Bau Kekalahan Mega
Forum Keadilan, No.28, 17 Oktober 1999



Dalam acara tasyakuran terpilihnya Amien Rais sebagai Ketua MPR RI 1999-2004, di Jakarta pada 7 Oktober 1999 malam, saya didatangi seorang pendukung Megawati yang risau. Menyaksikan perhelatan --- yang sepertinya diadakan bukan saja untuk Amien tapi juga untuk “meresmikan” Gus Dur sebagai calon presiden - yang didatangi hampir semua tokoh penting itu, ia rupanya merasakan bau kekalahan Mega, jagonya. Saya katakan bahwa kerisauannya masuk akal. Jika tak ada perubahan berarti dalam startegi politik mereka, Mega dan PDI Perjuangan sangat boleh jadi bakal menelan kekalahan demi kekalahan dalam sisa agenda SU MPR 1999.

Lima hari Sidang Umum MPR (1-5/10/99), plus persidangan DPR, membuktikan bahwa Megawati Sukarnoputri dan PDI Perjuangan ternyata lebih rapuh dari yang mereka klaim. Semua voting yang diadakan, termasuk dua voting penting untuk jabatan Ketua MPR dan Ketua DPR, menempatkan mereka dalam kekalahan yang nyata. Maka sahihlah dugaan yang menyatakan bahwa dalam voting untuk jabatan presiden pun, Megawati boleh jadi bakal kalah.

Saya sendiri melihat ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa kans Mega untuk meraih kursi kepresidenan tak sebesar yang diyakini para pendukung Mega. Pertama, Mega terlihat kalah dalam “pengolahan matematika kursi”, yakni dalam mengembangbiakan dukungan baginya dengan membangun kepercayaan dari partai-partai lain serta beraliansi-jangka-pendek dengan mereka. Modal awal yang dimiliki Megawati, 153 kursi DPR PDI Perjuangan, plus modal bergerak yang labil berupa 51 kursi DPR PKB, tidak bisa dimanfaatkan oleh Megawati untuk menjadi awal dari aliansi mayoritas mutlak dalam DPR dan MPR.

Alih-alih menjadi kekuatan besar yang menentukan, PDI Perjuangan yang disokong PKB, justru seperti sedang mengalami esklusi alias pengasingan. Berkali-kali ia dikalahkan oleh faksi gabungan besar yang lebih berhasil mengolah matematika kursi. Kekalahan Mega-PDI Perjuangan ini dapat dijelaskan dari langkah-langkah politiknya yang cenderung keliru sejak awal, terutama segera seusai Pemilu 1999. PDI Perjuangan melakukan langkah-langkah politik tinggi hati.

Bukannya secara rendah hati mendatangi dengan santun partai-partai lain non-Golkar yang suaranya lebih kecil, PDI Perjuangan malah merasa sudah memperoleh hak untuk membangun pemerintahan baru. Ketika politik tinggi hati itu cenderung memperoleh respons negatif dari mana-mana, barulah PDI Perjuangan berbesanan dengan PKB. Dan ternyata, itu tak banyak menolong. Selain karena hanya PKB yang mereka ajak besanan, Amien Rais dengan Poros Tengah-nya sudah mulai berhasil meyakinkan Gus Dur, mbah-nya PKB, untuk ber-Poros Tengah.

Kedua, Mega dan PDI Perjuangan semakin hari semakin kedodoran mempertahankan wacana mengenai kemenangan dan hak mereka untuk memerintah. Di tengah gejala kekalahan pengolahan matematik kursi, tokoh-tokoh PDI Perjuangan, termasuk Megawati sendiri, masih terus memproduksi pernyataan-pernyataan bahwa mereka sudah memperoleh hak untuk memerintah, tanpa argumentasi hukum, politik, dan moral yang memadai dan meyakinkan. Akibatnya, alih-alih memperkuat posisi politik mereka, wacana yang mereka produksi justru melekatkan kesan arogansi.

Ketiga, Mega dan PDI Perjuangan tampaknya tertinggal dalam kecanggihan “penguasaan politik persidangan”. Sementara Golkar memiliki trio Akbar Tanjung-Slamet Effendy Yusuf-Marzuki Darusman dan Poros Tengah memiliki duet kuat Amien Rais-Gus Dur, PDI Perjuangan kekurangan figur yang bisa menembus kebekuan sikap partai-partai lain. Pernyataan-pernyataan Dimyati Hartono, Aberson Marle Sihaloho dan kawan-kawan kepada pers yang cenderung arogan, selama persidangan berlangsung, bukannya membantu memecah kebekuan itu, malah makin membekukan.

Ketiga faktor negatif yang melakati Mega-PDI Perjuangan itu, dilengkapi dengan faktor lain, yakni tidak lakunya gagasan pelibatan supporter dalam SU MPR 1999. Jika beberapa pekan lampau, gagasan anti-pengerahan supporter itu lebih banyak dinyatakan oleh Menhankam/Panglima TNI, saat ini wacana itu sudah disuarakan oleh hampir semua tokoh, termasuk Gus Dur. Perkembangan ini “tidak menguntungkan” PDI Perjuangan yang sejak awal merasa surplus percaya diri memasuki SU MPR karena memiliki massa yang siap mengepung Senayan.

Dari balik faktor-faktor itulah menyeruak bau kekalahan Mega. Dan jika dirumuskan dengan cermat maka bukan menguatnya Golkar atau Poros Tengah sebetulnya yang menjadi sumber kekalahan-potensial Mega itu, melainkan rapuhnya Mega dan PDI Perjuangan. Dan ini sejatinya mewartakan sebuah ironi. Di satu sisi, PDI Perjuangan meraih kemenangan politik secara modern, lewat Pemilu 1999, tetapi di lain sisi mereka menjadi rapuh karena menggunakan strategi dan taktik politik yang sangat tradisional-primitif. Sejak awal saya menilai bahwa berdiam diri terlampau lama, sakralisasi Mega, politik tinggi hati, dan diplomasi arogan, memang tak akan menguntungkan Mega dan PDI Perjuangan. Di tengah publik yang semakin kritis, strategi dan taktik politik semacam itu justru kontraproduktif.

Saya sendiri berharap, apapun situasi politik yang melingkupinya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden mesti dilakukan dalam suasana dan mekanisme yang demokratis. Dan setelahnya, sang pemenang tidak mabuk, sementara sang pecundang menerima kekalahannya dengan ikhlas.

Depok, 8 Oktober 1999