Abad ke-21: Menuju
Humanisasi Indonesia
Forum Keadilan, 30 Desember 1999



Bagaimanakah merumuskan sejarah dengan benar? Orang-orang besar yang membentuk sistem ataukah sistem yang melahirkan orang-orang besar? Apakah pelaku yang menjadi pusat pergeseran dalam sejarah ataukah sistem suatu zaman yang membawa para pelaku dalam arusnya? Apakah demokratisasi atau otoritarianisme di satu tempat ditentukan oleh aktor-aktornya ataukah sistem demokrasi atau otoritarianisme itu yang mendidik para aktor menjadi demokrat atau otoritarian?

Di antara kemungkinan jawaban “aktor” atau “sistem” itu, Pramoedya Ananta Taoer pernah mengajukan jawaban keduanya. Ketika Pram menulis tetralogi Bumi Manusia-nya yang sangat kesohor, ia merumuskan jawaban dari sistem deterministik. Minke, sang tokoh utama dalam tetralogi itu, digambarkan Pram sebagai sekadar sebuah noktah dalam lautan sejarah zamannya. Minke tampil bukan sebagai penghela perubahans sejarah melainkan sekadar memainkan peranan-peranan tertentu dalam samudra perubahan zamannya.

Ketika Pram menulis Arus Balik sekitar satu dekade setelah tatralogi Bumi Manusia, ia menjawab pertanyaan di atas dengan cara sebaliknya. Wiranggaleng, sang tokoh utama novel tebal itu, digambarkan sangat gagah kuat perkasa sehingga ialah yang menghela sejarah zamannya. Wiranggaleng tidak dibawa oleh arus sejarah masa itu melainkan ialah sang pelukis perupa sejarah.

Maka yang kita tangkap dari dua kisah di novel Pram itu sangat berbeda. Minke tak terasa sebagai tokoh heroik. Ia justru harus bergelut berkeringat di tengah carut marut sejarah perubahan zamannya. Tapi Wiranggaleng menjadi sangat heroik. Ia menjadi penentu zaman.

Saya sendiri termasuk yang terpesona oleh tetralogi Bumi Manusia tapi tidak oleh Arus Balik. Menurut saya, sejarah menjadi terasa jernih manakala kita melihatnya bukans sebagai legenda orang-orang besar, raja-raja, atau para pahlawan. Sejarah justru terasa jujur ketika diceritakan sebagai sebuah narasi tentang arus besar perubahan yang di dalamnya orang per orang mengambil peranan yang tidak bisa terlampau menentukan apalagi menjadi determinan sendirian.

Begitulah. Bagi saya, Indonesia dalam satu abad lampau yang telah lewat, abad ke-20, seyogianya diceritakan bukan dengan menggelar legenda tokoh-tokoh, melainkan pertama-tama dipaparkan sebagai sebuah arus besar kehidupan di mana berbagai sistem datang dan pergi di dalamnya. Sementara itu, tokoh-tokoh datang dan pergi ikut menyemarakkan tetapi tetap ada di dalam arus itu. Memang ada satu dua tokoh yang begitu menonjol sehingga seolah-olah ialah pembentuk rupa sejarah. Tetapi menurut saya, tetap saja bahwa ia tak kuasa menjadi penghela dan penentu arus sejarah zamannya sendirian.

Karena itu, Indonesia di abad ke-20 adalah sebuah narasi besar yang tidak akan pernah tuntas diceritakan dengan sekadar menjejerkan banyak tokoh-tokohnya. Indonesia di abad ke-20 pertama-tama adalah sebuah arus perubahan besar yang dicirikan oleh kolonialisme, revolusi pemerdekaan diri, dan langkah-langkah terseok mengisi kemerdekaan itu. Orang-orang besar mesti diletakkan dalam konteks arus perubahan besar itu.

Abad ke-20 dimulai dengan apa yang di kemudian hari dikenali sebagai fase kebangkitan nasional. Inilah masa di mana Sarikat Dagang Islam (kemudian Sarikat Islam) menjadi organisasi modern yang membangkitkan perlawanan modern terhadap kolonialisme Belanda. Jejaknya kemudian diikuti oleh Boedi Oetomo, namun dalam skala lebih lokal, dan melahirkan proses kelahiran sejarah baru boemi poetra untuk merdeka dalam pengertian modern dan nasional.

Fase kebangkitan nasional juga ditandai oleh monumen besar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Inilah monumen yang mengikrarkan kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Selepas interupsi penjajahan Jepang yang sebentar, 1942-1945, Indonesia lalu menjalani fase pemerdekaan diri pada 17 Agustus 1945.

Sejarah paruh pertama abad ke-20 lalu diceritakan jauh di masa kemudian sebagai legenda orang-orang besar semacam HOS Tjokroaminoto, Dr Wahidin Soedirohoesodo, Dr Soetomo, Ir Soekarno, H Agus Salim, Drs Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan lain-lain. Sejauh yang terpetakan dalam buku resmi sejarah, paruh pertama abad ke-20 ini sangat miskin hikayat rakyat. Peperangan melawan kolonialisme misalnya, tak pernah digambarkan sebagai perlawanan rakyat melainkan heroisme orang besar. Begitu pula episode perlawanan terhadap Jepang dan proses pemerdekaan. Rakyat senantiasa digambarkan dalam sejarah sebagai sesuatu yang sekunder bahkan korban.

Masa setelah kemerdekaan, paruh kedua abad ke-20, lalu diisi dengan langkah-langkah tertatih-tatih mengisi kemerdekaan. Dimuali oleh perjalanan revolusi kemerdekaan yang romantis (1945-1949), eksperimen demokrasi parlementer (1949-1957), era kekuasaan besar Sukarno (1957-1966), dan akhirnya otoritarianisme yang panjang a la Soeharto (1966-1998), dan ditutup oleh era transisi Habibie dan Abdurrahman Wahid sekarang.

Paruh kedua abad ke-20 itu bisa digambarkan dalam tiga bentuk narasi sejarah yang berbeda. Narasi pertama ditemukan dalam fase romantisme revolusi kemerdekaan. Dalam fase ini, egalitarianisme, perlawanan rakyat, dan ketiadaan tokoh utama penghela sejarah sangat terasa. Hikayat rakyat terasa kental. Namun di kemudian hari yang jauh, cerita tentang masa ini pun kembali diselewengkan menjadi cerita kepeloporan tentara.

Narasi kedua ditemukan dalam masa eksperimen demokrasi parlementer yang gagal. Dalam fase ini egalitarianisme yang romantis dari masa revolusi semakin kabur dan masyarakat merdeka diberi tubuh modern berbentuk sistem politik parlementer. Partai politik dan parlemen menjadi institusi yang berperan secara bermakna dalam fase ini. Rakyat telah coba diwakili oleh institusi modern bernama partai politik, parlemen, dan kabinet parlementer, tetapi tak ada orang-orang besar penentu yang menonjol sendirian. Namun, di kemudian hari, cerita tentang masa ini kerap hanya digambarkan dengan sosok para perdana menteri yang kerap bersitegang dengan Sukarno, sang presiden penguasa seremonial.

Narasi ketiga terpapar secara konsisten antara 1957-1998, selama empat dekade. Dalam masa ini sejarah Indonesia kerapkali disimplikasi dengan hanya menyebut dua nama belaka: Sukarno dan Soeharto. Dengan Demokrasi Terpimpin dan revolusi belum selesai-nya, Suakrno mengharu biru Indonesia sebagai penguasa tanpa pengimbang dan pengontrol efektif. Sukarno menjadi pusat perputaran sejarah di masa ini, seolah-olah menenggelamkan semua anasir lain termasuk rakyat.

Setelah kejatuhan Sukarno yang tragis di tahun-tahun 1965-1966-1967, sempat ada interupsi sebentar dari musim semi kebebasan. Musim semi sependek masa bulan madu ini (1966-1971) kemudian mengantarkan kemunculan orang besar berikutnya, Soeharto. Dari tokoh yang dipandang sebelah mata, Soeharto akhirnya berhasil menggalang kekuasaan hingga akhirnya menjadi penentu selayaknya Sukarno di masa sebelumnya. Sebagiamana Sukarno, Soeharto menggalang proses personalisasi Indonesia; menjadikan Indonesia sebagai miliki pribadi.

Maka, sepanjang abad ke-20, Indonesia memang mesti diceritakan dengan penuh pertasaan masygul. Perubahan-perubahan besar dalam masyarakat Indonesia berjalan bersamaan dengan perputaran kekuasaan negara dari sentralisme-otoriratian negara kolonial menuju revolusi pendek yang romantis akhirnya berpusing kembali ke sentralisme-otoritarian personal Sukarno dan Soeharto.

Lalu, mesti bagaimanakah sejarah semacam itu didefinisikan? Menurut saya jawabannya sangat ringkas dan tegas: Sebuah sejarah dehumanisasi! Indonesia abad ke-20 adalah narasi besar pembunuhan kemanusiaan. Pembuktiannya gampang: manusia Indonesia, orang per orang, hampir sepanjang abad itu tak pernah bisa merebut sejarahnya sendiri. Saya ingat Paulo Fraire, salah seorang penggagas bersar humanisasi, yang pada suatu ketika menulis dengan lugas: “Seseorang yang manusiawi adalah yang bisa merumuskan sejarahnya sendiri-sendiri”. Justru di sinilah letak persoalan dasar manusia-manusia Indonesia abad ke-20: tak bisa atau tak diberi ruang untuk merumuskan sejarahnya sendiri-sendiri.

Kembali ke pertanyaan semula: Apakah tokoh besar yang bisa merumuskan sistem ataukah sistem yang membentuk para tokoh? Sejarah abad ke-20 di Indonesia ternyata mengajarkan jawaban yang lebih jujur. Dalam sebuah suasana dehumanisasi, para aktor besar berpeluang melakukan personalisasi sistem dan karenanya seolah-olah membentuk sistem beserta segenap instrumennya. Namun, manakala terjadi pergeseran ke arah humanisasi maka setiap orang merumuskan sendiri-sendiri sejarahnya membentuk sebuah sistem arus besar perubahan yang tidak memberi ruang bagi aktor-aktor besar sebagai determinan dari sistem itu.

Itulah saya kira jawaban yang sangat relevan dengan Indonesia hari-hari ini; Indonesia yang menyongsong abad baru, abad ke-21. Ada kebutuhan untuk memberi ruang bagi setiap orang untuk merumuskan sendiri-sendiri sejarahnya sehingga para pembesar tak lagi bisa membusungkan dada mengkalim diri sebagai pembentuk sejarah bangsanya. Inilah yang dalam bahasa mewah disebut sebagai proses demokratisasi. Artinya, manakala demokratisasi berhasil maka akan datang zaman di mana orang-orang besar hanya akan diceritakan sebagai bagian dari hikayat rakyat. Alangkah indahnya abad ke-21 manakala zaman hikayat rakyat ini yang kita bangun.

Solo, 30 Desember 1999