Amandemen UUD 1945,
Sebuah Keharusan
Gatra, 11 September 1999



Diskusi soal amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 kerapkali dicemari oleh argumen eskapis alias lari dari masalah pokok. Ini tercermin dari pertanyaan yang diajukan: Apakah UUD 1945 yang membuat Indonesia menjadi otoritarian; bukankah para pelaku politiknya yang memang bertendensi otoriter dan UUD 1945 hanya menjadi korban? Bukankah otoritarianisme merupakan konsekuensi dari masyarakat kita yang tak siap berdemokrasi? Mengapa kita harus menyalahkan UUD 1945?

Pertanyaan-pertanyaan itu polutif karena ujung-ujungnya menjustifikasi sikap konservatif mempertahankan UUD 1945 tanpa diamandemen. Saya lebih senang berkutat dengan pertanyaan pokok: Apa masalah yang diidap UUD 1945?

Sejarah telah membuktikan bahwa Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengidap dua jenis problem sekaligus: teks dan konteks. Secara tekstual, UUD 1945 tak memadai untuk menyokong pembentukan sistem dan masyarakat demokratis. Secara kontekstual, UUD 1945 telah terbukti dengan gampang dapat digunakan oleh Sukarno (1959-1967) dan Soeharto (1967-1998) sebagai instrumen otoritarianisme.

Dalam konteks itu, baik Sukarno maupun Soeharto melakukan sakralisasi atas UUD 1945 pada masanya untuk memanfaatkan problem tekstual UUD 1945. Akhirnya mereka menggunakan UUD 1945 secara kontekstual untuk membangun pemerintahan sentralistik.

Problem tekstual harus diatasi secara tekstual; dan problem kontesktual hanya bisa dipecahkan secara kontekstual pula. Amandemen adalah jalan keluar tekstual mupun kontekstual. Dalam kerangka itu, amandemen UUD 1945 adalah keharusan. Ia menjadi prasyarat yang penting bagi demokratisasi. Ia menjadi entry point bagi langkah-langkah lanjutan demokratisasi pasca Orde Baru. Sebaliknya, membiarkan UUD 1945 tidak tersentuh reformasi berarti membiarkan penyakit tekstual tetap bercokol pada konstitusi kita dan pada gilirannya membiarkan konstitusi menjadi alat rekonsolidasi otoritarianisme secara kontekstual.

Ada beberapa asumsi dasar yang perlu dipertimbangkan dalam kerangka amandemen. Pertama, amandemen adalah instrumen dan bukan tujuan. Amandemen adalah cara untuk membuat Indonesia pasca Soeharto bisa menata ulang sistem politik dan masyarakatnya ke arah demokrasi. Karena itu, amandemen bukanlah agenda akhir, melainkan agenda awal yang perlu ditindaklanjuti oleh rangkaian transisi menuju demokrasi secara bermakna.

Kedua, amandemen UUD 1945 mesti dilakukan tanpa mengidap kembali kekeliruan-kekeliruan politik dan hukum di masa lampau. Dalam pengertian substantif, baik Sukarno maupun Soeharto sebetulnya telah sangat kerap mengamandemen UUD 1945. Antara 1959-1965, Sukarno menata sistem politik sehingga terpusat pada tangannya tanpa pengawasan efektif. Sukarno mengabaikan keharusan-keharusan trias politika yang -- sekalipun serba terbatas -- menjadi amanat UUD 1945. Dengan kekuasaan otoritariannya Sukarno melakukan "amandemen" melalui konvensi-konvensi politik yang ia paksakan.

Dengan cara berbeda, Soeharto pun setali tiga uang. Dengan menggunakan "rekayasa tertib hukum", Soeharto mengamandemen UUD 1945 berkali-kali sepanjang 1967-1998 melalui Ketetapan MPR, Undang-undang, bahkan Keputusan Presiden dan aturan-aturan di bawahnya. Banyak Tap MPR dibuat untuk mem-fait a compli proses politik disejalankan dengan kehendak otoritarianisme Soeharto. UU dan aturan lain lalu mengperasionalkannya. Tap MPR, UU, dan aturan lain itu melegalisasi kekeliruan politik Orde Baru, sambil menghianati UUD 1945.

Tap MPR tentang Referendum dan UU tentang Referendum, misalnya, pada hakikatnya mengamandemen pasal 37 UUD 1945 soal peluang perubahan UUD 1945. Bahkan Peraturan Menteri Penerangan tentang pers bisa membantah isi UU Pokok Pers yang tidak membolehkan pembredeilan dan mengamandemen amanat UUD 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (pasal 28). Dengan cara yang lebih berputar, Soeharto mengamandemen UUD 1945 sambil mengsakralkannya sebagai instrumen otoritarianisme. Caranya tidak selangsung Sukarno, melainkan dengan membuat aturan-aturan-khusus yang menegasikan aturan-aturan-umum termasuk konstitusi.

Menurut hemat saya, mesti diasumsikan bahwa amandemen UUD 1945 yang kita mesti lakukan pasca Soeharto tak boleh lagi mengidap kekeliruan lama a la Sukarno maupun Soekarno. Amandemen tak bisa dilakukan lewat siasat politik  a la Sukarno maupun siasat hukum (lewat Tap MPR dan UU) yang dilakukan Soeharto.

Ketiga, amandemen harus dilakukan dengan mandasarkan diri pada kebutuhan-kebutuhan demokratisasi yang didefinisikan terlebih dahulu. Amandemen seyogianya tidak dilakukan semata-mata untuk amandemen, melainkan untuk memenuhi kebutuhan demokratisasi. Kita mesti menolak sakralisasi UUD 1945 yang irrasional, sekaligus menolak proyek amandemen yang juga dilandasi oleh kehendak irrasional yang tak mencanangkan rasion d'etre dari amandemen itu.

Sebagai warga negara Indonesia dengan KTP no. 32.03.71.1004.40118, saya mengusulkan tujuh kebutuhan amandemen UUD 1945. Pertama, pembatasan kekuasaan presiden dan lembaga eksekutif. Salah satu problem tekstual dan kontekstual UUD 1945 adalah sifatnya yang executive heavy. UUD 1945 pro pemerintahan yang bertumpu secara berlebihan pada eksekutif. Amandemen dilakukan untuk membatasi kekuasaan ekskutif dengan, misalnya, membatasi masa jabatan presiden hanya dua kali, berturut-turut ataupun tidak. Selain itu, wewenang kemiliteran dan hak prerogatif presiden mesti dibatasi dengan menentukan bahwa wewenang dan hak itu hanya dapat dgunakan melalui persetujuan DPR.

Kedua, perluasan peran DPR dalam hal perundang-undangan, pengawasan kekuasaan, dan perwakilan politik. DPR mesti diberi jaminan konstitusi untuk melakukan pengawasan atas eksekutif -- selama ini yang dijamin secara konstitusional hanya hak perundang-undangan. Selain itu, perlu ditegaskan posisi dan peran DPR sebagai lembaga perwakilan politik sehingga seluruh anggotanya dipilih melalui pemilu dan tak dapat diganti tanpa melalui pemilu. DPR pun tak dapat dibubarkan oleh presiden atau pemerintah.

Ketiga, otonomi badan kehakiman atau yudikatif dan pemberian hak judicial review kepada Mahkamah Agung (MA). Mesti ada penegasan bahwa lembaga yudikatif otonom dari intervensi pemerintah. Pun perlu diatur dua tingkat hak judicial review  bagi MA. Pada tingkat pertama, MA punya hak uji UU dan membatalkan UU itu jika tak sejalan dengan UUD. Pada tingkat kedua, MA berhak menguji aturan di bawah UU dan membatalkannya manakala tak sejalan dengan UU dan UUD.  Ini merupakan langkah penting bagi penyempurnaan trias politika.

Keempat, otonomi daerah yang luas. Dalam UUD 1945, aturan tentang pemerintahan daerah masih sangat luas. Perlu ada rincian lebih lanjut mengenai otonomi daerah sehingga sentralisasi dan eksploitasi dalam hubungan pusat-daerah tak lagi terulang.

Kelima, penegasan dan pengakuan pemilu sebagai mekanisme konstitusional. Perlu diatur adanya pemilu -- yang tak disebut sekalipun dalam UUD 1945 -- untuk memilih seluruh anggota DPR, memilih Utusan Daerah, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Aturan ini sekaligus menghentikan mekanisme pengangkatan dan recalling  di DPR, mendepak tentara dari DPR, menghapuskan Utusan Golongan dalam MPR, dan membuat presiden dan wakil presiden memiliki legitimasi yang langsung dan kuat dari rakyat.

Keenam, perluasan hak-hak warga negara atau hak asasi manusia, termasuk pengaturan soal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pengaturan hak-hak warga negara perlu diperluas dengan antidiskriminasi berdasar etnik, agama, dan gender; hak beroposisi; dan hak berpartai politik untuk meraih dukungan rakyat melalui pemilu. Dan mencontoh keberhasilan Filipina, perlu ada aturan konstitusional yang melegalisasi posisi dan peran Komnas HAM untuk membantu penegakan HAM.
Ketujuh, pengaturan mengenai Komisi Nasional Anti-Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Komnas Anti-KKN). Mengingat sangat akutnya masalah KKN, saya menilai perlu ada Komnas Anti-KKN yang bisa bekerja efektif atas nama konstitusi, setidaknya untuk kebutuhan dua dekade ke depan. Lembaga ini menggantikan komisi pemeriksa yang diatur UU pemberantasan KKN yang tersentralisasi posisi dan perannya di bawah presiden. Lembaga yang terakhir ini sangat mungkin tidak efektif mengingat presiden mungkin saja justru menjadi raja KKN.

Akhirnya, saya percaya bahwa tanpa melakukan amandemen UUD 1945 secara sungguh-sungguh, sangat sulit bagi kita membangun demokrasi konstitusional. Antara 1957-1959, Sukarno dan tentara melakukan kudeta terhadap eksperimen demokrasi konstitusional dengan UUD 1945 sebagai instrumen pokoknya. Sekarang kita boleh jadi harus membayar lunas kudeta itu dengan memulai secara serius pembentukan konstitusionalisme. Menurut saya, amandemen UUD 1945 adalah starting point-nya yang niscaya.

Depok, 3 September 1999