Bersiaplah untuk Kalah                                                
Republika, 31 Mei 1999



Panasnya suhu politik selama persiapan dan pelaksanaan Pemilu   1999 telah memakan sejumlah korban akibat kompetisi politik yang sengit dan kekerasan yang meledak di sejumlah tempat. Namun ada korban yang terlupakan, yaitu matematika dan statistika.                     

Di beberapa kelurahan di Jakarta Utara -- entah karena ketidaktahuan, sekadar salah hitung, atau untuk mengejar target yang sudah 'dipatok dari atas' [?] -- Panitia Pemungutan Suara (PPS) menjumlah total pemilih terdaftar tidak menjadi seratus persen. Ada PPS yang mentotalkan pemilih terdaftar di kelurahannya menjadi 106 persen, ada juga yang mentotalkan menjadi 100,14 persen.                          

Tidak berfungsinya matematika dan statistika terlihat sangat jelas ketika kita mendaftar optimisme partai-partai dalam meraih suara atau kursi. Partai-partai mudah saja menyebut target 10 persen, 15 persen, 25 persen, bahkan 40 persen sampai dengan 60 persen. Orang akan terkejut ketika mengetahui jumlah dari persentase itu bukanlah seratus persen, melainkan bisa mencapai 600 persen lebih.                     

Kerusakan matematika dan statistika juga terjadi ketika kita menghitung kursi yang akan diraih partai-partai dalam parlemen dengan mendasarkan diri pada optimisme masing-masing partai. Kursi yang diperebutkan 'hanya' 462 buah. Tetapi ketika jumlah kursi yang diklaim oleh partai akan mereka raih, maka jumlah totalnya bisa menggelembung di atas 1.000 kursi.                                                  

Apakah itu semua sekadar gejala pelecehan logika matematika dan statistika belaka? Menurut saya, tidak!                               

Tak berlakunya rumus dasar matematika dan statistika sebetulnya  merefleksikan dua soal lain yang lebih mendasar. Pertama,  partai-partai bertarung dalam Pemilu 1999 dengan optimisme yang besar dan dalam banyak hal berlebihan. Partai-partai memiliki surplus kepercayaan diri. Kedua, ada gejala bahwa dengan optimisme mereka yang berlebihan, partai-partai itu akan tidak punya kesiapan apalagi keikhlasan untuk kalah, menjadi pecundang.                    

Dalam konteks kedua soal di atas, maka semakin dekat pelaksanaan penghitungan suara semakin sahihlah kecemasan banyak orang terhadap kemungkinan adanya ledakan kemarahan akibat kekalahan. Dalam konteks itu, ada kebutuhan untuk mendorong partai-partai agar mereka bersiap-siap untuk kalah. Pun, mengikhlaskan kekalahan itu sejauh kompetisi berjalan secara relatif jurdil.                             

Dari 48 partai peserta Pemilu 1999, saya duga hanya kurang dari sepuluh partai yang bisa meraih dua persen suara. Sisanya, lebih dari 30 partai, harus menerima kenyataan bahwa mereka gagal meraih dua persen suara dan karenanya tidak lagi berhak ikut berlaga dalam pemilu berikutnya dengan menggunakan atribut yang sama persis dengan atribut yang digunakan sekarang. Tentu saja dengan catatan bahwa UU Politik tidak mengalami perubahan dramatis setelah Pemilu 1999.               

Ke-30-an partai yang menjadi pecundang dalam Pemilu 1999 hendaknya memiliki kesiapan untuk kalah sambil menanamkan keikhlasan untuk kalah pada ''massanya'' -- sesedikit apa pun massa itu, bisa saja ia menjadi potensi destruksi. Semakin dini persiapan untuk kalah itu disiapkan, maka semakin baik untuk ikut menjaga proses perubahan politik secara  damai.
Bahkan bukan hanya pada partai-partai kecil itu saja persiapan dan keikhlasan untuk kalah harus disiapkan. Pada partai-partai besar pun kesiapan untuk kalah perlu disiapkan. Bahkan kesiapan untuk kalah -- terutama ketika Golkar menjadi pemenangnya -- perlu disiapkan di tengah masyarakat secara umum.                                        

Secara umum persiapan untuk kalah dapat dirinci menjadi empat tingkat kesiapan. <I>Pertama<I>, kesiapan untuk kalah pada partai-partai kecil. Umumnya partai kecil saat ini senang becermin di depan kaca cembung yang membuat sosok mereka kelihatan lebih besar dari sosok sesungguhnya. Pemilu 1999 akan menggeser kaca cembung itu dan menyediakan kaca datar yang akan memperlihatkan sosok mereka sesuai dengan aslinya. Persiapan untuk kalah pada tingkat ini tampaknya mudah untuk dilakukan.                                                      

Kedua, kesiapan untuk kalah pada partai-partai besar. Kekalahan partai besar -- seperti PAN, PDI Perjuangan, dan PKB -- bisa terjadi dalam tiga bentuk. Mereka bisa kalah, memperoleh suara lebih kecil dari yang mereka bayangkan sebelumnya, secara menyeluruh pada tingkat lokal dan nasional. Energi kemarahan akibat kekalahan jenis itu akan sangat besar dan mengkhawatirkan. Mereka juga bisa kalah secara tidak seragam: menag secara nasional dan kalah secara lokal. Inilah yang terjadi pada PDI dalam Pemilu 1992.

Secara nasional, Soerjadi memperoleh kemenangan besar -- dengan naiknya suara PDI secara dramatis -- namun Alex Asmasoebrata (Ketua PDI DKI Jakarta) mengalami kekalahan secara telak di Jakarta. Energi kemarahan dari kekalahan jenis ini tentu lebih kecil dibandingkan dengan kekalahan menyeluruh lokal dan nasional; namun tetap mengkhawatirkan.     
Mereka juga bisa kalah secara nasional namun di beberapa kota/lokal meraih kemenangan sebagaimana yang sudah mereka targetkan. Kekalahan jenis ini memiliki energi kemarahan yag lebih besar dari jenis kekalahan lokal-kemenangan nasional; namun lebih kecil dibanding jenis kekalahan nasional dan lokal secara menyeluruh.                       

Ketiga, kesiapan pada partai-partai yang (merasa dirinya) reformis dari Golkar. Sejak lama partai-partai yang merasa dirinya reformis sudah menyatakan secara tegas bahwa mereka tidak rela jika Golkar tetap menjadi pemenang Pemilu 1999.                            

Bahkan sejak lama telah berhamburan analisis yang salah kaprah bahwa Golkar menang berarti Pemilu 1999 curang. Para analis bahkan meramalkan dengan nada pasti bahwa kemenangan Golkar sama artinya dengan kerusuhan. Ramalan semacam itu juga bahkan telah dikeluarkan oleh para pimpinan partai politik.                                    

Kesiapan kalah dari Golkar harus disiapkan sejauh pemilu memang berlangsung secara relatif jurdil. Harus diluruskan pula kekeliruan metodologis yang mengaitkan kemenangan Golkar secara serta merta dengan curangnya pemilu. Memang tidak mudah untuk menyiapkan semua itu, tetapi mesti ada orang atau pihak yang terus-menerus menyiapkannya -- dari kalangan partai maupun dari luar partai.        

Keempat, kesiapan siapa pun yang menginginkan proses reformasi  berlangsung secara cepat untuk menerima kemenangan konservativisme. Baik konservativisme yang direpresentasikan oleh Golkar maupun partai-partai lain yang seolah-olah reformis padahal sebetulnya konservatif. Kekalahan jenis keempat ini sangat merisaukan tetapi --celakanya -- sangat mungkin untuk terjadi.                            

Pendeknya, persiapan untuk kalah harus segera disiapkan. Perlengkapan yang dibutuhkan untuk menyiapkannya sebetulnya sederhana saja. Kita hanya butuh keikhlasan, kearifan, dan kejernihan berpikir untuk siap  kalah.                                                                

Selain itu ada perlengkapan lain yang lebih sulit namun tetap perlu disiapkan: terbangunnya publik dan oposisi. Tak peduli siapa pun yang menang, publik dan oposisi perlu dibangun dan disiagakan. Tanpa publik dan oposisi reformasi akan dengan mudah terselewengkan.               

Selain itu bersiap untuk kalah juga memerlukan cermin. Kebetulan cermin yang normal ini dengan mudah bisa kita dapatkan di jalan-jalan protokol di Jakarta, khususnya di luar pagar Gedung DPR/MPR Senayan.Menjelang perhitungan suara, saya berharap banyak pimpinan partai yang tergerak untuk membeli cermin di sana.
Depok, 30 Mei 1999