Gus Dur dan Titik Temu Islam
Pilar, No20/th.II/13 - 26 Oktober 1999




Apa hal terpenting yang bisa kita catat dari acara tasyakuran terpilihnya Amien Rais sebagai Ketua MPR pada Kamis malam (7/10/99) di Hotel Kempinski Jakarta? Menurut hemat saya, jawabannya adalah pernyataan Gus Dur dalam sambutannya mengenai adanya gerakan anti Islam yang sedang mengancam.

Bukan pernyataan itu an sich yang membuatnya sangat penting, karena pernyataan serupa kerap diulang-ulang oleh tokoh semacam Soemargono, AM Saefuddin, atau Eggy Sujana. Yang membuatnya sangat penting adalah gabungan antara pernyataan itu dengan Gus Dur sebagai tokoh yang historis.

Selama ini, Gus Dur dikenal sebagai salah seorang tokoh terdepan dalam menyuarakan pluralisme dan inklusivisme. Banyak langkah-langkah politik Gus Dur yang  berbasiskan dua isme itu, termasuk ketika ia mendirikan Forum Demokrasi dan bermesraan dengan tokoh-tokoh non-Islam. Itu pula yang membuat Gus Dur kerap dipahami oleh kalangan Islam tertentu sebagai lebih senang bergaul dengan kalangan non-Islam ketimbang berasyik masyuk dengan kalangan Islam.

Pernyataan Gus Dur dalam tasyakuran Kempinski itu dapat dipahami dari dua sisi. Pertama, pernyataan itu dapat dipahami sebagai bagian dari metamorfosis yang dijalani Gus Dur semenjak kejatuhan Soeharto, 21 Mei 1998. Gus Dur yang intelektual-moralis bermetamorfosis menjadi sosok yang lebih politisi. Akibatnya, cakupan wilayah pikir Gus Dur yang Indonesia semakin bergeser ke wilayah aksi Gus Dur berdasarkan konstituen politiknya yang lebih sempit. Bahkan begitu hebat metamorfosis itu sehingga Gus Dur sampai membuat teori tentang PKB sebagai telur dari ayam NU, dan partai-partai kalangan NU lainnya sebagai - maaf - tainya.

Gus Dur yang ber-PKB ria dan mengerahkan Banser NU untuk mengamankan SU MPR, merupakan refleksi dari makin mengentalnya metemorfosis Gus Dur sebagai sosok politisi. Dalam kerangka ini, pernyataan Kempinski dapat dipahami sebagai kelanjutannya. Sebagai intelektual-moralis, Gus Dur bekerja dalam tataran nilai dan tatanan masyarakat yang mesti diwujudkan suatu ketika, sementara sebagai politisi Gus Dur lebih banyak berpikir tentang beragam alternatif untuk mewujudkannya.

Kedua, pernyataan Gus Dur tentang adanya ancaman gerakan anti Islam dapat dipahami sebagai letupan senjata di tengah peperangan politik yang makin panas di seputar SU MPR. Dilihat dari sisi ini, pernyataan itu mengindikasikan makin rapatnya Gus Dur dengan ptototipe barisan Islam politik dengan kendaraan poros tengah. Tampaknya, interaksi Gus Dur dengan Poros Tengah, terutama dengan Amien Rais, tampaknya membangun semacam kesadaran baru tentan riil politik yang mesti dihadapi politik Islam. Atau membangun semacam persepsi dan rasa terancam yang makin kuat berhadapan dengan “barisan di seberang sana”.

Dalam konteks itu, pernyataan Gus Dur di Kempinski menegaskan adanya dua itik temu kalangan Islam saat ini di tengah persaingan meraih posisi-posisi politik strategis dalam negara pasca-Soeharto. Titik temu pertama adalah ideologi, sekalipun baru dalam pengertiannya yang awal dan sederhana. Terutama ideologi Islam dalam konteks perseteruannya dengan kalangan nasionalis-sekuler yang banyak diakomodadi oleh PDI Perjuangan. Titik temu kedua adalah sebuah kesadaran untuk mencari figur pemimpin yang memiliki daya tolak terendah dari kalangan elite dan massa Islam serta elite dan dan massa lainnya.

Pernyataan Kempinski menunjukkan bahwa kedua titik temu itu sekarang sudah makin berkumpul pada sosok Gus Dur. Menurut hemat saya, inilah yang membuat Gus Dur semakin prospektif sebagai kandidat presiden Poros Tengah. Elite dan massa saat ini sedang ada dalam kebimbangan yang tegas berhadapan dengan dua pilihan yang sama bermasalahnya: Megawati dan Habibie.

Di satu pihak, Mega gagal menampilkan dirinya sebagai calon presiden modern dan rendah hati. Mega lebih banyak tampil sebagai figur pemimpin masa lampau yang lebih banyak berdiam diri, jauh dari publik, cenderung mengsakralkan dirinya, dan mengandalkan modal kharisma-warisan. Apalagi kemudian, Mega gagal membangun simpati dari kalangan Islam. Plus politik tinggi hatinya yang telah menyebabkan PDI Perjuangan gagal memperbesar basis dukungan politik bagi Mega.

Di pihak lain, Habibie berkutat dengan banyak soal. Tidak saja soal-soal yang didatangkan oleh lawan politiknya semacam skandal Bank Bali, melainkan juga soal-soal yang menyangkut track record Habibie sebagai salah satu kroni terdekat dari Soeharto. Benar bahwa secara individual dan ritual, Habibie mudah mengambil hati kalangan Islam. Namun pada saat yang sama, ia mengidap persoalan serius secara sosial dan politik. Pendeknya, Habibie tidak bisa menjadi pilihan yang mudah.

Dalam kerangka itulah Gus Dur mencuat sebagai alternatif yang mempermudah pilihan. Terlebih-lebih, ia menghadapi resistensi atau daya tolak yang paling rendah dari hampir semua kalangan elite politik, dibanding dengan Mega maupun Habibie. Maka, barangkali sudah saatnya, kita melihat Gus Dur sebagai kandidat yang serius dan benar-benar mengancam Mega dan Habibie. Dan terhadap siapapun yang akhirnya terpilih kelak, satu pekerjaan penting dan genting yang tidak boleh diabaikan adalah membangun oposisi. Gus Dur - atau siapapun - yang diimbangi oleh oposisi yang kuat, akan menjadi salah satu suasana baru pasca Soeharto yang positif.

Depok, 8 Oktober 1999