Kolom
Search this site or the web powered by FreeFind

Site search Web search

Bangsa Saya yang Menyebalkan


SALAH SATU "prestasi" saya selama menjadi pekerja pers adalah bolos kerja dua hari untuk membaca Arus Balik-nya Pramoedya Ananta Toer. Satu hari (hampir) penuh benar-benar saya pakai untuk membaca. Satu hari sisanya "tewas" di tempat tidur.

Saya memang teragitasi oleh nama besar Pram, oleh kerinduan pada karya sastra sejarah sejenis tetralogi Bumi Manusia-nya Pram, sekaligus oleh publikasi yang mendahului penerbitan Arus Balik. Namun sayangnya, seusai membaca karya fiksi mahatebal itu saya kecewa.

Ketika bertahun-tahun sebelumnya saya membaca tetralogi Bumi Manusia, saya menemukan "kenikmatan intelektual" luar biasa. Belakangan saya tahu bahwa rasa nikmat itu berasal dari dari pendekatan yang dipakai Pram di novel itu dalam memandang sejarah peradaban manusia. Sejarah dipahami sebagai sebuah samudera, dan manusia-manusia di dalamnya adalah noktah di tengah lautan luas sejarah itu.

Minke, sang tokoh utama tetralogi Pram, bukanlah seorang mahasakti yang menghela apalagi mengarahkan arus sejarah. Minke tercebur di dalam arus itu dan menjadi bermakna karena gigih dan gagah berupaya menyiasati keterceburannya. Dalam tetralogi ini Pram tak melakukan simplifikasi sejarah lewat kepahlawanan individual.

Dalam Arus Balik, Pram meninggalkan pendekatan yang jernih terhadap sejarah itu. Wiranggaleng, sang tokoh utama, digambarkan Pram sebagai seorang pahlawan yang dengan segenap kesaktiannya bisa menjadi penggerak sejarah. Sejarah peradaban manusia disimplifikasi oleh Pram menjadi sebuah kereta yang bisa ditarik dengan gampang oleh Wiranggaleng, hampir sendirian. Pram terjebak melakukan simplifikasi itu dengan menokohkan Wiranggaleng sebagai "bapak dari sebuah peradaban". Saya pun kecewa.

Wacana sejarah yang ditampilkan Pram dalam tetralogi versi Arus Balik itulah yang membayang di kepala saya ketika saya begitu sebal dan kecewa dengan perkembangan politik hari-hari terakhir ini. Sejarah Orde Baru telah disimplifikasi oleh hampir semua orang -- tanpa kecuali -- seolah-olah ia digerakkan bahkan diproduksi oleh Soeharto (dan keluarga), sendirian. Seolah-olah Orde Baru bukan sebuah korporatisme tetapi toko kelontong yang seluruh saham dan pengendaliannya ada di tangan satu orang.

Dengan kesesatan berpikir semacam ini, Soeharto dan keluarganya lalu dihujat habis-habisan, sementara anasir-anasir korporatisme Orde Baru lainnya selamat, terselamatkan, atau menyelamatkan diri. Para anasir korporatisme Orde Baru -- yang notabene juga juga tak bebas dari racun korupsi, kolusi, kroniisme, dan nepotisme -- bahkan tiba-tiba bisa memposisikan diri sebagai penghujat Soeharto.

Para anasir korporatisme itu pun menjadi begitu menyebalkan dan membuat rasa jijik yang amat mengganggu. Mereka secara memalukan mempertontonkan tiga kekonyolan sekaligus. Pertama, mereka seolah-seolah baru lahir dan berpolitik ketika Gerakan Reformasi 1998 marak dan Soeharto jatuh. Mereka seolah kiriman dari langit yang tak memiliki jejak kotor sejarah, dan sengaja diturunkan untuk "Indonesia yang baru".

Kedua, tanpa kompetensi dan kredibilitas moral, mereka dengan keras menghujat moralitas politik. Mereka dengan cepat memindahkan posisi dari "terdakwa sejarah" menjadi "hakim sejarah"; dan Soeharto beserta keluarganya an sich mereka taruh sebagai tertuduh yang didakwa "membunuh Indonesia tanpa persekongkolan". Dengan wajah belepotan kotoran mereka berteriak-teriak di depan publik betapa kotornya wajah Soeharto.

Ketiga, mereka menjadi reformis tiban, reformis ujug-ujug, dengan menggugat segala produk Orde Baru seolah-olah mereka sendiri tak ikut membikinnya dan bukan bagian dari produk itu. Jika Gerakan Reformasi 1998 dianalogikan sebagai sebuah kereta api, mereka langsung meloncat ke gerbong VIP tanpa karcis dan tanpa membayar. Gratis.

Saya sebal dan kecewa harus menjadi saksi dari kekonyolan-kekonyolan yang sungguh membikin perih rasa kemanusiaan itu. Celakanya, saya tampaknya harus memperbesar skala kesebalan dan kecewaan itu mengingat fakta-fakta konyol itu jangan-jangan merupakan replika dari kesesatan kolektif bangsa ini dalam memandang sejarah peradaban manusia.

Sejarah telah disimplifikasi sebagai hasil karya individual. Dengan cara berpikir sesat seperti ini, "kita" lalu mensimplifikasi perkembangan koperasi beserta latar historisnya yang amat kaya itu dengan menokohkan Mohammad Hatta sebagai "Bapak Koperasi". "Kita" mensimplifikasi kekayaan latar historis pendirian dan perkembangan Angkatan Darat (AD) dengan menobatkan Jenderal Besar A.H. Nasution sebagai "Bapak AD". "Kita" mensimplifikasi pembangunan Orde Baru yang merupakan hasil kerja sinergis jutaan anak-anak bangsa dengan memakzulkan Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan".

Simplifikasi semacam itu bahkan tak hanya terjadi di arus formal -- yang saya bahasakan dengan "kita" di atas. Ketika Gerakan Reformasi 1998 mengalami sukses awal besar berupa tumbangnya Soeharto, banyak orang -- dan sebagian dari mereka adalah kalangan intelektual -- kemudian menyematkan gelar "Bapak Reformasi" kepada M. Amien Rais. Benar bahwa Amien Rais memainkan kepemimpinan informal yang sangat signifikanselama gerakan itu berlangsung. Benar bahwa ia punya posisi khusus dalam gerakan itu. Benar bahwa ia adalah pendobrak kebekuan politik. Benar bahwa semuanya mesti diapresiasi sacara layak. Tetapi adalah tak proporsional jika apresiasi ini diwujudkan dengan menobatkannya sebagai "Bapak Gerakan Reformasi" -- sebuah gerakan yang memiliki akar, pusat, dan kepemimpinan sangat banyak dan tersebar itu.

Jika simplifikasi semacam itu masih kita pertahankan, maka sebetulnya kita memasuki era reformasi dengan melupakan sebuah keharusan fundamental: perubahan paradigma berpikir. Kita masih memakai paradigma lama -- yang telah mengkerangkeng bangsa ini lebih dari empat dekade -- yang percaya bahwa urusan-urusan dan tanggungjawab kerja kebangsaan ada di tangan para tokoh, para elite, para pejuang besar.

Paradigma inilah sebetulnya yang membuat jatuhnya Demokrasi Terpimpin di akhir tahun 1960-an mesti diikuti oleh penghinaan dan penghujatan personal besar-besaran kepada Sukarno melalui proyek "Desukarnoisasi". Seolah-olah, Sukarno lah penghancur sistem politik, tanpa sekutu. Paradigma ini pula yang membuat runtuhnya Orde Baru mesti diikuti oleh penghinaan, penghujatan, dan caci maki massif kepada Soeharto. Seolah-olah, hanya Soaeharto yang punya dosa-dosa politik. Seolah-olah hanya Soeharto yang punya pohon bisnis rimbun yang buah-buahnya pahit penuh masalah.

Paradigma itulah yang menyebabkan bangsa ini memiliki daftar panjang para pahlawan besar namun miskin catatan kejayaan sejarah.Kita pun kemudian menjadi bangsa yang mengidap gigantisme: Besar tapi penuh penyakit.

Manakala paradigma lama dan usang itu masih kita pertahankan, maka apa yang kerap disebut sebagai "reformasi" hanya bakal jadi slogan. Dengan gagah bangsa ini seolah-olah hendak masuk ke Orde Reformasi namun sebetulnya tetap dengan posturnya yang kerdil, tak dewasa, jauh dari kematangan -- semacam bonsai. Inilah sebuah bangsa yang elite-elite politiknya sibuk mengeruk dana bantuan besar bagi aksi-aksi politik kelompok masing-masing, sibuk membikin partai-partai baru, sibuk berdebat sampai hampir sekarat tentang soal-soal politik yang tak substantif, sementara pada saat yang sama rakyat yang mereka atasnamakan sedang bergelut dengan kesulitan hidup, kemiskinan, kelaparan, dan trauma yang mencekik leher.

Betapa sebalnya menyaksikan semua itu. Tapi dengan serta merta rasa sebal itu berubah menjadi kesedihan dan keprihatinan mendalam tatkala saya sadar bahwa itulah bangsa saya. Bahwa saya adalah satu noktah kecil -- sangat kecil -- yang menjadi bagiannya. Dan tentu saja, hanya kita semua anak-anak bangsa -- termasuk saya -- yang bisa dan mesti mengubah kenyataan memerihkan itu. [Republika, 6 Juni 1998]
Politik Tahu Diri

DEMOKRASI KERAP tak butuh pemimpin besar, melainkan cukup orang tahu diri. Maka Nelson Mandela berhenti menjadi presiden ketika tak punya pesaing berarti. Ia tahu diri, mengakhiri kekuasaan yang bisa dibikin panjang, bahkan sampai ajalnya, dan tunduk pada kepentingan lebih besar: demokratisasi Afrika Selatan.

Atau dengar cerita yang dibawa Cak Nur kemana-mana: Richard M. Nixon tahu diri, mundur sebelum di-impeach Kongres AS karena skandal yang memalukan. Contoh lain: Atas nama demokratisasi, Corry Aquino merasa cukup menjadi presiden satu periode jabatan. Ia bahkan aktif dan efektif memasukkan batas satu periode jabatan presiden ke dalam Konstitusi 1987, konstitutisi baru Filipina. Ia pun turun unjuk rasa ketika klausul ini akan diamandemen pemerintahan Fidel Ramos, penggantinya.

Di AS, baru saja usai pameran politik tahu diri. Kandidat partai Demokrat, Al Gore, akhirnya menerima kekalahan setelah otoritas hukum tertinggi memutuskan George W. Bush sebagai pemenang. Padahal, berdasarkan kemungkinan perubahan perimbangan suara di Florida, terbuka kemungkinan yang cukup lebar baginya untuk jadi pemenang. Tapi, ia tahu diri dan berkata “Saya tak setuju argumen Mahkamah Agung tapi bisa menerima keputusannya.”

Di Indonesia, saking langkanya, orang-orang tahu diri selalu bikin kita terharu. Begitulah Mohammad Hatta kita ingat dengan takzim ketika mundur dan mengakhiri dwitunggal Sukarno-Hatta yang mulai digerogoti penyakit keserakahan Sukarno. Prof. Harun Al Rasyid membikin hati lega ketika berhenti dari anggota dan wakil ketua KPU, ketika banyak kawan-kawannya di sana terlelap asyik-masyuk, termasuk dalam kubangan korupsi.

Dan Soeharto gagal menjadi orang besar, antara lain, karena ia tak tahu diri. Ia adalah politisi piawai yang pandai membuat kekuasaan yang bernafas panjang, tapi terjerembab di ujung masa jabatannya karena tak tahu diri. Ia salah berhitung kapan mesti berhenti.

Lalu, siapakah orang-orang tahu diri itu? Buat saya, adalah mereka yang punya cermin dan bisa bercermin. Ia pun bisa menakar kemampuan dan otentisitas dirinya. Jika ia pemimpin, ia mesti berhenti ketika terbukti tak mampu dan menjadi tak otentik (teriak antikorupsi sambil korupsi atau teriak anti-Orde Baru sambil rajin mencontek gaya kekuasaan Orde Baru).

Orang tahu diri adalah yang bisa duduk di tempat yang tepat. Ia pun pandai mengurut prioritas kepentingan, bahwa jabatan publik mengurusi kepentingan orang ramai dan bukan melayani diri sendiri, keluarga, kerabat, handai taulan, dan sejawat. Maka ia mesti pandai matematika hati nurani: Bisa menghitung biaya publik sambil tak berpusat pada pengumpulan keuntungan-keuntungan privat; dan bisa menghitung dengan benar hasil-hasil kerjanya sendiri bagi kemanusiaan.

Orang tahu diri punya semacam moralitas individual yang kuat bahwa menjadi orang terhormat lebih penting ketimbang orang berkuasa -- yang pertama mendatangkan apresiasi, yang kedua biasanya memanjakan keserakahan. Ia pun punya kesadaran sejarah minimal. Karena itu, ia tahu betul bahwa tak ada pemimpin besar dilahirkan dalam dua tahun dan tak ada pemimpin besar seumur hidup. Pun, ia tahu, orang besar selalu bertindak atas nama kepatutan, bukan sekadar menuntut kepatuhan.

Akhirnya, orang tahu diri adalah mereka yang mau bertarung melawan cakar kekuasaan yang ganas, dan mampu. Ia tahu, seorang besar bukan karena berkuasa tetapi karena bisa membuat kekuasaan sebagai perkara kecil dan biasa.

Karena itulah demokrasi butuh mereka dan sebuah junta tidak. Kita bisa mengingat kembali “tragedi Myanmar” -- nama “baru” untuk Burma. Mei 1990, junta militer membikin kejutan: sebuah pemilu. National League for Democracy (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, sang tokoh oposisi, memberi kejutan lain: memenangi 59,7 persen suara atau 392 dari 485 kursi parlemen yang diperebutkan. Tapi junta militer tak tahu diri. Mereka tak bersedia menyerahkan kekuasaan ke oposisi hingga hari ini. Setelah itu, kita mencatat setiap hari betapa mahal biaya tak tahu diri. Rejim menjadikan represi sebagai sarapan pagi, pembungkaman rakyat sebagai makan siang, dan penindasan kemanusiaan sebagai penganan sebelum tidur.

Maka, sambil tak meragukan pengalamannya (pengacara terkemuka di Boston, diplomat, wakil presiden pertama, dan presiden kedua AS), bolehlah kita ingat John Adams yang percaya bahwa “Semua orang adalah monster yang serakah ketika nafsunya gagal dijaga.” Ujian bagi pemimpin, katanya, adalah ambisi yang didorong cintanya pada kekuasaan atau keinginannya bertahan di kursi kekuasaan, sambil abai pada kesejahteraan orang banyak.

Maka bagi saya, pilihan buat Gus Dur hari-hari ini bukanlah membangun kompromi, me-reshuffle kabinet, atau bermanis-manis membujuk Megawati, melainkan apakah ia memilih menjadi orang tahu diri atau berpura-pura menjadi pemimpin besar. [Koran Tempo, 2 April 2001]