Megawati:
Hadiah Gratis bagi Umat Islam    
Republika, 24 Juni 1999



Pada Jumat tengah malam (11/6/99) saya didatangi oleh empat  orang aktivis muda Islam yang kelihatan galau. Ternyata sumber kegalauan mereka adalah [kemungkinan] kemenangan PDI Perjuangan dalam Pemilu 1999 dan kemungkinan terpilihnya Megawati menjadi presiden baru menggantikan Habibie. Mereka galau atas apa yang mereka sebut sebagai "fenomena kekalahan politik Islam".                                   

Saya tahu diri. Di depan aktivis yang begitu galau saya tak boleh hadir sekadar sebagai pengamat politik namun juga penghibur dan pemompa semangat. Sekadar menghadirkan diri sebagai pengamat boleh jadi bakal membuat mereka makin patah arang, sebab realitas politik  Indonesia hari ini memang tak menyediakan kemudahan melainkan penuh kesulitan. Menjadikan diri sekaligus sebagai penghibur dan pemompa semangat berarti menyajikan analisis rasional sambil menyelipkan kemasan emosional. Maka, jadilah penjelasan seperti ini.              

PDI Perjuangan dan Megawati adalah hadiah gratis dari Tuhan bagi umat Islam untuk bisa merevitalisasi diri setelah sekian lama tertelan oleh kekeliruan-kekeliruan yang dibuatnya sendiri. Terlampau lama umat  Islam berpuas diri membangun kerumunan dan gagal menggalang barisan sehingga mereka berhenti sebagai mayoritas statistik dan minoritas politik. Terlalu lama umat Islam dihantui oleh teori "konspirasi pihak luar yang tidak terlihat" dan kurang mau berkaca diri untuk melihat sumber-sumber kekeliruan dalam dirinya yang jauh lebih mendasar. Terlampau panjang waktu yang dihabiskan umat Islam untuk tak sadarkan diri bahwa pertama-tama mereka tak dikalahkan oleh rezimentasi yang kuat produk penguasa melainkan oleh dirinya sendiri -- semacam proses bunuh diri perlahan-lahan yang tidak disadari seperti halnya orang  merokok.                                                              

Manakala Pemilu 1999 menampilkan kepemimpinan baru -- baik dalam  bentuk partai maupun figur presiden -- yang dipahami secara awam oleh kalangan Islam sebagai "kepemimpinan umat" atau "kepemimpinan Islam", maka jangan-jangan proses sejarah yang penuh kekeliruan itu akan dilanjutkan. Kepemimpinan seperti itu akan membuat umat tidak terjaga dan sulit diajak siaga. Kepemimpinan yang secara simbolik -- sekali   lagi secara simbolik -- akomodatif bagi umat justru akan memanjakan umat Islam dan membuatnya terlelap seolah-olah perjuangan politik sudah usai dan semua perlengkapan kompetisi boleh disimpan di gudang. Kepemimpinan Islam yang segera terbentuk hari-hari ini jangan-jangan  bakal melestarikan kerumunan umat dan membuat mereka lupa pada agenda pembangunan barisan.                                                  

Ada tiga sebab yang membuat saya berpikir seperti itu. Pertama, umat Islam hari ini adalah umat yang belum sembuh dari penyakit kronis yang diderita sejak lama: gampang terpesona oleh aktor, tidak oleh wacana yang diproduksinya. Hadirnya kepemimpinan yang terlihat  akomodatif bagi kepentingan Islam secara terburu-buru sangat boleh jadi akan mempersulit penyembuhan penyakit yang sudah akut itu.       

Kedua, manakala hari-hari ini umat disuguhi secara terlampau gampang kepemimpinan yang mereka pandang akomodatif, maka sebuah bahaya seriusmengancam: banyak agenda pembangunan infrastruktur politik keumatan yang bakal terbengkalai lantaran tertenggelamkan oleh proyek membangun rezim dan memoles wajah penguasa baru. Jika ini yang terjadi, masa depan politik Islam sungguh suram karena tidak beranjak dari fenomena Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia sebagai pohon   gantung dan bukan pohon tanam. Sang pohon kelihatan megah dengan daun dan bunganya yang menjuntai ke atas hingga menyentuh atap. Ketika dicermati secara seksama, sang pohon bisa seperti itu lantaran ditanam dalam pot dan digantung di dekat plafon; bukan pohon yang ditanam di kebun dan dengan akarnya yang kuat berdiri gagah menyentuh atap.      

Ketiga, kepemimpinan politik Islam ditandai oleh mandeknya regenerasi. Karena itu, yang duduk berperan sebagai "lokomotif" gerakan Islam politik hari-hari ini adalah generasi yang sebetulnya sudah cukup berumur. Sangat sedikit kalangan muda yang bisa menjadi   lokomotif. "Keberhasilan" terburu-buru kalangan Islam mengangkat pemimpin nasional dari kalangan mereka boleh jadi "menyenangkan hati" kalangan tua yang memang tidak pernah memperoleh giliran berkuasa. Namun, pada saat yang sama, soal kemandekan regenerasi bakal makin parah di masa depan. Di samping itu, pembentukan gerakan sosial prodemokrasi di kalangan Islam -- yang baru beranjak di tahap awal -- bakal dirusak oleh gejala-gejala tinggal glanggang colong playu.

Dalam konteks itulah hadirnya PDI Perjuangan dan Megawati sebagai sang pemenang bukanlah sumber kerisauan melainkan jalan keluar. Megawati dan PDI Perjuangan dihadiahkan kepada umat Islam agar tetap terjaga, siaga, membangun pengawasan terhadap kekuasaan dari luar pagar, dan tercambuk untuk menyiapkan barisan agar tidak mengulang kekalahan di  masa datang. Kemenangan PDI Perjuangan dan Megawati justru mesti disyukuri. Bahkan, dengan rasa syukur yang optimal karena tidak ada instrumen lain yang bisa lebih efektif dibandingkan Megawati dan PDI  Perjuangan untuk mendesak kalangan Islam membangun barisan dan meninggalkan model kerumunan.                                         

Kepada aktivis muda Islam itu, saya juga mengingatkan bahwa kemenangan Megawati dan PDI Perjuangan membuktikan bahwa -- meminjam bahasa mereka -- ''kalangan nasionali-sekuler yang minoritas tapi tergalang bisa mengalahkan kalangan Islam yang mayoritas namun tak tergalang''. Karena itu, kalangan Islam harus menerima secara ikhlas dan jantan kemenangan itu sejauh dicapai melalui mekanisme dan prosedur yang     demokratis.                                                           

Saya senang karena penjelasan saya tampaknya memuaskan para aktivis muda yang galau itu. Mereka pulang dengan wajah lebih sumringah ketika malam telah menjadi dinihari. Namun, sepeninggal mereka justru saya yang tercenung disergap oleh pikiran yang telah saya lontarkan sendiri. Benarkan pikiran-pikiran itu?                                

Boleh jadi, sebagian besar benar dan sebagian kecil keliru. Kemenangan PDI Perjuangan dan Megawati bukanlah refleksi dari politisasi yang genuine sebuah kelompok atau kekuatan. Megawati dan PDI Perjuangan dimanjakan sejarah -- dan Tuhan tentu saja -- sebagai simbolisasi perlawanan sekaligus penderitaan. Plus aroma Soekarno yang menyengat dan basis massa bawah yang memang memiliki tabungan kekecewaan dan kemarahan yang sangat besar maka jadilah Megawati dan  PDI Perjuangan yang ''besar''. Kemenangan mereka bukan saja layak diterima secara ikhas namun juga mesti disyukuri sebagai proses demokratisasi. Dalam banyak kasus transisi, kepemimpinan yang diragukan karakter dan komitmennya pada demokrasi justru sangat bermanfaat untuk mengakselerasikan proses demokratisasi.              

Tetapi, bagaimana jika sejarah berkata lain; kepemimpinan baru pasca-Pemilu 1999 bisa direbut oleh figur yang dinilai secara awam sebagai ''kepemimpinan Islam''? Jawabannya: Pekerjaan revitalisasi politik Islam sungguh menjadi lebih sulit. Atau, jika dibahasakan secara lebih positif: Di hadapan aktivis Islam prodemokrasi, politik  Indonesia menjadi lebih menantang dan menjebak. Wallahu a'lam bish-shawab.
Dompu - NTB, 22 Juni 1999