Hasil Pemilu dan Implikasinya
Saksi No. 25 Thn 1  11 Agustus - 25 Agustus 1999



Dengan Segala kekurangan dan kelebihannya, Pemilu 1999 akhirnya berhasil dilaksanakan. Pemilu 1999 tidak menampilkan satu pun kekuatan politik  yang secara sendirian dapat menjadi kekuatan mayoritas absolut dalam parlemen dan membentuk pemerintahan. Pemilu 1999 memang menampilkan PDI Perjuangan sebagai peraih suara terbanyak , namun dengan perolehan “hanya” 30,8 persen kursi parlemen. Derajat kemenangan ini membuat PDI Perjuangan sulit untuk menjadi kekuatan yang memimpin pemerintahan sendiri.

Dalam pidato politik pertamanya setelah pemilu 1999 (29 Juli 1999), Megawati Sukarnoputri “ Mengabaikan” fakta ini dan secara serta merta mengatakan bahwa PDI Perjuangan telah diberi mandat oleh rakyat untuk memimpin pemerintahan. Sebagai “desakan” dari partai, sikap ini dapat dimaklumi. Namun sikap semacam ini bisa ditafsirkan massa PDI Perjuangan sebagai “ tafsir final” atas hasil Pemilu 1999. Dengan begitu mereka akan sulit menerima jika ternyata Megawati gagal meraih kursi presiden.

Faktanya, PDI Perjuangan sebagai peraih suara terbanyak atau pemenang pemilu 1999 harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain dalam parlemen yang memiliki kesetaraan relatif dari sudut jumlah kursi. Sebagai pemenang mayoritas sederhana, bukan mayoritas mutlak, PDI Perjuangan tidak akan mudah merealisasikan target-target politiknya. Termasuk meraih kepemimpinan politik dan pemerintahan.

Dalam konteks itulah, hasil pemilu 1999 membawa sejumlah konsekuensi. Pertama, konfigurasi kekuatan dalam parlemen ditandai oleh pertimbangan relatif diantara berbagai kekuatan politik. Sehingga memaksa  semua kekuatan untuk membangun kemungkinan  kompromi dan aliansi. Kompromi dan aliansi ini pada akhirnya akan mempersulit terjadinya pengelompokan status-quois versus reformis. Kelompok dan cara berpikir status quois bercampur dengan kelompok dan cara berpikir tanpa ada batas tegas.

Kedua, dengan mempertimbangkan bahwa PDI Perjuangan dan Golkar -ABRI tampaknya berpeluang memimpin pemerintahan pacsa pemilu 1999 (dengan mengajak serta kekuatan lain, tentunya), maka dapat dikatakan bahwa pemilu 1999 memang pada akhirnya membawa kemenangan konservativisme. PDI Perjuangan -Plus terlebih-lebih Golkar-ABRI-Plus, dicirikan oleh pemihakannya [pada sejumlah agendareformasi. Tetapi dengan paradigma atau kerangka berpikir yang sangat dipengaruhi oleh Orde Baru atau bahkan Orde Lama.

Ketiga, Dengan konfigurasi kekuatan politik yang dihasilkan oleh pemilu 1999, maka pemerintahan yang terbangun pasca pemilu adalah pemerintahan yang tidak sekuat Orde Baru pada awal kekuasaannya dipenghujung 1960-an. Pemerintahan pacsa pemilu 1999 harus mengadapi penentang dan gangguan dalam intensitas yang cukup tinggi sehingga dalam batas tertentu dapat disebut sebagai “pemerintahan  yang rentan.”.

Keempat, Pemilu 1999 memberi dasar legitimasi yang lebih genuine dibandingkan pemilu-pemilu Orde Baru. Konsekuensinya, pemerintahan dan sistem politik pasca pemilu 1999 jika berhasil menjaga ritme kerja dan kinerjanya potensial untuk mengembalikan kepercayaan publik domestik dan publik internasional. Lebih jauh, ini bisa dijadikan  modal untuk mengelola dan memulihkan kembali ekonomi dan politik setelah dihantam krisis yang parah. Namun, tetap dibawah ancaman pendekatan konservatif terutama di bidang politik.

Kelima, Pemilu 1999 dengan epilog yang mengantarkannya berkonsekuensi pada terbangunnya dua karakter utama yang berbeda selama lima tahun pacsa pemilu. Dua tahun pertama pemerintahan pasca pemilu 1999 masih akan menghadapi suasana “ pemcarian saluran kekecewaan dan kemarahan”. Tiga tahun sisanya, suasana politik yang dominan adalah “ tuntutan efektivitas pemerintahan”. Ini tidak berarti bahwa dalam fase dua tahun  pertama tak ada tuntutan efektivitas dan tidak berarti bahwa dalam fase kedua kekecewaan dan kemarahan sudah tak bersisa. Pergantian dan percampuran diantara dua suasana itu akan ikut ditentukan antara lain oleh figur presiden pasca pemilu 1999.

Secara umum, Pemilu 1999-menghasilkan kemenangan konservatisme, Ini memberi konsekuensi yang sulit - pada dasarnya memang hampir tak ada yang lebih mudah setelah pemilu 1999-bagi kehidupan bangsa dan negara setelahnya. Yang pasti sistem politik akan ditandai oleh pergeseran dari model “ daulat massa” ke model “ negoisasi elite”. Dari sini juga banyak bahaya bisa mengancam.