Politik Indonesia 2000
SWA, 1 Desember 1999



Politik Indonesia di tahun 2000 adalah sederet harapan baru sekaligus sejumlah kecemasan. Harapan-harapan baru terbit setelah Indonesia relatif berhasil melewati ujian pra-transisi demokrasi, yakni Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR 1999. Harapan baru dimunculkan oleh terbentuknya pemerintahan baru Abdurrahman Wahid-Megawati Sukarnoputri dengan kabinetnya yang bernuansa persatuan nasional. Tetapi, dari balik itu pula, menyeruak sejumlah kecemasan.

Pemerintahan Abdurrahman Wahid terbentuk melalui prosedur politik yang jauh lebih demokratis dibandingkan dengan pemerintahan-pemerintahan yang lahir dan tumbang di masa sebelumnya. Inilah pemerintahan yang untuk pertama kalinya semenjak empat puluh tahun teakhir, memiliki legitimasi yang relatif kokoh. Selain karena dipilih melalui prosedur demokratis di MPR, pemerintahan ini disokong oleh kekuatan-kekuatan politik yang terseleksi melalui Pemilu 1999 yang jauh lebih demokratis dibandingkan pemilu-pemilu Orde Baru. Pemerintahan yang memiliki basis legitimasi memadai ini merupakan modal yang menerbitkan harapan dalam politik Indonesia 2000.

Dalam posisinya sebagai pemilik basis legitimasi yang memadai itu, pemerintahan Abdurrahman-Megawati potensial menjadi "rezim populis". Baik Abdurrahman maupun Megawati memiliki basis massa yang riil; Abdurrahman dengan massa Nahdliyinnya, dan Megawati dengan massa (bawah) PDI Perjuangannya. Siapapun sulit membantah fakta mengenai adanya basis massa riil ini. Karena itu, rezim yang terbangun di atasnya adalah rezim yang memiliki kaitan dengan dan disokong oleh basis massa pendukung yang cenderung militan; sebuah "rezim populis".

Di satu sisi, pemerintahan yang memiliki legitimasi dan basis massa itu, tentu membawa harapan. Pemerintahan semacam itu -- setidaknya secara teoritis -- akan berdiri kokoh di atas pilar penopangnya yang kuat. Bagaimanapun, dalam suasana masih dicekam oleh krisis ekonomi dan politik seperti sekarang, Indonesia membutuhkan pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat.

Namun, di sisi lain, pemerintahan yang memiliki legitimasi dan basis massa riil semacam itu, juga menerbitkan semacam kekhawatiran. Pemerintahan semacam ini, jika tidak dikelola secara arif, mudah terjebak untuk menjadi "pusat baru yang terlalu menentukan" semua perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Determinisme negara, bahkan determinisme pemimpin, cenderung untuk terwujud kembali dengan segenap bahaya yang mengancam di baliknya.

Pemerintahan semacam itu juga mendatangkan kesulitan-kesulitan baru bagi upaya penggalangan kritisisime dan pengembangbiakkan oposisi. Siapapun -- tidak saja gerakan oposisi semacam mahasiswa namun juga pelawak seperti Bagito Group dan seniman semacam Butet Kartaredjasa -- akan sulit melanjutkan kritisisime mereka secara leluasa dan efektif.

Politik Indonesia di tahun 2000 akan ditandai oleh melebarnya jebakan bagi terbentuknya pemerintahan yang sulit dikendalikan dan dikontrol oleh mekanisme pengawasan yang efektif. Dengan memahami konteks kesulitan membangun kritisisme dan oposisi serta potensi jebakan itu, maka ada kebutuhan untuk membangun sebuah situasi moderat. Yakni, terbangunnya pemerintahan yang kokoh-kuat namun amun diimbangi oleh tetap bisa bekerjanya oposisi dan kritik. Saya sendiri menduga, situasi moderat ini agak sulit dicapai selama tahun 2000. Yang lebih mungkin terjadi adalah kuatnya kepemimpinan Abdurrahman-Megawati lantaran masih terpeliharanya suasana dukungan riil di sekitar mereka, serta sulitnya mencari celah kritik dan oposisi yang efektif.

Dugaan yang terlihat pesimis atau skeptis itu bukannya tanpa prasyarat. Pemerintahan akan kuat dan opsosi akan sulit efektif hanya jika terjamin satu, beberapa, atau semua hal berikut. Pertama, tidak terjadi keretakan serius secara internal, di dalam pemerintahan Adurrahman-Megawati yang bercirikan "kompromis bergaransi" itu. Kita tahu bahwa kebinet Abdurrahman memadukan semua unsur kekuatan politik yang ada saat ini. Pemerintahan pelangi ini cenderung rentan dan mudah goyah oleh pergesekan-pergesekan internal.

Menurut hemat saya, agak sulit membayangkan pemerintahan semacam itu akan steril dari gejolak, konflik, keretakan, bahkan perpecahan. Kasus sinyalemen tiga menteri KKN, dan "pemecatan" Hamzah Haz serta reaksi PPP atasnya, dapat dipahami sebagai gejala-gejala awal dari gejolak hingga perpecahan internal itu. Jika Abdurrahman dapat menjaga soliditas pemerintahan pelanginya, pemerintahan Abdurrahman-Megawati boleh jadi akan menguat selama tahun 2000. Namun bila terjadi sebaliknya, tahun 2000 akan ditandai oleh perapuhan pemerintahan.

Kedua, pemerintahan Abdurrahman mampu memecahkan -- setidaknya menyediakan konsep jalan keluar yang kapabel dan akseptabel -- masalah-masalah serius yang sangat mendesak. Manakala pemerintahan Abdurrahman mampu menghadapi secara sigap dan tepat masalah-masalah penting dan genting semacam Aceh, Maluku, Irian Jaya, dan maka tahun 2000 Abdurrahman akan menuai tambahan legitimasi dan basis dukungan. Namun manakala pemerintahan Abdurrahman tidak berhasil mencari jalan keluar dari masalah-masalah penting dan genting itu, yang akan terjadi justru sebaliknya.

Dalam kerangka itu, saya menilai pemerintahan Abdurrahman potensial terjebak oleh sejumlah penyakit: terlampau rileks menghadapi soal-soal yang sangat serius; gagal merumuskan prioritas yang tepat menghadapi gunungan masalah warsan masa lampau; dan terlampau tergopoh-gopoh dalam menyikapi persoalan-persoalan kompleks yang butuh kecermatan menanganinya. Sejauh ini, menjelang tahun 2000, kecenderungan-kecenderungan bahwa pemerintahan Abdurrahman mengidap penyakit-penyakit itu, semakin terlihat, dan karenanya mencemaskan.

Ketiga, Abdurrahman bisa mengoptimalkan posisi dan peran Megawati yang bersifat komplementer dengannya; atau Megawati sendiri bisa melakukan optimalisasi dirinya. Sebagaimana kita mafhum, Abdurrahman dengan segenap karakteristik personal dan keterbatasan fisiknya, menghadapi kendala-kendala serius untuk masuk dan menangani tumpukan masalah multidimensional Indonesia saat ini. Dalam konteks ini, Megawati semestinya memainkan peranan dan mengambil posisi yang tepat untuk menutupi kekurangan Abdurrahman.

Sejauh ini, Megawati tampak terlampau lamban dan tidak siap mengemban tugas-tugas berta di pundaknya. Sejauh ini, Abdurrahman memainkan peranan solidarity maker dengan titik tekan penggalangan dukungan internasional. Seyogianya, Megawati mengambil peranan sebagai manajer pemerintahan yang sigap menangani masalah-masalah domestik yang bergulir sangat cepat. Megawati terutama mesti menangani masalah-masalah Indonesia Timur sebagaimana ditugaskan Abdurrahman.

Tahun 2000 adalah tahun ujian yang berat bagi duet itu. Jika kecenderungan yang mencemaskan dan berjalan selama Oktober-November 1999, terus berlanjut, maka patutlah kita ajukan kecemasan pada duet yang banyak diharap orang itu. Manakala terjadi perubahan berarti sehingga tidak ada  lagi "keosongan perhatian" dari pemerintahan terhadap masalah-masalah domestik, maka duet itu justru akan menguat. Tentu saja, dalam kerangka itu, dibutuhkan kolektivitas kepemimpinan kabinet yang saling dukung dan saling tahu tugas masing-masing.

Keempat, baik Abdurrahman maupun Megawati tidak mengeksploitasi simbol-simbol personal yang mereka miliki sehingga menutup peluang bagi terjadinya resakralisasi pemimpin. Abdurrahman yang memiliki darah biru NU dan Megawati yang mewarisi darah Sukarno sama-sama memiliki potensi menjadi pemimpin yang sakral. Manakala tahun 2000 ditandai oleh sakralisasi Abdurrahman dan atau Megawati -- dan Abdurrahman, misalnya, terus termanjakan sebagai pemimpin impulsif, spontan, enigmatik, dan cenderung menghindari mekanisme akuntabilitas publik -- maka kecemasan patut perbesar.

Pertanyaannya kemudian: Dalam stuasi pemerintahan semacam itu, bagaimanakah kira-kira situasi publik atau masyarakat alam tahun 2000?

Saya teringat penelitian yang dilakukan Ohio State University bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Mei-Agustus 1999 lalu. Penelitian yang meliput responden di 26 propinsi dengan metodologi yang sangat terjaga itu, menegaskan bahwa harapan terbesar yang dimiliki publik adalah pulih kembalinya situasi sosial ekonomi. Berakhirnya krisis ekonomi, menjadi sesuatu yang sangat didambakan publik. Bahkan sejumlah signifikan responden mengidentikkan "demokratisasi" dengan "perbaikan kondisi ekonomi masyarakat".

Dalam konteks itu, saya menilai politik Indonesia di tahun 2000 akan mulai ditandai oleh mengemuka dan menguatnya tuntutan agar pemerintahan segera mengkonkretkan hasil-hasil pemulihan sosial ekonomi. Perbaikan kualitas hidup, terutama distribusi logistik di tengah masyarakat, akan menentukan suasana politik umum di tengah publik. Manakala pemerintahan tidak bisa memulihkan ekonomi, khususnya memperbaiki ketersediaan logistik, keresahan publik masih relatif mudah digalang menjadi kemarahan kolektif. Sekalipun, potensi kemarahan kolektif di tahun 2000 jauh lebih kecil dibandingkan dua tahun sebelum ini.

Secara umum, rekening kemarahan yang ditumpuk selama Orde Baru, masih belum seluruhnya dikeluarkan oleh publik. Hanya saja, ledakan-ledakan kemarahan besar sangat boleh jadi tak akan lagi terlihat sebagaimana pernah marak beberapa tahun terakhir. Dalam tahun 2000 ekspresi kemarahan akan lebih banyak berwujud gejolak kedaerahan, terutama di beberapa "daerah panas". Maka, di tahun 2000, Aceh, Irian Jaya, Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, akan menjadi batu ujian yang penting dan genting.

Di tahun 2000 Indonesia akan menjadi tempat di mana sinyalemen John Naisbitt dalam Global Paradox (1995) dipertaruhkan. Menurut Naisbitt, kebebasan yang meluas secara lintasnasional akan mendorong menguatnya unsur-unsur kecil dan lokal. Terjadilah, kata Naisbitt, teribalisme, yakni kecenderungan menagasnya anasir-anasir kecil untuk berpisah dari unit-unit besar semacam negara-bangsa.

Selama tahun 2000 pun Indonesia akan menjadi kasus penting untuk menjawab seberapa mampu sebuah negara-bangsa yang besar bisa menyandingkan proses demokratisasi dan proses pemeliharaan integrasi. Pengalaman Uni Soviet, Yugoslavia, dan negara-negara Eropa Timur umumnya, menunjukkan bahwa penyandingan itu bukanlah pekerjaan sederhana dan gampang. Sebagai pelaku, dan bukan penonton, saya berharap Indonesia bisa lepas dari stigma Uni Soviet, Yugoslavia, dan Eropa Timur itu.

Saya berharap proses demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia disertai dengan menguatnya integrasi. Dan untuk itu, yang kita butuhkan adalah kemampuan mengelola transisi itu sehingga meminimalkan biaya dan korban kemanusiaan.


Semarang, 1 Desember 1999