Di Manakah Posisi
Reformasi Kita Sekarang?
Forum Keadilan, 28 Januari 2000



Dengan masygul saya mendengar pernyataan yang diucapkan masyarakat awam di mana-mana ketika berkesempatan berkeliling ke daerah-daerah sebelum, selama, dan setelah Pemilu 1999 kemarin. Pernyataannya kira-kira begini: Tolong segera hentikan reformasi karena hanya membuat rakyat susah, membikin harga-harga tak kunjung turun, dan membawa kesulitan ekonomi berkepanjangan.

Kata “reformasi” tampaknya telah mengalami degradasi begitu rupa sehingga dari bentuk sejatinya sebagai pintu untuk keluar dari krisis ekonomi politik, justru disalahpahami sebagai tembok yang menghalangi jalan keluar itu. Ditinjau dari sudut ilmu semantik, degradasi itu sebetulnya biasa-biasa saja. Sebuah kata yang terlalu kerap dipakai tanpa menjaga makna hakikinya, tentu saja bakal mengalami degradasi. Ingat saja kata “pembangunan” (development), “orde baru” (new order), “stabilitas” (stability), atau “kebijakan” (policy). Sengaja saya sertakan kata Inggris-nya untuk menunjukkan betapa setelah dilafalkan berulang-ulang sambil mengkhianati maknanya, akhirnya kata-kata itu sudah menjalani degradasi makna yang luar biasa dari kata asalinya. “Reformasi” tampaknya sedang (atau sudah?) mengalami proses degradasi serupa itu.

Namun ditinjau dari sudut implikasi kesalahtafsiran itu terhadap perkembangan masa depan transisi dari otoritarianisme di Indonesia, degradasi itu selayaknya tak dianggap sebagai hal lumrah, biasa, atau patut diabaikan. Mesti ada upaya untuk mengklarifikasi, mencari pemaknaan sejati dari kata itu sehingga alih-alih dianggap nazis justru dipahami sebagai pekerjaan rumah bersama yang mesti terus digauli. Di sini yang terhidang bukan problem kebahasaan belaka melainkan pertama-pertama problem sosiologi politik.

Di sisi lain, saya juga kerap masygul mendapati banyak elite politik, elite ekonomi, penggemar diskusi di banyak kota, belakangan ini cenderung memahami bahwa reformasi sudah usai. Bahwa transisi sudah lewat. Kalimat pernyataan mereka kira-kira seperti ini: Sudahlah, tidak usah bicara terlalu keras dan tega lagi dalam soal-soal politik setelah transisi akhirnya berhasil kita lewati dengan selamat; biarkan lah pemerintah mengurus segala sesuatunya dengan tenang tanpa kita recoki.

Konstatasi di atas menggarisbawahi diidapnya penyakit lama yang di awal Orde Baru dulu menjadi jalan pembuka bagi tumbuhnya otoritarianisme a la Soeharto setelah sebelumnya massa menolak habis-habisan otoritarianisme a la Sukarno. Yakni penyakit terburu-buru menyerahkan segala urusan kepada elite dan berpuas diri dengan pencapaian adhoc, sementara, yang artifisial dan instant. Jika tak ada pertobatan di kalangan elite dalam bentuk menyadari bahwa reformasi justru baru dimulai secara bermakna manakala pemerintahan baru hasil pemilu terbentuk, dan transisi baru saja dijalani dalam tahap-tahap sangat awal ketika itu, niscaya para elite itu bakal menjadi sekrup bahkan korban-korban baru bagi rekonsolidasi otoritarianisme.

Begitulah. Akhirnya, mau tak mau hari ini memang kita bergelut penuh rasa masygul dengan pertanyaan dasar: Di manakah persisnya reformasi kita sekarang ini?

Ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati Sukarnoputri terbentuk, Indonesia sebetulnya baru saja memulai sebuah proses transisi dari otoritarianisme yang sesungguhnya. Setidaknya begitulah sejatinya manakala kita menggunakan teori transisi yang umum dipakai dalam memahami transisi dari otoritarianisme di berbagai negara dalam rentang waktu 1974 sampai dengan sekarang.

Di Indonesia, keseluruhan proses transisi itu bisa dikatakan dimulai pada awal 1990-an ketika Orde Baru dan Suharto terlihat mengalami beberapa perkembangan penting. Inilah yang disebut oleh Anders Uhlin sebagai periode pra-transisi di Indonesia yang ditandai oleh terlihat melapuknya sebuah rezim namun tidak ada kepastian bahwa rezim itu akan tumbang dan membawa proses transisi yang pasti.

Ujung dari fase pra-transisi adalah medio awal 1998, tepatnya Februari-Mei 1998, ketika gerakan massa makin membesar di tengah krisis ekonomi dan politik yang semakin tak bisa dikendalikan rezim. Ujung-ujungnya adalah tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998 yang berimplikasi pada terjadinya dinamisasi politik Indonesia secara dramatis.

Kemunculan kekuasaan Habibie yang memperoleh hak konstitusional memerintah setelah “Soeharto berhalangan tetap”, membawa Indonesia pada fase berikutnya yakni liberalisasi (politik awal). Inilah fase yang memastikan bahwa pra-transisi berakhir namun transisi belum dimulai. Fase liberalisasi ditandai oleh redefinisi hak-hak politik rakyat, terjadinya ungovernability (ketidaktertaan pemerintahan), instabilitas, dan ketidakpastian.  Dalam fase inilah lazim terjadi euforia kebebasan dan ledakan partisipasi politik, sebagaimana kita alami - dan sisa-sisanya masih kita rasakan sekarang ini - selama masa pemerintahan Habibie. Fase ini disebut oleh Guilermo O'Donnel dan Philippe Schmiter sebagai “dimulainya transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana”.

Fase liberalisasi bisa disebut sebagai “koridor” dari rezim otoritarian menuju fase transisi. Ujung dari koridor ini adalah pemilihan umum dan terbangunnya rezim baru melalui prosedur yang lebih demokratis dan memiliki legitimasi lebih baik dibandingkan rezim lama. Begitulah, Indonesia akhirnya bisa melaksanakan Pemilu 7 Juni 1999 sebagai pemilu yang jauh lebih demokratis dibandingkan pemilu-pemilu Orde Baru. Dan melalui Sidang Umum MPR hampir sepanjang Oktober 1999, Indonesia akhirnya memiliki pemerintahan baru Abdurrahman Wahid-Megawati Sukarnoputri lewat proses yang relatid demokratis dan transparan.