Dari Orkestra Menuju Jazz
Panji Masyarakat, No.27 tahun III. 20 Oktober 1999



Presiden Habibie memasuki ruangan dan disambut teriakan “Huuu…!”. Jadwal persidangan harus diputuskan secara a lot setelah terbangun kompromi antarfaksi. Sejumlah masalah dalam tata tertib harus diputuskan melalui voting. Amien Rais akhirnya terpilih sebagai ketua MPR melalui mekanisme demokratis dengan memperoleh 305 suara, di atas saingan terdekatnya, Matori Abdul Djalil yang meraih 279 suara. Selebihnya, suasana persidangan hampir selalu diramaikan interupsi, baik yang bermutu maupun yang asal bunyi menjengkelkan.

Fakta-fakta yang bisa ditemukan dalam SU MPR 1999 itu mewartakan tengah terjadinya sebuah proses politik yang penting: Bergesernya kinerja MPR dari model orkestra ke model jazz. Selama Orde Baru, MPR bekerja layaknya sebuah orkestra yang memiliki konduktor, dirijen, dan penulis partitur. Semua orang di dalamnya harus taat pada partitur dan sang dirijen. Tak ada yang boleh berimprovisasi. Semua pemain sudah ditentukan porsi permainannya.

Orkestra MPR semacam itulah yang melahirkan banyak ketetapan bermasalah. Itu pula yang setiap lima tahun memilih Soeharto, sang konduktor, dirijen, sekaligus penulis partitur, sebagai presiden tujuh kali berturut-turut. Sebagai bentuk aktualisasi musik an sich, orkestra bisa melahirkan komposisi yang merdu dan laik dinikmati. Tetapi, ketika langgan kerja orkestra itu dicangkokkan secara semena-mena ke dalam gedung MPR, maka yang ditibulkannya bukan keindahan, kemerduan, dan rasa nikmat, melainkan kemuakan, kemarahan, bahkan hilangnya kepercayaan publik pada lembaga tertinggi negara itu. Orkestra politik MPR, dalam kerangka itu, ikut memberi sumbangan menyokong terbangunnya krisis ekonomi dan politik yang parah yang kemudian menjadi lubang kuburan Orde Baru.

Jadi, syukurlagh bahwa langgam kerja MPR dalam empat hari pertama SU MPR 1999 terlihat mulai meninggalkan langgam orkestra itu dan mulai menjadi jazz. Setiap orang diberi peluang untuk menunjukkan ekspresi dan eksistensi dirinya, serta berimprovisasi dengan “peralatan musik” yang mereka kuasai dan mainkan. Peluang berekspresi, menunjukkan eksistensi diri, dan berimprovisasi itu tergambar dengan baik dalam pemilihan ketua MPR yang mengantar Amien Rais untuk menduduki kursi itu, Minggu malam (3/10/99). Amien yang hanya bermodal dasar sekitar kurang 60 kursi MPR dan dikenal sangat lantang dan lugas menyuarakan tuntutan reformasi, ternyata bisa meraup dukungan dari 305 kursi.

Dalam konteks itu, SU MPR 1999, untuk sebagian, boleh jadi mengindikasikan adanya sinyal-sinyal ke arah demokratisasi dalam tubuh lembaga tertinggi negara itu; demokratisasi dalam praktik perwakilan politik dan lembaga legislatif kita. Tapi, urusan kita dengan demokratisasi - baik di dalam lembaga legislatif maupun dalam praktik sistem politik secara keseluruhan - belum selesai, bahkan masih jauh dari selesai.

Perubahan langgam kerja dari orkestra ke jazz, selain harus dijaga konsistensinya, mesti ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan sistem politik yang cukup menyeluruh sehingga musik jazz MPR yang mulai tergelar itu tidak tertelan oleh pergelaran orkestra yang jauh lebih besar-besaran. Dalam konteks ini, ada dua agenda besar yang mesti digarap. Pertama, selama lima tahun (1999-2004) kita mesti membangun perangkat keras sistem politik - berupa institusi, aturan, dan mekanisme politik baru - yang berlanggam jazz. Kita memsti membangun perangkat keras yang bisa mengakomodasi ekspresi dan aktualisasi individu, komunitas, lokalitas, dan keanekaan. Pada saat yang sama, perangkat keras lama berlanggam lama -- yang bercirikan penyeragaman, hegemoni negara atas individu-komunitas-lokalitas, pembinaan, dan represi-manipulasi - mesti ditanggalkan satu per satu.

Kedua, dalam jangka waktu yang lebih panjang, boleh jadi sampai dengan dua dekade, kita mesti menyiapkan perangkat lunak yang sejalan dengan langgam jazz. Perangkat lunak ini berupa tabiat, watak, atau kultur yang tercermin dalam perilaku politik setiap orang - setidaknya, sebanyak mungkin orang - yang mengarah pada kesiapan untuk hidup dalam keanekaan, kesediaan berkompetisi secara dewasa, toleran-inklusif, dan kesiapan menjadi pemenang dan pecundang yang baik. Tabiat, watak, atau kultur ini dibutuhkan dalam membangun sebuah sistem politik yang benar-benar berlanggam jazz, yang biasa kita bahasakan dengan mewah sebagai demokratisasi.

Selama lebih dari satu setengah tahun politik Indonesia pasca-Soeharto, ditandai oleh mulai bermunculannya perangkat keras-perangkat keras yang relatif lebih demokratis bernuansa jazz: partai politik, pemilu, penyelenggara-pengawas-pemantau pemilu, DPR, MPR, dan boleh jadi presiden. Namun demikian, perangkat lunaknya masih sangat tertinggal, masih dicirikan oleh paradigma dan cara kerja yang sangat Orde Baru yang tidak dewasa, gagap dengan keanekaan, dan tak ikhlas ketika kalah. Yang kemudian muncul dari situasi ini adalah ketidaksejalanan (incompatibility) antara perangkat keras dengan perilaku di dalamnya. Fenomena Komisi Pemilihan Umum (KPU) - perangkat keras baru yang sejatinya lebih demokratis - yang dilanda kekanak-kanakan para anggotanya, merupakan representasi terbaik dari ketidaksejalanan itu.

Selama tidak dibangun secara bersamaan, seluruh perangkat baru dan perangkat lunak berlanggam jazz, maka boleh jadi transisi dari otoritarianisme justru berbalik kembali ke otoritarianisme berjubah baru. Amien Rais dan kawan-kawan di MPR memangku tugas sejarah yang sangat berat untuk mengelola pembentukan perangkat keras dan lunak tadi dalam prinsip kesejalanan (compatibility). Namun demikian, perlu diingat bahwa kita semua - publik yang ada di luar gedung-gedung lembaga negara atau partai politik - bukanlah penonton pergelaran jazz itu. Setiap kita adalah pemain yang perlu mengekspresikan diri, menjaga eksistensi diri, dan berimprovisasi untuk menghasilkan komposisi terbaik. Mudah-mudahan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang benar-benar bermain jazz secara baik dan benar.


Cawang-Kebon Jeruk, 4 Oktober 1999