Oposisi,
Tambal Gigi, dan Slilit
Republika, 6 Desember 1999



Setiap kali soal oposisi didiskusikan, selalu saja bisa kita temukan beberapa kesalahpahaman standar. Oposisi diidentikkan dengan sistem parlementer, dan tidak dengan sistem presidensial. Oposisi hanya dibayangkan ada dalam parlemen, antara lain dengan membentuk kabinet bayangan, dan tidak mungkin atau bahkan tidak selayaknya dibangun di luar parlemen. Oposisi dipahami hanya sebagai pekerjaan elite, dan tidak boleh menjadi beban massa atau rakyat secara orang per orang. Oposisi harus berbentuk organisasi formal, dan tidak bisa berbentuk gerakan kolektif yang cair. Oposisi tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.

Daftar kesalahpahaman itu menegaskan bahwa membangun oposisi di Indonesia adalah pekerjaan yang tidak gampang karena harus dimulai dengan reparasi cara berpikir. Bahwa bukan soal ketiadaan atau kekurangan dasar hukum saja yang mempersulit pembentukan oposisi itu, melainkan juga masih bertahannya paradigma lama yang memahami oposisi sebagai barang haram, serta ketiadaan jaringan awal di tengah masyarakat untuk membangun oposisi secara benar. Karena itu,  membangun oposisi merupakan sesuatu yang sulit tetapi harus.

Dalam demokrasi, setiap masyarakat dipandang selalu memiliki pemerintahan yang mengklaim dirinya sempurna tetapi pada hakikatnya tidak. Diumpamakan sebagai gigi, demokrasi mengandaikan bawa setiap pemerintahan selalu memiliki gigi yang bolong. Dalam kerangka inilah oposisi menjadi keniscayaan sebagai tambal gigi itu. Sebagaimana diyakini Isabell de Madriaga, dalam demokrasi oposisi berfungsi sebagai partner bagi pemerintahan.

Hukum butuh oposisi itu selalu bekerja baik dalam sistem demokrasi dengan model parlementer maupun presidensial, hanya saja dengan format yang tentu tak sama persis. Dalam sistem parlementer, partai oposisi intraparlementer yang kalah dalam pemilu memang menjadi tulang punggung oposisi. Dalam sistem presidensial, selain partai oposisi dalam parlemen (jika ada), kaukus oposisi intraparlemen dan gerakan-gerakan oposisi ekstraparlemen, menjadi tulang punggungnya. Karena itu, keliru memahami oposisi sebagai pekerjaan intraparlemen saja.

Oposisi juga bukan pekerjaan elite, melainkan pekerjaan yang bisa dilakukan secara indiviual, kelompok, organisasi, atau jaringan oleh siapa saja. Oposisi yang terserak di tengah massa rakyat, misalnya, justru menjadi kekuatan yang luar biasa dahsyat yang menyokong sistem demokrasi. Ini sekaligus menegaskan bahwa beroposisi tidaklah identik dengan sebuah formalisasi gerakan. Orang atau kelompok bisa membangun oposisi tanpa formalitas.

Dan di atas segalanya, membangun oposisi tidak ada urusannya dengan karakter bangsa kita. Mengingat oposisi adalah sesuatu yang inhern dengan sistem demokrasi, menolak oposisi atas alasan karakteristik bangsa, sebetulnya sama artinya dengan menolak demokrasi yang katanya sedang ramai-ramai didukung oleh siapapun di Indonesia saat ini.

Atas dasar argumen-argumen di atas, tidak ada alasan untuk mengharamkan dan menghindari pembentukan oposisi seusai terbentuknya pemerintahan Abdurrahman-Megawati, akhir Oktober lalu. Sekalipun, memang benar bahwa setelah Abdurrahman membentuk kabinet  pelangi yang mengakomodasi semua kelompok, kita memang tidak lagi menemukan sisa kekuatan signifikan di parlemen yang bisa membangun partai oposisi. Namun justru di situlah tantangan besar bagi upaya membangun oposisi menjadi terasa lebih mengundang.

Untuk itu, ada beberapa agenda yang amat mendesak. Sudah saatnya sekarang kita menyusun dasar legal-konstitusional bagi oposisi. Amandemen UUD 1945 yang akan diselesaikan oleh MPR pada 17 Agustus 2000, misalnya, mesti memasukkan klausul soal oposisi ini. Agenda lain yang menunggu adalah penggalangan oposisi ekstraparlemen oleh minoritas kreatif yang dimiliki berbagai segmen masyarakat. Di sini diperlukan kerja kepeloporan.

Agenda berikutnya adalah membangun sebuah jaringan rakyat yang tidak lagi berintikan "kerumunan" melainkan "barisan". Agenda-agenda itu akan mengalami konkretisasi manakala terbangun juga pintu yang menghubungkan oposisi kaki lima di luar parlemen itu dengan parlemen. Karena sulit mengharapkan adanya partai oposisi, maka yang bisa diagendakan dalam parlemen sebagai upaya membangun pintu adalah membangun kaukus oposisi yang lintaspastai dan dianggotai para anggota parlemen secara individual.

Tetapi itulah. Sekali lagi agenda terbesar, terberat, dan terlamanya, adalah membangun paradigma baru yang menghalalkan oposisi, baik di tengah massa maupun di kalangan elite. Pada titik ini, membangun oposisi pada hakikatnya mengubah keyakinan orang bahwa tambal gigi bukanlah slilit yang mesti dibuang melainkan benda yang menyempurnakan gigi kita.

Bandung, 6 Desember 1999