Tak Ada Jalan Mudah:
Nasib Reformasi Pasca Pemilu
Madani 26 Juni - 2 Juli 1999



Saya ingin memulai tulisan ini dengan pernyataan dari kusir cidomo (cikar-dokar-mobil, dokar khas Lombok) di Gili Trawangan, di barat pulau Lombok, dan pemilik toko elektronik di Taliwang, Sumbawa.

Pak Selib, sang kusir asal Bugis, mengaku tak terlalu peduli siapa pun yang akan jadi presiden. Baginya tak penting benar siapa atau kelompok mana yang menguasai Indonesia. "Partai politik tak ada pengaruhnya dalam kehidupan orang sini," kata Pak Selib. Semua hal menyangkut politik tampaknya tak dianggapnya penting. "Yang penting, penghasilan saya tidak terganggu," tutur sang kusir yang gagal ikut mencoblos pada 7 Juni 1999 lantaran datang ke TPS terlambat, di atas pukul 14:00.

Hal yang kurang lebih sama saya temukan pada Pak Haji Hafid, pemilik toko elektronik -- tampaknya yang terbesar -- di Taliwang. Siapa saja boleh jadi presiden, kata Pak Haji yang lama tinggal di Saudi Arabia ini. "Pokoknya asal orang Islam saja," tambahnya. Sama halnya dengan Pak Selib, Pak Hafid mengaku tak terlalu menganggap penting politik. "Asal usaha dagang saya tak terganggu," tuturnya.

Pak Selib dan Pak Haji Hafid tentu saja tidak bisa dijadikan wakil dari seluruh rakyat Indonesia seluruhnya. Namun bagaimanapun, keduanya menyediakan potret sebagian wajah rakyat Indonesia -- bahkan saya khawatir segmen rakyat yang terbesar -- yang tersedia saat ini. Jika benar demikian, Pak Selib dan Pak Hafid boleh dijadikan pintu masuk menuju sebuah kecemasan.

Baik Pak Selib maupun Pak Hafid menunjukkan sikap politik yang selama ini ditanam dan dipelihara oleh Orde Baru di bawah Soeharto, yakni menjauhi politik sambil menuntut persyaratan: sejauh hidup ekonomi tidak terganggu. Keduanya mewakili produk dari manajemen kekuasaan khas Soeharto yang menggabungkan politik keamanan (menciptakan rasa takut kolektif sambil menjauhkan rakyat dari politik) dengan politik logistik (menyediakan kebutuhan pokok dan pemenuhan kebutuhan ekonomi-minimal sebagai imbalannya).

Saya sangat kerap menemukan Soehartoisme sebagaimana diperlihatkan Pak Selib dan Pak Hafid. Seorang pedagang the botol yang berdagang di luar gedung DPR-MPR Senayan ketika mahasiswa mendudukinya (18/05/98), misalnya, justru berdoa agar Soeharto tidak gampang dijatuhkan sehingga mahasiswa bertahan lama di gedung itu, dan dia bisa terus meraih keuntungan besar berdagang di luar gedung. Misal lain: sehari setelah Soeharto jatuh dan Habibie menjadi presiden, seorang sopir bajaj di Jakarta mengaku tidak peduli siapa pun yang jadi presiden asalkan gonjang-ganjing ekonomi berakhir dan dia bisa meraih untung seperti sebelum krismon.

Dalam konteks masa depan reformasi Indonesia pasca-Pemilu 1999, berseraknya potret rakyat semacam itu mencemaskan. Rakyat pemilik Soehartoisme seperti itulah yang sebetulnya diam-diam tanpa mereka sadari, ikut membangun "model perwalian politik" di Indonesia Dalam model ini, rakyat merasa tidak perlu berpolitik dan dengan tulus ikhlas bersedia memberikan peran perwalian kepada para elite politik. Lambat laun wilayah politik pun didefinisikan sebagai "bukan wilayah permainan rakyat"  melainkan wilayah permainan elite yang ekslusif.

Selama masa Orde Baru, berjalannya model perwalian politik semacam itulah yang antara lain menjadi penyebab berkembangnya berbagai bentuk penyelewengan politik yang bermuara menjadi otoritarianisme yang sangat mencekam. Manakala peca Pemilu 1999 model perwalian politik tetap berkembang, maka boleh jadi kita akan berputar-putar dari otoritarianisme lama yang ditolak beralih ke musim semi kebebasan yang pendek dan berujung dengan terbengun kembalinya otoritarianisme dengan jubah baru.

Selain potensi berkembang kembalinya model perwalian politik, hal lain yang juga mengancam masa depan reformasi pasca-Pemilu 1999 adalah masih bercampur baurnya sikap anti-incumbency (anti terhadap pejabat yang berkuasa) dan pro-reformasi. Bahkan kedua sikap yang sebetulnya sangat berbeda itu diperlakukan secara keliru sehingga seolah-olah keduanya sama.

Sikap anti-incumbency saja hanya akan melahirkan penguasa baru tanpa ada kritisisme terhadap jalannya kekuasaan yang mereka kelola. Sementara sikap pro-reformasi lebih mengarah pada sejauh mana langkah-langkah penguasa baru (atau lama) sejalan dengan kebutuhan reformasi ketimbang pada siapa yang berkuasa. Jika keduanya dicampur baur secara keliru maka makna reformasi akan mengalami degradasi serius sampai kemudian kita sendiri tidak lagi bisa memaknai kata itu dengan jernih dan objektif -- sebagaimana halnya pernah terjadi pada kata "pembangunan", "modernisasi", dan "Orde Baru".

Saya sungguh khawatir bahwa dukungan terhadap PDI Perjuangan dan Megawati atau penolakan terhadap Golkar dan BJ Habibie tidak dilandasi oleh sikap pro-reformasi melainkan anti-incumbency belaka. Bahwa bukan agenda-agenda reformasi PDI Perjuangan dan Megawati yang menjadi alat pembentuk dukungan itu, melainkan kebosanan dikuasai oleh Golkar dan Habibie sebagai bagian dari unsur-unsur lama. Jika demikian halnya, kita harus bersiap-siap untuk hanya menemukan pergantian kekuasaan dan munculnya kekuasaan baru, namun dengan karakter kekuasaan yang sebetulnya akan menjadi kurang lebih sama dengan Orde Baru: sentralistik, anti-publik, ekslusif, dan jangan-jangan (suatu ketika) personal.

Sumber kecemasan berikutnya adalah cukup banyaknya wajah baru dalam parlemen yang kurang diimbangi oleh terjadinya revolusi paradigmatis dalam pengawasan politik di parlemen. Benar bahwa Pemilu 1999 mengantar banyak sekali politisi baru menjadi anggota parlemen, namun belum ada jaminan yang cukup bahwa para politisi itu datang dengan logika berpikir atau paradigma politik yang baru dan segar. Tentu saja tidak perlu disangsikan bahwa pasti ada wajah baru dengan paradigma baru, namun kita masih perlu mengkhawatirkan bahwa yang terjadi hanya fenomena pergantian atau sirkulasi politik an sich.  Masuknya wajah baru hanya sekadar mengganti yang lama. Semacam persoalan giliran semata-mata; bukan persoalan perubahan paradigma (paradigm shift) dari Orde Baru menuju reformasi.

Bahan kecemasan lain adalah munculnya penguasa baru yang mudah terjebak untuk surplus percaya diri lantaran merasa memiliki basis legitimasi kekuasaan yang kokoh. Sebagai buah dari Pemilu 1999 yang ternyata bisa berjalan secara relatif demokratis, maka akan muncul kekuasaan baru (atau lama) yang tidak lagi berdiri di atas kaki yang rapuh sebagaimana halnya Orde Baru. Di satu sisi, kuatnya basis legitimasi pemerintahan baru merupakan sebuah pencapaian positif yang memang menjadi salah satu tujuan pokok Pemilu 1999.

Namun di sisi lain, menguatnya legitimasi pemerintahan baru potensial mengundang persoalan manakala setiap kebijakan pemerintahan -- baik yang sejalan maupun tidak dengan kebutuhan reformasi -- dianggap kedap kritik atau kebal terhadap tuntutan perubahan dari komunitas kritis dalam masyarakat semacam akademisi, intelektual, mahasiswa, dan kelas menengah. Jika hal ini yang terjadi, maka pemerintahan baru diam-diam atau terang-terangan mencontek cara kerja Orde Baru di penghujung 1960-an dan awal 1970-an.

Yang ingin saya katakan melalui daftar kecemasan di atas adalah bahwa Pemilu 1999 tidak membuat reformasi menjadi lebih mudah. Pemilu 1999 adalah awal untuk menata langkah yang sungguh-sungguh menuju reformasi. Kendala-kendala yang lebih berat dan alot justru terhidang seusai pemilu itu. Masa transisi yang sesungguhnya justru baru dimulai -- bukan selesai -- ketika pemilu sukses diadakan. Dalam konteks inilah ada kebutuhan permanen yang terus terhidang untuk memastikan bahwa proses demokratisasi memang berjalan, yakni: tidak lelah-lelah melakukan kegiatan penyadaran publik, merebut ruang-ruang publik melalui cara-cara nonformal, mengelola kritisisme yang cikal-bakalnya sudah berkembang, dan membangun oposisi.

Dan saya percaya, pekerjaan-pekerjaan yang saya sebut itu tidak bakal atratktif untuk banyak politisi baru yang terkena penyakit euforia reformasi, dan hanya akan atraktif untuk pejuang demokrasi yang jumlahnya belum terlalu banyak. Namun saya percaya bahwa sedikit pejuang reformasi yang berbaris bisa mengalahkan jutaan rakyat belum tersadarkan yang berkerumun dan para politisi yang "mabuk".

Sumbawa, 21 Juni 1999