Terorisme Negara
Tempo, 12 September 1999



Apa persoalan genting yang muncul dari balik Rancangan Undang-undang Keselamatan dan Keamanan Negara? Menurut hemat saya, jawabannya adalah: Terfasilitasi kembalinya terorisme negara.

Dalam model terorisme negara, negara bukanlah tempat di mana semua orang atau kelompok terayomi, merasa tenteram, bebas, dan teramankan di bawah kontrak sosial antara negara dan masyarakat yang pasti. Negara justru menjadi pengancam dan penekan; semacam pengawal masyarakat yang galak. Terorisme negara bekerja di bawah -- meminjam istilah Herbert Marcuse -- kekuasaan yang menindas, bukan kekuasaan yang membebaskan.

Orde Baru adalah cerita "sukses" proyek terorisme negara. Bahkan, Orde Baru berhasil mengembangbiakkan perilaku teroris melewati batas-batas negara. Selama Orde Baru teror dilembagakan sehingga para teroris merasa gagah. Sebaliknya, mereka yang tak bisa menjadi teroris tersisihkan. Jadilan ia semacam negara teroris.

Mereka yang ingin gagah di dunia perbankan, misalnya, berlomba-lomba menjadi teroris. Dunia perbankan pun menjadi ladang terorisme, tempat para bankir menjadi teror bagi orang banyak sambil merampas harta rakyat. Yang kita tuai kemudian adalah krisis perbankan yang luar biasa menyusahkan rakyat. Kasus Bank Bali hanya sebuah contoh kecil saja dalam konteks itu.

Para konglomerat pun merasa lebih gagah ketika kemampuan terornya semakin tinggi sejalan dengan peningkatan akumulasi kapital yang mereka raih. Pun para pejabat birokrasi. Mereka menjadi teroris sambil diam-diam memaksa masyarakat untuk meneladani terorisme mereka.

Para politisi tentu saja tak ketinggalan. Bagi mereka, kemampuan teror, alih-alih menjadi cacat, justru merupakan modal untuk menumpuk kekuasaan dan keuntungan politik semakin besar. Sisa-sisa perilaku teror dan para teroris itulah yang belakangan ini terlihat gentayangan di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

UU Keselamatan Negara memfasilitasi kembalinya mekanisme terorisme negara a la Orde Baru itu. Dalam RUU ini keamanan dan keselamatan negara didefinisikan secara fisik dan militeristik. Definisi keterancaman negara dibuat secara sentralistik di tangan aparatur keamanan. Potensi dinamika sosial-politik, didefinisikan sebagai ancaman bagi negara. Senjata diposisikan sebagai alat pengaman -- mengabaikan hakikatnya sebagai alat pembunuh. Dari balik itu, terorisme negara sangat mudah untuk kembali tumbuh setelah terselang sebentar oleh jeda reformasi.
Pertanyaannya, mengapa ada keinginan untuk mebangkitkan kembali negara teroris semacam itu? Ada empat kemungkinan jawaban. Pertama, rezim kurang percaya diri dan merasa kehilangan perlengkapan manusiawi untuk mengefektifkan kekuasaan dan penguasaan atas rakyat. RUU Keselamatan Negara merefleksikan krisis rezim yang sedang mencari instrumen untuk bisa mengamuk secara legal.

Kedua, rezim dihantui oleh ketakutan semu. Mereka mengidap semacam paranoia; merasa terancam oleh ancaman yang ia definisikan sendiri yang celakanya, keliru. Rakyat, gerakan sosial, gejolak di tingkat lokal, oposisi, pembangkangan, dianggap sebagai ancaman oleh rezim. RUU Keselamatan Negara dibayangkan rezim sebagai alat tumpas yang mumpuni.

Ketiga, rezim, terutama aparat keamanan, justru surplus percaya diri. Mereka merasa rakyat "benci tapi rindu" pada aparatur keamanan. Menurut mereka, rakyat memang benci pada dosa-dosa aparat di masa lampau dan kini, namun mereka juga rindu aparat ketika ketidakpastian, ketidakamanan, dan instabilitas terlampau lama seolah tak berkesudahan.

Dengan kata lain, rakyat juga pada hakikatnya adalah teroris. RUU Keselamatan Negara menjadi alat untuk memanfaatkan kembali tabiat teror yang sudah dimiliki secara massal oleh rakyat. Saya menduga dengan keras, cara berpikir ini keliru. Sebagai korban dari terorisme Orde Baru, rakyat sangat mudah bertobat dari seolah-olah proteror menjadi antiteror. Dalam konteks ini, RUU Keselamatan Negara boleh jadi bakal menepis angin.

Keempat, rezim berniat baik menyelesaikan secara cepat berbagai krisis sosial-politik -- terutama yang berkait dengan konflik, kekerasan, dan disintegrasi -- yang sudah begitu akumulatif sekarang. Dengan kata lain, RUU Keselamatan Negara diniatkan sebagai alat penyelesai krisis dan stabilisasi secara cepat.

Namun, menurut hemat saya, cara kerja seperti itu seperti mengobati sakit mata dengan menetesinya cairan obat batuk -- alias sia-sia bahkan mengembangbiakkan sakitnya. Bukankah terorisme negara -- yang sekarang ingin direlegalisasi oleh RUU Keselamatan Negara -- yang menjadi sumber dari krisis-kriris sosial-politik itu? Bukankah terorisme negara a la RUU Keselamatan Negara adalah sebab dari krisis, bukan jalan keluar?

Dan, yang penting, apatah mungkin kita menyelesaikan masalah dengan teror? Dengan sedikit saja membaca sejarah, jawabannya sangat tegas: Tidak! Sejarah membuktikan bahwa tak pernah ada teror yang bisa menyelesaikan masalah. Dan tak pernah ada negara teroris yang bisa bernafas terlampau panjang.


Depok, 3 September 1999