"Kemenangan" Amien
Metro, 22 Juni 1999



Pemilu 1999 ternyata menempatkan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam posisi yang lebih kerdil dari yang diduga banyak orang. PAN mematok target beroleh 26 persen suara, tampaknya hanya akan mendapat kurang dari 10 persen. Amien Rais, sang maskot PAN, memang memperoleh tiket ke Senayan menjadi anggota DPR dari wilayah pemilihan DKI Jakarta, namun boleh jadi hanya akan ditemani sekitar 30-an tokoh PAN lainnya.

Lalu, ucapan turut berduka cita ataukah selamat yang mesti dialamatkan untuk Amien dan PAN? Ucapan selamat tampaknya lebih tepat kita berikan ketimbang salam perkabungan, setidaknya lantaran beberapa alasan.

Pertama, di tengah kecenderungan kalangan politisi Islam untuk membangun partai berbasis komunalisme, Amien Rais memberanikan diri membangun sebuah eksperimen pluralis yang sulit. Siapapun bisa menduga sejak jauh-jauh hari bahwa dengan bekal komunalisme, Amien sebetulnya bisa menjadi maskot dari banyak kalangan Islam -- yang kemudian tercerai-berai ke dalam banyak partai -- dan mendulang dukungan besar. Saya senang, ternyata Amien memilih jalan pluralisme yang lebih sulit dan berbahaya. Dengan pilihannya ini, sekalipun harus kehilangan konstituen tradisionalnya, Amien mendorong proses pendidikan dan pendewasaan politik dengan menerobos dan meloncat dari balik politik penyeragaman yang diwariskan Orde Baru menuju pembelajaran kemajemukan.

Maka berbeda dengan Gus Dur yang justru memperkecil bajunya dari Gus Dur Makro yang lintasideologi dan lintaspolitik menjadi Gus Dur Mikro yang sangat partisan dengan basis tradisional nahdliyin-nya, Amien justru memperbesar bajunya dari Muhammadiyah menjadi Indonesia. Ketika Gus Dur -- ini disayangkan banyak orang -- bermetamorfosis dari nasional menjadi lokal, Amien dengan cepat mengalami nasionalisasi.

Kedua, Amien Rais menerobos hampir sendirian lautan irasionalitas pemilih Indonesia dan bersama PAN datang menawarkan gagasan-"gagasan reformasi tingkat tinggi". Kawan saya Andi Alifian Mallarangeng mengatakan Amien kalah strategi dengan memberi tawaran terlampau tinggi. Menurut saya, Andi keliru. Sejauh Amien sudah menghitung dengan saksama bayaran yang harus diterimanya dengan menawarkan gagasan tingkat tinggi itu, Amien justru melakukan sesuatu yang benar. Sungguh rugi dan menyedihkan Indonesia manakala tak ada satu pun orang atau kelompok yang datang dengan tawaran semacam itu. Dalam posisi ini Amien justru harus disokong karena praktis ia hampir-hampir sendirian.

Sebelumnya memang telah ada Sri Bintang Pamungkas. Tetapi, menurut kesan saya, Bintang terlampau abai pada keharusan membangun infrastruktur dan jaringan dengan hanya mengandalkan pesona individual yang memikat. Amien datang dengan tawaran setinggi Bintang sambil mau bersusah-payah membangun infratstruktur dan jaringan.

Ketiga, dalam banyak hal Amien mengajari kita untuk membudayakan tradisi kritik telanjang tanpa bungkusan tebal. Benar bahwa dengan pelajarannya ini Amien menanggung risiko disalahpahami oleh publik sebagai politisi tak tahu diri, tak berperasaan, dan tukang menghujat. Namun harus diakui bahwa diam-diam, Amien sebetulnya mengajari kita yang terlalu rajin menggunakan ewuh pakewuh, tradisi politik baru berintikan kelugasan, keterusterangan, kejujuran, dan keberanian menyatakan hitam sebagai hitam.

Berbeda dengan Megawati Sukarnoputri yang mengandalkan posisi politiknya yang pasif dalam dua tahun terakhir, Amien justru mengambil risiko dengan membangun posisi aktif. Benar bahwa Mega kemudian bisa menimbun dukungan dari mayoritas pemilih yang memang cenderung irasional-emosional-personal, namun Mega akhirnya tidak teruji sebagai calon pemimpin yang kapabel, hanya sekadar calon pemimpin yang punya banyak pendukung. Amien menjalani proses menuju kepemimpinan yang benar sekalipun terbukti membuatnya tidak bisa memetik hasil dengan cepat.

Ketiga fakta itulah yang membawa Amien pada “kemenangan”-nya sendiri dalam Pemilu 1999 yang secara substantif lebih penting ketimbang sekadar perolehan suara besar-besaran. Karena itu, PAN dan Amien layak disemati ucapan selamat. Tentu saja, ucapan selamat ini bukan tanpa catatan kaki. Amien dan PAN bagaimanapun adalah tabungan. Ada kecenderungan bahwa Amien justru kerap memboroskan rekeningnya dengan terlalu sering datang ke anjungan tunai mandiri (ATM) tanpa rencana pengeluaran yang cermat. Pada Mei 1998, rekening Amien terbesar dibanding tokoh politik manapun. Setahun kemudian, rekening Amien telah menjadi sangat tipis karena “pemborosan” yang terkontrol.

Selain itu, postur Amien dan PAN justru diuji seusai Pemilu 1999. Jika Amien dan PAN sukses menjadikan diri sebagai oposisi formal-intraparlementer pertama dalam empat dekade terakhir, maka Amien dan PAN bisa memberi kontribusi yang bermakna bagi proses demokratisasi. Namun manakala Amien dan PAN tergoda membangun koalisi pemerintahan sebagai junior partner, maka kehadiran Amien dan PAN boleh jadi tak akan memberi banyak arti. Saya berharap PAN dan Amien tahu benar bahwa telah terlampau banyak partai dan tokoh lain yang merasa gagah namun tak banyak memberi makna -- dan karenanya tak menjadikan PAN dan Amien sebagai penambah.

Pelabuhan Pototano - Sumbawa, 22 Juni 1999