menyiapkan diri untuk kalah dan kecewa. Ketidakihlasan mereka untuk kalah dan ketidakmampuan mereka mengelola rasa kecewa bisa menjadi energi yang sangat destruktif pasca pemilu 1999. Pada titik inilah optimisme partai-partai menjadi soal serius dan mencemaskan.

Optimisme bermasalah itu tak terkecuali berserak dikalangan “partai Islam” yang jumlahnya 20 dari 48 partai peserta pemilu 1999. Umumnya partai Islam optimistis akan meraih suara besar karena tersedia pemilih muslim dalam jumlah besar. Optimisme sebagaian dari mereka juga ikut digelembungkan lantaran keterpesonaan akan hasil pemilu 1955, yang menunjukkan besarnya basis dukungan bagi partai Islam.

Saya khawatir optimisme itu bertepuk sebelah tangan. Partai-partai Islam itu lupa bahwa mereka hidup di tengah musim semangka, mangga dan mentimun.

Banyak pemilih muslim yang lebih tertarik pada tawaran-tawaran humanistis dan progresif, bahkan pada model-model perlawanan radikal. Sebaliknya, mereka tidak atau kurang tertarik pada “pendekatan saling rangkul dengan kekuasaan”, yang semenjak akhir 1980-an justru banyak di pakai oleh kalangan islam politik.

Mereka adalah semangka: terlihat hijau pada kulitnya, tapi merahlah isinya. Umumnya partai Islam tidak bisa mewadahi semangat progresif, humanistis, dan radikal kaum semangka. Yang justru atraktif bagi kaum ini adalah partai-partai non-agama yang menawarkan pendekatan lebih progresif-radikal atau yang kelihatannya progresif radikal: bisa PUDI, bahkan PRD, tapi terutama PAN dan PDI Perjuangan. Dikalangan partai Islam, hanya partai Keadilan yang bisa menembus kebun semangka ini.
Pemilu 1999 juga dilanda musim mangga. Banyak pemilih muslim yang lebih tertarik pada kenyamanan dan kepastian jangka pendek yang pragmatis. Mereka cenderung “kedap reformasi” dan sangat konservatif dalam memandang dan menyikapi banyak hal. Kulit mereka memang hijau, tapi dagingnya kuning.

Itulah basis pemilih muslim yang setelah Pemilu 1955 mengalami “Golkarisasi” selama lebih dari tiga dasawarsa. Mereka akan cenderung memilih Golkar ketimbang partai Islam.

Semangka dan mangga bersemi bersama mentimun. Di antara calon pemilih muslim, berserakan banyak massa apolitis atau apatis atau bingung. Boleh jadi mereka tak percaya bahwa pemilu 1999 adalah jalan keluar yang efektif dari krisis politik dan ekonomi. Boleh jadi mereka tak tergiur oleh tawaran dari satupun partai. Boleh jadi mereka bingung harus memilih partai mana. Boleh jadi mereka kekurangan informasi.

Mereka memang terlihat hijau pada kulitnya, tapi berdaging putih. Merekalah kantong Golput terbesar dalam pemilu 1999. Dan sebagian Golput itu bukanlah “Golpu Politik”, yang memang menjadi golput sebagaoi ekspresi perlawanan politik. Mereka adalah “golput teknis”, yang tak memilih lantaran sebab-sebab “teknis” semacam bingung, tak percaya, atau kurang informasi.

Musim semangka, mangga dan mentimun itulah yang menjebak partai-partai Islam kedalam gelembung optimisme yang berlebihan. Jika dijelaskan secara agak rumit, keterjebakan itu dilatarbelakangi oleh kekeliruan mereka dalam memahami proses pewarisan partai antargenerasi - bahwa anak cucu Masyumi, bahkan juga NU, yang tersedia sekarang tidaklah menerima warisan Masyumi atau NU secara ideologis, melainkan sekadar genealogis. Masyumi dan NU tidak menjadi identitas ideologis, tapi biologis.

Di tengah musim semangka, mangga dan mentimun itulah optimisme partai partai Islam mengidap persoalan lantaran potensial mendatangkan ketidakihlasan - kalah atau rasa - kecewa yang tak terkelola. Dalam konteks inilah saya teringat pada Irving Louis Horowitz - Winners and Losesr (1984) - yang bercerita bahwa sebuah masyarakat semacam masyarakat Amerika menjadi tangguh lantaran terdidik untuk menjadi pemenang dan pecundang bergantian. Saya pikir ada perlunya partai-partai peserta pemilu 1999 “membaca” Horowitz.