KPU: Penggagal Pemilu Jurdil ?
Monitor No. 4 Th. 1, Kamis, 15 April 1999



Saya ingin memulai tulisan ini dengan tiga buah cerita. Cerita pertama saya dengar Jumat (9/4/99) dari sebuah tempat pendaftaran  pemilih disebuah kota kecamatan di pelosok Bekasi. Petugas pendaftaran pemilih (Gastarlih) berinisiatif mengumpulkan dengan santun - KTP penduduk di wilayah yang mereka kelola. Tujuannya; proses pendaftaran bisa dipercepat dan angka partisipasi politik bisa didongkrak. Penduduk yang KTP-nya tersandera di Gastarlih tentu menginginkan KTP-nya cepat kembali; dan karena itu akan cepat “ datang mengambil KTP” ke Gastarlih. Pada saat inilah mereka bisa sekalian didaftar atau mendaftar sebagai calon pemilih. Ternyata memang benar. Ketika itu dua hari setelah itu (Minggu, 11/4/99) saya kembali ke tempat pendaftaran itu, jumlah pendaftar sudah mencapai angka 60 persen. Metode penyanderaan KTP itu efektif mendongkrak jumlah pemilih. Namun pada saat  sama sudah terpraktikkan satu bentuk pelanggaran pemilu berupa mobilisasi pemilih yang melanggar ketentuan UU No. 3/1999 bahwa “memilih adalah hak warga negara”.

Cerita kedua saya dengar Sabtu (10/4/99) ketika bertemu dengan tiga orang anggota PPD (panitia Pemilu Daerah) II kodya Bandung dari PUDI, Partai Keadilan, dan Partai Solidaritas Pekerja. PPD II di ibukota propinsi tetangga Jakarta itu ternyata belum menerima semua aturan yang sudah selesai dibuat oleh KPU dan PPI. “Bukan saja dana yang kami belum terima dari pusat dan PPD I, tetapi juga kebijakan-kebijakan KPU dan PPI yang sangat kami butuhkan sebagai panduan, “ kata salah seorang dari mereka. Mereka pun harus berkreasi  untuk merumuskan aturan-aturan di tingkat lokal.

Cerita ketiga datang dari Semarang (Senin, 12/9/99). Seorang anggota PPK (panitia Pemilu Kecamatan) di Kodya Semarang mengeluhkan tak tersedianya panduan-panduan kebijakan dari pusat ( KPU dan PPI). Sama seperti kasus Bandung, mereka akhirnya berkreasi sendiri merumuskan aturan. Dalam tahapan pendafataran pemilih misalnya, salah satu hasil kreasi itu adalah pendaftaran kolektif dan pendafataran setengah aktif - yang kedua-duanya terkatagorikan pelanggaran.

Tiga cerita diatas menggambarkan betapa dalam konteks pemilu 1999, “ waktu” bukan sekedar kendala tehnis, melainkan politik. Terbatasnya waktu  persaingan pemilu membuat kecanggungan dan ketidakterkelolaan kepanitiaan  pemilu terjadi-terutama di tingkat lokal. Implikasinya lalu bertambah panjang lantaran kecanggungan  dan ketidakterkelolaan itu membuka kemungkinan  penumpukan pelanggaran  atau kecurangan. Maka, kendala waktu akhirnya bisa saja membuat panitia pemilu - tanpa sengaja - menjadi salah satu nominator penggagal pemilu. Jika bukan kenggalan total, setidaknya kegagalan kualitatif; target jurdil-demokratis tidak tercapai di tingkat minimal.

Dalam konteks itu, salah satu kebutuhan sangat mendesak dan penting dalam pelaksanaan pemilu 1999 adalah pengawasan terhadap panitia pemilu disemua tingkat . Yang perlu diawasi bukan saja panitia di tingkat pusat (KPU dan PPI) melainkan juga kepanitiaan juga kepanitiaan  di tingkat lokal (PPD I, PPD II, PPK, PPS dan KPPS). Dan sejauh ini “ pemantauan partikelir” yang saya lakukan memang mendatangkan banyak kekhawatiran.

Dalam soal prioritas pananganan persoalan, misalnya, terlihat kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam kerja KPU dan PPI. Soal paling krusial yang semestinya ditangani sejak awal oleh KPU-PPI adalah komunikasi dan koordinasi antara KPU-PPI dengan PPD I dan PPD II. Terhambatnya komunikasi  dan koordinasi ini misalnya, dalam bentuk tidak sampainya produk aturan yang dibuat di pusat ke tingkat lokal (sebagaimana tergambar dalam tiga cerita diatas) - bisa membuka peluang penyimpangan di bawah ini.

Mengatasi masalah komunikasi ini sebetulnya tidak terlampau sulit dan mahal . Yang dibutuhkan hanya 300 unit komputer - untuk 27 PPD I dan 273 PPD II - dengan spesifikasi tertentu yang membuatnya bisa dipakai mengakses jaringan internet. Selain itu, hanya dibutuhkan pembuatan akses internet itu melalui Wasantara.net yang konon (menurut iklan mereka) sudah bisa menjangkau  seluruh wilayah  Indonesia. Dengan cara ini, pengiriman produk-produk aturan bisa dilakukan dengan cepat dan sangat murah melalui e-mail dari pusat ke daerah. Satu kebijakan KPU atau PPI bisa sampai ke tangan PPD I dan PPD II hanya beberapa jam setelah kebijakan itu disahkan.

Namun sayangnya, alih-alih melakukan itu - yang hanya membutuhkan biaya sebesar-besarnya Rp. 3 milyar - yang kita dengar adalah pengadaan mobil dinas yang dananya lebih besar.

Saya tahu persis bahwa dengan tingkat pencapaian kerja yang berhasil diraihnya hingga saat ini, KPU, PPI dan semua level kepanitiaan pemilu sudah bekerja  dengan sangat keras dalam ketersediaan waktu yang sebetulnya hampir-hampir tidak masuk akal.  Namun demikian, panitia pemilu terutam di tingkat pusat yang membuat aturan dan mengatur kordinasi vertikal intrapanitia - hendaknya masih memilki  sisa ruang untuk ikhlas menerima koreksi, pengawasan, dan oposisi dari publik