Halaman 1
Menimbang Gus Dur
Menimbang Demokrasi

Oleh: Eep Saefulloh Fatah


“Saya tak ingat,” kata mantan Presiden Soeharto
berkali-kali ketika diperiksa jaksa.

“Orang-orang penting sidang melulu,
nasib kita begini-begini saja,”
kata seorang sopir taksi.

“Prek!” kata Presiden K.H. Abdurrahman Wahid

“Zaman besar melahirkan orang-orang kerdil,”
kata Mohammad Hatta (1902-1980).



Saudara-saudara,

Saya ingin mulai dari Afrika Selatan. Dalam otobiografinya yang sangat inspiratif, Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan (Long Walk to Freedom), Nelson Mandela mengingat saat pembebasannya dari penjara yang telah mengungkungnya selama 27 tahun dengan kalimat-kalimat seperti ini:

"Pada hari pembebasan saya, saya bangun pada pukul 4:30, hanya tidur beberapa jam saja. Sebelas Februari itu adalah hari tidak berawan di akhir musim panas di Cape Town. Saya melakukan versi dari latihan olahraga saya yang dipersingkat, mandi, dan kemudian sarapan. Saya kemudian menelepon beberapa anggota ANC dan UDF di Café Town agar mereka datang ke peristirahatan saya, untuk mempersiapkan pembebasan saya dan untuk membahas pidato saya. Dokter penjara datang untuk melakukan pemeriksaan singkat. Saya tidak dapat merenungkan pembebasan saya, tetapi membayangkan begitu banyak yang harus saya lakukan sebelumnya. Seperti yang sering terjadi dalam kehidupan, keagungan suatu peristiwa hilang tenggelam di dalam ribuan perincian kecil."

Kita mesti memberi garis bawah tebal pada satu kalimat dan satu frasa dari pengakuan itu. Yakni, pada kalimat “Saya tidak dapat merenungkan pembebasan saya, tetapi membayangkan begitu banyak yang harus saya lakukan sebelumnya” dan frasa “… keagungan suatu peristiwa hilang tenggelam di dalam ribuan perincian kecil.”

Membaca kalimat-kalimat pengakuan Mandela di hari pembebasannya adalah berkaca sosok kita sendiri-sendiri, sebagai komunitas, dan sebagai bangsa hari-hari ini sejak tiga tahun lalu, saat mulainya perubahan dramatis di tengah kita. Ya. Sebagaimana Mandela ketika baru saja lepas bebas dari penjara, kita merasakan datangnya semacam kebebasan di tengah hiruk pikuk yang kita sebut reformasi. Lalu, sebagaimana Mandela, kita seolah kehilangan waktu, ruang, bahkan alasan untuk merenungkan secara pantas segala kebebasan itu. Terlalu banyak hal di masa lalu yang tidak kita perbuat atau kita perbuat secara keliru; dan ketika terbuka peluang untuk bebas berbuat kita sibuk melakukan ini dan itu tanpa sempat merenungkan kebebasan itu secara pantas.

Lalu, kita pun menenggelamkan keagungan kebebasan itu di dalam perincian-perincian kecil. Kita alpa untuk menghitung capaian-capaian besar dan mendasar dari reformasi karena kita larut dalam perincian-perincian kecil. Kewaspadaan kita terhadap kemungkinan gagalnya transisi menuju demokrasi tenggelam oleh sekadar puluhan pasal dan ayat amandemen Undang-undang Dasar, puluhan undang-undang yang sudah dibikin, lebih dari seratus partai; sembilan puluhan persen pemilih pemilu, ribuan politisi baru dengan baju necis yang baru dan isi kepala lama, interupsi-interupsi yang menyeruak ke udara di setiap sidang lembaga tinggi dan tertinggi negara, dan seterusnya, dan seterusnya.

Semua itu mengandung jebakan yang amat berbahaya, yakni alpanya kita pada paradigma.  Kita disibukkan secara luar biasa oleh soal-soal prosedural sambil lupa betapa semua “prosedur perubahan” itu menjadi kosong tak bermakna tanpa “paradigma perubahan”. Kita sibuk menjalani Pemilu 1999 dan alpa pada paradigma kedaulatan rakyat dan perwakilan politik yang mesti kita layani lewat pemilu. DPR dan MPR begitu giat bersidang seolah-olah segala-sesuatu bisa selesai dengan rapat, lalu alpa pada paradigma “perwakilan, keadilan, dan demokrasi” yang mesti mereka tegakkan. Presiden sibuk bicara dan bekerja dengan caranya, lalu alpa pada tugas mendasarnya: memfasilitasi liberasi dan integrasi. Inilah jebakan itu. Kita bisa tenggelam dalam banyak mekanisme dan prosedur politik baru tanpa sempat membangun secara sungguh-sungguh sistem politik baru.

Maka, tibalah saatnya kita bertanya. Setelah berjalan tiga warsa, apakah reformasi sudah melayani peningkatan kualitas kemanusiaan? Apakah sambil sibuk melakukan banyak sekali hal, kita masih terjaga dan sadar bahwa kita memang benar-benar ada dalam jalur yang benar menuju demokrasi? Apakah kita sedang berjuang melewati fase transisi yang krusial dengan selamat, ataukah sekadar berjingkrak-jingkrak di tengah satu jeda yang pendek pada sebuah musim semi kebebasan yang sebentar lagi bakal berlalu? Apakah kita sedang berusaha meminimalkan korban kemanusiaan dari perubahan, ataukah justru terus menambahi jumlah dan kualitasnya?

Saudara-saudara,

Menghindarkan diri dari pertanyaan-pertanyaan itu berarti membiarkan diri untuk menjadi generasi yang menyia-nyiakan sejarah. Menghindarkan diri dari pertanyaan-pertanyaan itu berarti membiarkan diri sendiri terjatuh dalam kegagalan untuk memanfaatkan peluang perubahan yang tersedia sekarang.

Saya ingin ikut berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan menimbang Presiden Abdurrahman Wahid - untuk mudahnya dan karena sudah telanjur, kita sebut saja Gus Dur - dan kaitannya yang kompleks dengan sukses dan gagal transisi menuju demokrasi di Indonesia. Saya tahu fokus pembicaraan ini mengundang masalah. Bahkan, belum apa-apa kita sudah akan bertemu dengan masalah “definisi sosok” Gus Dur. Sebagai apa dan siapa kita tempatkan dia? Bukankah ia manusia yang mengatasi segala sekat? Bukankah Presiden kita yang keempat ini adalah manusia yang begitu multidimensi sehingga kita tak akan pernah mampu memahaminya?

Namun masalah yang lebih dasar adalah: Apakah relevan menghubungkan keaktoran dengan transisi? Jika pertanyaan ini diajukan pada orang seperti Anders Uhlin, penulis Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia (1998), maka jawabannya adalah “tentu saja”. Sekalipun bersetuju dengan jawaban - dan argumentasi di belakang jawaban - ini, saya ingin berhati-hati. Mesti saya katakan di awal bahwa Gus Dur akan dilihat bukan sebagai faktor yang deterministik melainkan sekadar sebagai salah satu variabel yang penting.

Saudara-saudara,
Menurut hemat saya, ada dua sumber kekeliruan dalam memahami Gus Dur yang diidap tidak saja oleh orang kebanyakan melainkan juga oleh para pengamat, pakar, politisi, dan pejabat-pejabat negara.

Sumber kekeliruan pertama adalah memposisikan Gus Dur sebagai sosok yang mengatasi segala sekat, bahkan segala perkara. Bahkan kadang-kadang Gus Dur dipsisikan sebagai “ada di atas dan mengatasi apapun.” Pada sebuah buku misalnya, kita bisa menemukan penggambaran Gus Dur semacam ini:

“Gus Dur bukanlah seorang sosiolog, bukan seorang politikus, bukan seorang politisi, bukan seorang seniman, bukan seorang budayawan, bukan seorang agamawan, bukan seorang feminis, dan juga bukan seorang pemikir, tapi Gus Dur adalah semuanya. Lebih dari itu, Gus Dur juga seorang humoris.” (Beyond the Symbols, 2000; xii).

Ini merupakan sumber kekeliruan yang berbahaya. Memposisikan Gus Dur tanpa sekat akan membuat kita memberikan kepercayaan berlebihan pada Gus Dur. Pun, bisa membuat para pengamat menjadi terlampau fleksibel, lentur, dalam analisisnya. Bahkan ini pula yang membuat cukup banyak orang, termasuk Wakil Ketua DPR kita, Muhaimin Iskandar, selalu menyalahkan para pembantu Presiden ketika pemerintahan melakukan kelalaian atau kekeliruan langkah dan kebijakan. Dalam jangka yang agak panjang, ini pun bisa membuat Gus Dur seolah-olah perlu dibiarkan bekerja memanfaatkan semua dimensi yang dimilikinya tanpa memerlukan pengawasan.

Begitulah ketika sebagai kepala negara Gus Dur tidak tegas, orang mengatakan, “Gus Dur kan humoris.” Ketika sebagai kepala pemerintahan Gus Dur tidak juga melakukan kerja-kerja konkret mengatasi soal-soal genting, pengamat mengatakan, “Dia kan pemikir hebat, mestinya para pembantunya mampu menerjemahkan pikirannya ke dalam langkah-langkah konkret.” Begitulah ketika Gus Dur membuat situasi psikologis masyarakat memburuk karena pernyataan-pernyataannya yang membingungkannya, bahkan berkali-kali ia berbohong, lalu sahabat-sahabat Gus Dur mengingatkan, “Jangan lupa, Gus Dur kan sufi.” Seolah-olah, karena ia bisa memainkan kesufiannya ketika memerintah lalu kita mesti terus-menerus memaklumi dengan kagum penyelewengan-penyelewengan kekuasaan yang terjadi.

Sumber kekeliruan kedua adalah memposisikan GD sebagai sosok intelektual-moralis an sich secara tegas permanen. Ini kebalikan dari yang pertama. Setiap apapun yang berkaitan dengan Gus Dur - yang baik maupun yang buruk -- maka dikaitkan dengan nilai-nilai luhur moralitas dan intelektualitas. Sebagai aktor politik Gus Dur pun dipahami sebagai bersih dari pretensi-pretensi kotor. Sebegitu hebatnya pengaitan sosok Gus Dur dengan nilai luhur moralitas intelektualitas sehingga para pengeritiknya yang paling argumentatif dan rasional sekalipun kerap diingatkan, “Maksud Gus Dur itu baik, Anda saja yang tidak paham.”

Cara pandang salah kaprah ini tidak saja berjangkit pada kalangan Nadliyyin yang memang memahami Gus Dur sebagai “wali” melainkan pada banyak orang, terlebih-lebih pada kalangan politisi, pejabat dan penguasa. Orang-orang besar yang dihujat ketidakbersihannya oleh masyarakat senang mendekat pada Gus Dur, seolah-olah dengan begitu mereka akan terbersihkan. Seolah-olah dengan menggandeng tangan dan merangkul Gus Dur, maka problem moral yang mereka idap akan sirna lenyap tanpa bekas. Begitulah Soeharto di ujung kekuasaannya; Habibie ketika berkuasa; Mbak Tutut menjelang-selama-setelah Pemilu 1997, Wiranto di ujung Orde Baru hingga akhir kekuasaan Habibie; juga nama-nama lain seperti Soebiyakto Tjakrawerdaya.

Mereka memperlakukan Gus Dur seperti Rinso, sabun pembersih, yang mampu membersihkan kotoran-kotoran moral mereka tanpa dikucek. Mencuci sendiri. Ya. Di atas segalanya, mereka memahami Gus Dur sebagai seorang intelektual-moralis - yang ndilalah punya massa riil yang sangat besar - dan ingin memanfaatkan kharisma intelektualitas-moralitas yang dipancarkan Gus Dur untuk menjadikan mereka bersih, setidaknya menjadikan mereka aman. Tak hanya sampai di situ, seorang pengamat politik yang amat mengagumi Gus Dur, Fachry Ali namanya, pun menafsirkan proses gandengan dan rangkulan itu sebagai bukti kehebatan Gus Dur yang mampu menyerap seluruh energi tokoh lain ke dalam dirinya.

Maka jika O'Rourke - seorang jurnalis dan penulis Amerika - menganggap memberi uang dan kekuasaan kepada pemerintah adalah seperti memberi whisky dan kunci mobil kepada anak remaja; banyak orang yang dengan naif beranggapan bahwa memberi kekuasaan kepada Gus Dur adalah seperti membangunkan mesjid untuk kyai.

Saudara sekalian,

Kita harus melepaskan diri dari dua sumber kekeliruan itu. Kita mesti memposisikan Gus Dur secara proporsional. Belajar dari kepemimpinan Gus Dur dalam Nahdlatul Ulama (NU) dan dalam pemerintahan sekarang ini semestinya membuat kita mafhum bahwa Gus Dur sebetulnya tak kurang dan tak lebih adalah sosok politisi biasa dengan segenap assesori yang dimilikinya. Gus Dur adalah politisi yang berlatar pemikir, budayawan, agamawan, dan humoris (dan ternyata juga wisatawan).

Adalah Gus Dur misalnya yang dengan modal darah biru dan kecerdasannya berpolitik dalam NU menghadapi goyangan KH As'ad Syamsul Arifin. Adalah Gus Dur yang berpolitik meliuk-liuk di antara banyak kyai sepuh dan berpengaruh selama menahkodai NU. Adalah Gus Dur yang berpolitik menggunakan patron-klienisme NU yang kuat berjenjang-jenjang untuk menghadapi dengan gagah rasa permusuhan yang tegas dari Soeharto, presiden yang sangat berkuasa waktu itu. Adalah Gus Dur yang berpolitik dengan cantik memain-mainkan “adik”-nya Megawati sejak Megawati ditarik masuk ke dalam PDI oleh Soerjadi dulu. Adalah Gus Dur yang sekarang selalu memainkan kartu-kartu politiknya dengan dingin ketika mesti memerintah dan menyingkirkan lawan-lawannya.

Gabungan antara sosok utama Gus Dur sebagai politisi dengan latarnya sebagai pemikir-budayawan-agamawan-humoris, melahirkan sekaligus kecerdasan, harapan, dan bahaya.

[Bersambung...]