RESENSI
Ishslah, 1998
Bangsa yang Menyebalkan: "Kita"
Eep Saefulloh Fatah, Bangsa Saya yang Menyebalkan: Catatan tentang Kekuasaan yang Pongah. Bandung: Penerbit Rosda, 1998. xxi, 282 p. ; 21 cm.
Sebuah omelan yang cerdas. Tapi, adakah bangsa yang tidak menyebalkan?
Eep Saefulloh mengomel. Eep adalah salah satu cendikiawan muda kita yang paling artikulatif. Ia mampu mengungkapkan kembali bacaannya yang banyak dengan bahasa yang tak hendak berumit-rumit. Maka tak terlalu mengejutkan jika buku ketiganya ia beri judul amat lugas: "Bangsa Saya yang Menyebalkan". Judul itu adalah judul sebuah tulisannya dalam buku ini yang pernah dimuat di Republika. Sub judul buku itu tak kurang galak: "Catatan tentang kekuasaan yang pongah".
Omelannya bermula dari penolakan Eep pada filsafat sejarah Pramodya Ananta Toer dalam novel "Arus Balik". Pram terjebak simplikasi, katanya. Dalam "Arus Balik", Wiranggaleng dengan sakti menghela sejarah sendirian. Dan Eep kecewa. Eep lebih memilih Minke dalam karya masyhur Pram, tetralogi "Bumi Manusia". Lewat Minke, kata Eep, Pram mengungkap bahwa sejarah bukan buah tangan satu orang. Wacana sejarah dalam "Arus Balik" versus wacana dalam tetralogi "Bumi Manusia" diingat Eep saat melihat perkembangan mutakhir politik Indonesia. Bangsa kita, katanya, belum bebas dari simplikasi sejarah sebagai karya individual. Sejarah Orde Baru dianggap banyak orang sebagai buah karya Soeharto semata. Ketika Soeharto turun, riuhlah fenomena yang, menurut Eep, "menjijikkan".
Dengan membebankan tanggung jawab hanya pada Soeharto (dan keluarga), penyangga lain sistem sosial-politik-ekonomi Orba selamat, menyelamatkan diri, berganti rupa jadi "pahlawan reformasi". Padahal bukan cuma Soeharto, "kita" juga, bangsa ini, ikut bertanggungjawab
atas kebusukan politik Orba. Demikian pendapat Eep. Ada kasus bahasa yang menarik dalam omelan Eep tersebut. Ia sering menggunakan kata ganti "kita" dalam tanda petik. Eep rupanya
punya masalah dengan kata "kita" — ia seperti tak nyaman menuliskan kata itu begitu saja.
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, Eep hendak membedakan diri dari khalayak pembaca. Dengan tanda petik itu, Eep seolah hendak berkata: "demi percakapan, saya ber-'kita-kita'; tapi saya tidak 'begitu' ". Ini tentu kemungkinan yang buruk. Betapa arogan Eep jika benar berpikir begitu. Betapa menggurui.
Kemungkinan kedua, diam-diam Eep menyadari, bahkan mungkin menitipkan pesan, bahwa kata "kita" mengimplikasikan suatu kondisi yang sungguh goyah. Betapa relatifnya "kita". Siapakah "kita" — diikat oleh apakah Eep, Anda dan Saya hingga menjadi "kita"? Oleh angan-angan?
Di titik itulah sebuah masalah bisa diajukan pada Eep. Jika "kita" dalam konteks omelan Eep itu menyiratkan kata/pengertian "bangsa", kita harus sadar bahwa kata "bangsa" memang penuh masalah yang belum tuntas disoal Eep. Ia bilang, "betapa menyebalkan bangsa (Indonesia)". Tapi adakah bangsa yang tidak "menyebalkan"?
Eep rupanya masih memandang bangsa sebagai suatu Gestalt (kebanyakan kita memang cenderung memandang bangsa demikian). Gestalt adalah sebuah entitas yang bulat-utuh, tak terpecah-pecah. Dalam kenyataan, "bangsa" adalah sebuah entitas yang terlalu besar untuk
bisa bulat sempurna. "Bangsa" selalulah terlalu majemuk, terlalu ramai oleh penyimpangan, terlalu sengkarut. "Bangsa", apa boleh buat, memang selalu mengecewakan.
Selalu ada orang yang sebal pada bangsanya sendiri, di manapun. Sebaliknya, di samping segala yang mengecewakan, "bangsa" akan juga mencakup hal-hal yang menyenangkan. Misalnya, Indonesia saat ini adalah bangsa yang sedang mendapat kesempatan kedua (setelah masa kebangkitan nasional awal abad ke-20) untuk mendefinisikan kembali dirinya.
Dalam rangka itulah catatan-catatan Eep jadi penting. "Bangsa" mungkin terlalu sulit diperlakukan sebagai gestalt. Karena itu banyak yang menganggap lebih realistis mengelola individu dan komunitas, melepaskan diri dan menjauhi segala rencana besar, walau sebagian
tetap menyerukan kesadaran global pada kerja-kerja lokal itu. Toh jika ada suatu "kekuasaan yang pongah" mendominasi sebuah wilayah geo-politis-sosio-kultural, apalagi dalam waktu begitu lama, kekuasaan itu jelas perlu digugat terus dari berbagai penjuru. Di situ, sampai tingkat tertentu, sebuah keseluruhan mesti bekerja. Dan di situ pula "taring" buku ini.
Catatan-catatan ini mencakup berbagai tulisan Eep dalam kurun waktu 1997-1998 — kurun yang krusial bagi Indonesia. Sayang penyusunannya tidak runtut/kronologis. Akibatnya muncul berbagai loncatan yang bisa membingungkan: baru saja Eep "mendongengi" Pemilu 1997, tiba-tiba menyodok "dongeng" Habibie sebagai presiden. Kelemahan lain, seperti biasa sebuah kumpulan tulisan, banyak analisa Eep yang tak tuntas, mendadak tamat, atau kurang menukik. Maklum, untuk konsumsi media massa yang serba ringkas
Tapi Eep selalu artikulatif. Bacaannya kaya dan sering pula berbekal data yang penting. Bolehlah buku ini sebagai pemantik diskusi. Mungkin juga Anda bisa ikut mengomeli bangsa ini, mengomeli "kita" sendiri.
[Hikmat Darmawan, Budayawan Muda, Penggiat Komunitas Budaya Musyawarah Burung]
|