Konsolidasi Reformasi
Pilar, 23 September - 6 Oktober 1998



Bagaimana memaknai Sidang Istimewa (SI) MPR yang bakal digelar 10-13 November 1998? Apa yang bisa diharapkan dari perhelatan formal itu? Adkah sumbangan SI sebagai upaya keluar dari krisis ekonomi dan politik serta bagi kelanjutan reformasi?

Jawaban terhadap pertanyaan itu hanya mungkin diberikan dengan baik manakala konteks waktu yang melingkupi pelaksanaan SI, diperhitungkan. Sepeninggal Soeharto, Indonesia mengalami gegar politik lantaran perubahan yang datang menggelombang dan tiba-tiba.

Di satu sisi, masyarakat dilanda euforia, jingkrak-jingkrak tak terkendali lantaran kebebasan yang di masa lalu sangat mahal sekonyong-konyong  tersaji gratis. Di sisi lain, pemerintahan Habibie tiba-tiba menampilkan watak yang berbeda secara relatif dramatis dibanding Soeharto: membebaskan tahanan politik, membiarkan partai politik berdiri bagai cendawan di musim hujan, membentuk tim yang menyiapkan undang-undang baru di bidang politik, mencekal bankir-bankir bermasalah, dan lain-lain.

Perkembangan dua sisi itu dapat dijelaskan secara teoritis sebagai dimulainya fase liberalisasi politik awal di Indonesia. Studi-studi transisi menuju demokrasi dalam kasus-kasus di berbagai belahan dunia - terutama Amerika Latin dan Eropa - memperlihatkan ketika penguasa otoritarian digantikan penguasa baru di bawah tekanan publik untuk menegakkan demokrasi, dengan cepat penguasa baru melakukan redefinisi hak-hak politik rakyat dan meluaskan kebebasan politik. Inilah hakikat liberalisasi politik awal itu.

Menurut sejarah kasus-kasus transisi, liberalisasi politik awal bukanlah garansi yang cukup untuk memastikan bahwa sistem politik sedang berjalan ke arah demokrasi. Fase liberalisasi politik awal dapat berlanjut ke arah dua kemungkinan: transisi menuju demokrasi atau rekonsolidasi otoritarianisme.

Sampai hari ini, kita belum memperoleh indikasi yang terang tentang arah mana yang sebetulnya akan kita jalani pascakejatuhan Soeharto. Jawaban pasti, menurut saya, akan sangat tergantung pada dua variabel.

Pertama, seberapa tinggi daya tahan desakan publik ke arah demokratisasi. Publik yang cepat terdisintegrasi dan mengalami penyurutan daya desak, dalam kasus sejumlah negara, akan mendorong liberalisasi politik awal ke arah musim semi kebebasan dan rekonsolidasi otoritarianisme. Kebebasan hanya terjadi sebagai jeda yang pendek, selayaknya sebuah musim semi. Untuk menghidari kemungkinan terakhir ini, adalah keharusan bagi kita untuk terus mempertahankan daya desak publik.

Kedua, seberapa jauh pemerintahan terkekang untuk menjalani tahap demi tahap, langkah demi langkh, dari proses reformasi menuju fase transisi. Pemerintahan baru yang diberi cek kosong sangat mungkin terjebak kembali pada pola lama dan makin hari makin menyurutkan komitmennya pada demokrasi.

Dalam konteks prasyarat kedua itulah SI mesti diberi lanskap. SI akan bermakna dan memberikan sumbangan signifikan bagi proses reformasi manakala ia menyiapkan tali kekang bagi pemerintahan. Dengan tali kekang ini kemudian pemerintahan dikendalikan untuk menjalani langkah demi langkah dan tahap demi tahap transisi menuju demokrasi.

Apakah agenda SI, seperti tercermin dalam pembicaraan Badan Pekerja (BP) MPR yang sedang bekerja pekan-pekan ini, menunjukkan indikasi ke arah penyiapan tali kekang itu? Untuk sementara kita harus menjawabnya dengan positif: Ya.

Dari 26 rantap yang disiapkan, bisa dicatat bahwa SI boleh jadi akan menyediakan sejumlah tali kekang bagi pemerintahan Habibie. Terutama, tali kekang agar pemerintahan Habibie tidak lagi menjalankan reformasi yang bersifat - meminjam istilah Wimar Witoelar -- recehan dan swalayan.

Indikasi diperlihatkan oleh beberapa hal berikut. Membuat garis-garis besar reformasi yang akan diperlakukan sebagai GBHN singkat bagi pemerintahan Habibie. Membatasi kekuasaan lembaga presiden, setidaknya dengan mencabut ketetapan tentang pelimpahan tugas dan wewenang khusus kepada presiden dan membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode. Menetapkan keharusan adanya pemilu yang dipercepat. Menjamin pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi obsesi lama umumnya kalangan prodemokrasi. Mendorong redistribusi ekonomi dan politik pusat dan daerah. Mendorong pemerintahan untuk serius membersihkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, termasuk memerika Soeharto, pejabat negara, beserta keluarga mereka. Menyiapkan konsep demokratisasi ekonomi serta penyelamatan dan rehabilitasi bangsa dan negara.

Dibandingkan dengan apa yang disiapkan BP MPR selama Orde Baru, persiapan BP SI kali ini harus diakui jauh lebih berbobot. Namun, persoalan tak selesai cuma dengan persiapan berbobot. Semua yang sudah dipersiapkan secara berbobot itu hanya akan bermanfaat bagi perbaikan legitimasi pemerintah pada tingkat formal.

Jika SI berhenti pada perbaikan legitimasi formal belaka, justru saat itu Sidang bisa menjadi kontraproduktif. Belajar dari SU MPR Maret 1998, SI hendaknya memperlihatkan kepekaan yang tinggi pada persoalan riil masyarakat banyak. Sidang juga mesti menjadi awal dari peningkatan kegiatan “cuci pikiring bekas pesta Soeharto”, yakni dengan membersihkan pemerintahan Habibie dari unsur dan gaya rezim lama, mengubah gaya kekuasaan, membentuk sistem baru yang lebih demokratis, dan mengubah paradigma kehidupan politik menuju masyarakat baru yang adil, terbuka, dan demokratis.

Dalam konteks itu, fungsi penting yang harus diwujudkan SI adalah memutus masa lampau dan membuka pintu bagi konsolidasi reformasi.