Oposisi dalam Parlemen
Metro, Mei 1999



Ketika membaca program partai-partai politik yang mendaftar ke Tim Sebelas, Fabruari 1999 lampau, saya menemukan kesan bahwa semua partai menyiapkan dirinya sebagai pemenang Pemilu 1999; menjadi penguasa baru. Ini tampak tegas dari daftar program mereka yang sangat panjang dan meliput semua hal. Program itu hanya mungkin direalisasi oleh sebuah partai yang mendominasi parlemen dan pemerintahan seperti halnya Golkar di masa Orde Baru.

Tak ada satu pun partai politik yang bersiap menjadi partai oposisi. Tak ada partai yang memfokuskan diri pada program-program spesifik yang akan terabaikan oleh penguasa dan karena itu mesti menjadi agenda oposisional. Tak ada partai yang menyiapkan diri secara sengaja menjadi oposisi intraparlemen.

Gejala itu tentu patut disesalkan. Pemilu 1999 hanya akan menghasilkan pemenang yang rentan tanpa penguasaan atas kursi mayoritas yang meyakinkan. Karenanya, pertama, akan terjadi aliansi intraparlemen yang berpusat pada orientasi ideologis dan isu-isu tertentu. Kedua, banyak agenda parlementer dan pemerintahan akan dihasilkan oleh rumus "kompromi yang bermasalah".

Dalam konteks itu, parlemen hasil Pemilu 1999 boleh jadi masih diharu-biru oleh konservativisme: Menghalangi perubahan konstitusi, melegalisasi berlanjutnya dominasi politik militer, bersikukuh mempertahankan model kesatuan sebagai bentuk pemerintahan final sekalipun mengidap banyak masalah, melestarikan model-model paternalisme politik, kikuk mengahadapi agenda pemberantasan KKN, dan lain-lain.

Parlemen dan pemerintahan seperti itulah yang akan menuai oposisi yang luas dari institusi-institusi publik semacam pers, mahasiswa, intelektual-akademisi, organisasi nonpemerintah, dan kelompok-kelompok oposisi politik. Alangkah berbahayanya jika eskalasi oposisi pasca-Pemilu 1999 itu terjadi tanpa ada saluran formal bagi agenda-agenda oposisi dalam parlemen dan pemerintahan. Alangkah bahaya manakala parlemen sendiri tidak memiliki mekanisme oposisional yang efektif. Pada titik inilah partai oposisi dalam parlemen sangat dibutuhkan.

Menjadi oposisi intraparlemen sebetulnya menggiurkan. Partai oposisi dalam parlemen akan memperoleh basis dukungan aliansi yang sangat luas baik dari dalam maupun dari luar parlemen.

Dari dalam parlemen saja, partai oposisi bisa membuat sekurang-kurangnya dua saluran aliansi. Pertama, aliansi antarpartai yang sama-sama concern dengan perlawanan terhadap konservativisme. Kedua, aliansi dengan faksi-faksi progresif-reformis yang ada dalam semua partai yang ada di parlemen. Jangan lupa bahwa di semua partai -- dalam  partai yang paling konservatif sekalipun -- boleh jadi tetap tersedia komunitas/orang progresif-reformis. Mereka inilah mitra aliansi konseptual bagi partai oposisi intraparlemen.

Dari luar parlemen, partai oposisi intraparlemen bisa mengeduk dukungan luas dari kalangan prodemokrasi. Aliansi ad hoc dan situasional bisa dibangun oleh partai oposisi dalam parlemen dengan berbagai gerakan sosial prodemokrasi.

Menjadi partai oposisi dalam parlemen tak saja merupakan tawaran atraktif namun juga penting. Lima tahun pasca Pemilu 1999 adalah fase sangat menentukan dalam transisi pascaotoritarianisme. Jika gerakan oposisi -- baik yang kaki lima (di luar parlemen) maupun intraparlemen -- menyurut maka boleh jadi fase ini justru membuka peluang rekonsolidasi struktur otoritarian. Partai oposisi dalam parlemen diperlukan untuk mengawal agar rekonsolidasi ini tak terjadi -- setidaknya, tak terjadi dengan mudah.

Pertanyaan operasioanlnya sekarang: partai manakah yang tepat menjadi oposisi intraparlemen? Menurut saya yang paling tepat mengemban tugas oposisi dalam parlemen adalah Partai Amanat Nasional (PAN).

Sekalipun M Amien Rais terkesankan kurang bisa menjaga ritme kerja politiknya, harus tetap diakui bahwa PAN memiliki agenda-agenda reformasi yang tegas dan dalam banyak hal cukup terjaga konsistensinya. Dalam beberapa isu dasar -- seperti reformasi konstitusi dan antimiliterisme, misalnya -- sikap PAN jelas. Selain itu, basis dukungan bagi PAN juga akan datang dari segmen pemilih kalkulatif-rasional selain basis pemilih primordial (Muhammadiyah) dalam jumlah yang cukup signifikan.

Selain (boleh-boleh saja) menyiapkan diri menjadi pemenang, adalah produktif dan realistis bagi PAN menyiapkan diri sebagai partai oposisi intraparlemen. Dan jika Amien ternyata belum ditakdirkan Tuhan menjadi Presiden Indonesia keempat, alangkah produktif jika ia duduk sebagai ketua parlemen.

Tentu tumpuan tidak bisa sepenuhnya dibebankan ke PAN dan Amien. Tetap mesti ada partai lain yang memposisikan dan memerankan diri sebagai partai oposisi intraparlemen. Dalam konteks ini, bukan hanya keikhlasan untuk kalah yang semestinya dimiliki oleh partai-partai peserta Pemilu 1999 tetapi juga kesiapan untuk membangun oposisi kaki lima (bagi partai yang tidak beroleh kursi parlemen) dan oposisi formal intraparlemen.

Tentu saja oposisi yang rasional, dewasa, dan tidak membabi buta. Keberadaan oposisi semacam itulah yang bisa menjadi salah satu jaminan bahwa transisi demokrasi memang berjalan di Indonesia pasca-Pemilu 1999.