Enam Puluh Hari
Bersama Gus Dur
Tempo, 18 Desember 1999



Setelah 60 hari bekerja, pemerintahan Gus Dur terlihat sebagai pemerintahan yang memiliki legitimasi namun tertatih-tatih membangun efektivitas. Dalam hal efektivitas, ada dua gejala paling menonjol yang layak dicemaskan. Pertama, pemerintahan Gus Dur cenderung memproduksi musuh besar yang sulit dikalahkan, yakni dirinya sendiri. Kedua, tentara ternyata masih sulit terjangkau oleh Gus Dur.

Pemerintahan Gus Dur telah mengkompromikan banyak kepentingan dan mengakomodasi semua kekuatan politik utama. Ini mendatangkan berkah sekaligus musibah. Berkahnya, pemerintahan jadi layak diharapkan untuk menjaga kerukunan politik - setidaknya dalam jangka pendek - yang menjadi soal genting pasca-Soeharto-Habibie. Musibahnya, kemungkinan membangun oposisi dan kritisisme yang berbasiskan lembaga formal semacam partai politik dan parlemen, dipersempit.

Namun, kerukunan politik di atas bukanlah berkah tanpa masalah. Pemerintahan pelangi-kompromi seperti itu rentan terhadap pergesekan dan konflik internal. Dan dengan gaya kepemimpinan Gus Dur-Megawati serta komposisi kabinet yang tak terlampau kuat secara profesional, pemerintahan terancam oleh potensi konflik horizontal (antaranggota kabinet) sekaligus vertikal (konflik menteri versus Gus Dur). Gus Dur terlihat tertatih-tatih mengelola pemerintahan semacam itu sehingga, sekalipun tak diancam oleh oposisi dari luar, pemerintahan diancam oleh musuh besar: Dirinya sendiri.

Selain “sukses” memproduksi diri sendiri sebagai musuh besarnya, Gus Dur memperlihatkan akomodasi bahkan pemanjaan yang mencemaskan terhadap tentara. Ini sebetulnya telah dimulai ketika Gus Dur mengakomodasi terlalu banyak tentara dan purnawirawan dalam kabinetnya. Dengan enam orang wakil, tentara menjadi partai terbesar dibandingkan PDI-P dan Golkar sekalipun.

Ketika pemerintahan mulai berjalan, terjadi situasi dua sisi. Di satu sisi, Gus Dur kerap terlihat berselisih paham dengan tentara dalam isu-isu semacam hubungan pusat daerah, federalisme, dan tuntutan referendum. Media massa berkali-kali memuat aksi saling balas pantun antara Gus Dur dan tentara via Kapuspen TNI Mayjen Sudrajat. Di sisi lain, Gus Dur dan tentara terlihat seperti padu kompak. Ini terlihat misalnya dalam memahami penindasan rakyat di Aceh - “Tak ada tentara yang menindas melainkan orang liar berbaju tentara,” kata Gus Dur --, menyikapi separatisme semata-mata sebagai barang haram yang datang dari tempat antah berantah, serta dalam penggunaan “teori oknum” untuk membuat institusi ketentaraan tetap terlihat mengkilat. Belakangan, dalam penglihatam saya, kecenderungan kedua lebih menenggelamkan yang pertama.

Sepertinya ada perasaan senasib, yakni sebagai sama-sama penguasa, pada Gus Dur dan tentara yang membuat keduanya cenderung defensif. Gus Dur terlihat jauh lebih risih dan tergangngu dengan KKN yang masih dibahasakannya secara kabur ketimbang dengan praktik militerisme masa lalu yang konkret. Gus Dur juga cenderung mengakomodasi, setidaknya membiarkan, konservatisasi yang terjadi dalam tubuh tentara. Kelompok di seputar Wiranto terus menguat dalam posisi-posisi strategis. Gerak mutasi TNI selama pemerintahan Gus Dur memperlihatkan gejala itu.

Maka, tentara sepertinya menjadi kekuatan yang tidak atau belum terjangkau Gus Dur. Ini bisa dipahami dengan menimbang, pertama, sejatinya Gus Dur tidaklah progresif dan reformis dalam memahami hubungan sipil-militer. Semenjak Soeharto dan Habibie masih berkuasa, Gus Dur cenderung akomodatif pada politik tentara. “Radikalisasi” stadium tertinggi yang pernah dialami Gus Dur terlihat pada saat ia bersama tiga tokoh lain menggulirkan Deklarasi Ciganjur.

Isi Deklarasi Ciganjur, yang memberi waktu enam tahun, 1998-2004, untuk menghentikan politik tentara, yang justru mengecewakan mahasiswa dan kalangan reformis lainnya, adalah bentuk radikalisasi Gus Dur yang tertinggi dalam menyikapi demiliterisasi. Selebihnya, Gus Dur, sebagaimana halnya Megawati, cenderung menerima politik tentara. Maka, ketakterjangkauan tentara oleh “tangan reformasi” Gus Dur, bersumber pada Gus Dur sendiri yang jangan-jangan tak punya tangan macam itu.

Kedua, siapapun yang menjadi presiden sipil Indonesia pasca-Soeharto atau pasca-Orde Baru, sulit untuk langsung ada di atas angin vis a vis tentara. Masa antara 1957 (ketika tentara mulai dibolehkan oleh Sukarno untuk menggalang kelompok kekaryaan) hingga 1998 (ketika Soeharto jatuh), adalah cukup lapang bagi tentara untuk membangun infrastruktur kekuasaan politik dan ekonomi yang kokoh. Maka, dari balik puing-puing Orde Baru, tentara hampir satu-satunya bangunan yang tetap bisa berdiri. Maka, presiden pasca-Soeharto berkesulitan untuk dengan cepat menguasai tentara, bahkan sebaliknya potensial berada di bawah bayang-bayang tentara.

Selama empat dekade proses pem-batu-annya, tentara bukan saja sukses mendirikan infrastruktur kekuasaan politik tetapi juga ekonomi. Semenjak nasionalisasi ekonomi 1958 yang memberikan kesempatan tentara menjadi “pebisnis berseragam”, tentara menguatkan basis ekonominya secara bertahap. Pada 1970-an, bisnis tentara ditata ulang secara lebih modern. Pada 1980-an, bisnis mereka diprofesionalisasi dengan merekrut kalangan profesional untuk mengurus bisnis yang makin membesar. Pada 1990-an, struktur bisnis mereka sudah menjadi konglomerasi dengan Yayasan Kartika Eka Paksi-nya Angkatan Darat sebagai imperium terbesarnya. Maka ketika partai-partai politik masih mengandalkan rente lewat korupsi-kolusi politik, tentara membangun pabrik uang lewat bisnis modern sambil juga tetap mendulang rente. Ini menjadikan tentara sebagai kekuatan politik yang tak bisa dipandang sebelah mata. Tampaknya Gus Dur masih sulit bermain silat dengan pemain kuat ini.

Ketiga, Gus Dur menghadapi sambil terlihat- entah karena suka atau tak kuasa -- membiarkan konservatisasi dalam organisasi tentara. Menurut penglihatan saya yang serba terbatas, peralihan atau pergumulan kepemimpinan kolektif dalam organisasi tentara belakangan ini cenderung mengarah pada naiknya faksi konservatif yang memahami hubungan sipil-militer dan militerisasi dalam cara pikir lama (sekalipun kerapkali dibungkus dengan banyak idiom baru). Faksi perwira profesional yang mengalami intelektualisasi - yang kerap diwakili oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Wijaya, dan Agus Wirahadikusumah - cenderung tersisih di wilayah pinggiran. Berada di sekeliling (atau di bawah pengaruh?) faksi konservatif, mudah dimafhumi jika Gus Dur terlihat gamang menjangkau reformasi hubungan sipil-militer dan demiliterisasi.

Keempat, oposisi dan kritisisme terhadap militerisme belakangan ini terlihat menyurut, mengendur, dan tidak semassif sebelum ini. Di satu sisi, ini memperlihatkan bukti konkret betapa sulitnya kelas menengah politik membangun oposisi setelah terbangun rezim populis Gus Dur-Megawati. Di sisi lain, gejala itu boleh jadi menggambarkan sebuah kecenderungan massif yang mencemaskan, yakni masih banyaknya orang yang benci tapi rindu pada tentara. Mereka benci karena faktanya tentara melakukan penindasan dan dosa di masa lampau, tapi mereka rindu pada tentara sebagai kekuatan yang menjanjikan untuk menciptakan stabilitas sesegera mungkin untuk memulihkan pemenuhan ekonomi secukup hidup. Situasi dua sisi itu memberikan peluang bagi tentara untuk merekonsolidasi diri dalam ruang yang cukup lapang.

Mengingat segenap kecenderungan di atas berarti menggarisbawahi sebuah keperluan penting dan genting, yakni memperkuat gerakan sosial berbasiskan kaki lima. Ini memang butuh waktu, biaya, dan kesabaran. Bahkan juga butuh keikhlasan untuk disalahpahami. Belakangan ini, setiap aksi atau gerakan kritisis kerapkali disalahpahmi sebagai genit bahkan pengganggu stabilitas pemerintahan baru. Tapi, jika tak ada yang siap dan ikhlas disalahpahmi seperti itu, boleh jadi memang tak akan ada transisi menuju demokrasi.

Depok, 18 Desember 1999