Halaman 3
Saudara-saudara,

Begitulah penafsiran saya tentang Gus Dur. Sekali lagi, tak lebih dan tak kurang, ia adalah politisi biasa dengan pemilikan assesori yang memang langka: pemikir, budayawan, agamawan, dan humoris.

Memotret perjalanan Gus Dur sebagai politisi, terutama dalam sepuluh bulan terakhir ketika ia menjadi Presiden, memang mengundang rasa khawatir akan nasib masa depan transisi menuju demokrasi di negara kita. Sebagai pengundang rasa khawatir, Gus Dur tak sendirian. Para elite politik utama dalam sistem politik pasca Soeharto dan Habibie ternyata memiliki masalah yang kurang lebih serupa: kegagahan mereka untuk bertarung bagi kepentingan politik jangka pendek luar biasa mengagumkan tetapi konsistensi mereka untuk rajin tekun menjaga agar transisi demokrasi tak melenceng keluar jalur luar biasa mencemaskan. Bahkan Amien Rais yang telanjur dikenali secara salah kaprah sebagai “Bapak Reformasi” - lalu siapa ibu dan anak cucunya? - pun ternyata memiliki stamina konsistensi yang sama mencemaskannya. Semua ini mengkhawatirkan karena jika akhirnya atas “jasa” mereka perjalanan transisi makin tak menentu dan menjauh dari kepentingan kemanusiaan, sangat boleh jadi yang bakan datang - diundang ataupun tidak - untuk menjadi “pahlawan” adalah pemilik senyum (yang antara lain diwakili oleh Akbar Tanjung) atau senjata (baik tentara maupun premanisme politik berbasis massa yang militan).

Saudara-saudara,

Tanpa rasa terpaksa saya memang ingin berbagi banyak kecemasan. Termasuk kecemasan tentang betapa percaya dirinya pemerintahan sekarang - terutama Gus Dur yang memimpinnya - tatkala mereka mengidap begitu banyak persoalan serius. Bukan rasa percaya diri itu yang mencemaskan, melainkan motif-motif yang ada di belakangnya.

Gus Dur begitu percaya diri dengan sumber-sumber berikut ini. Pertama, merasa memiliki legitimasi - yang sebetulnya bisa terjatuh hanya sekadar legitimasi formal prosedural -- yang bersumber pada Pemilu dan Sidang Umum MPR 1999. Pada awal pemerintahan Gus Dur bekerja, legitimasi adalah modal; namun pada saat sekarang legitimasi bisa saja terjatuh untuk menjadi modal percaya diri, atau alasan untuk berbuat salah.

Kedua, aliansi politik elite-strategis, baik yang dibikin di atas meja maupun di bawah meja. Yang di atas meja tentu saja mudah dicerna; misalnya aliansi PKB-PDIP (yang rapuh); namun yang sulit dicerna adalah aliansi di bawah meja seperti aliansi Gus Dur dengan faksi-faksi tertentu dalam tentara.

Ketiga, adanya konstituen politik tradisional yang menyediakan stok militansi massa yang lebih dari sekadar cukup. Sebagai modal percaya diri, ini sangatlah efektif dalam jangka pendek. Fenomena kedatangan ribuan banser NU ke Jakarta selama penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR Agustus 2000 - untuk menghadang upaya penggoyangan kekuasaan Gus Dur -- adalah contohnya yang telanjang.

Yang membuat rasa khawatir patut kita pelihara berkaitan dengan motif-motif percaya diri di atas adalah bahwa rasa percaya diri semacam itu pulalah yang dulu dimiliki Soeharto dan penguasa Orde Baru lainnya. Selain itu, rasa percaya diri dengan motif-motif semacam itu alih-alih bisa mendatangkan rasa “peka”, justru bisa menjadi sumber dari penyakit “pekak”.

Lalu saudara sekalian,

Mestikah kita mengganti pemerintahan sekarang dengan menjatuhkan Gus Dur sekarang? Jawabannya adalah: Tidak! Izinkan saya membuat analogi tingkat-tingkat hukum dalam agama Islam untuk menjelaskan jawaban saya.

Menurut saya, menjatuhkan Gus Dur sekarang adalah makruh, sesuatu yang sebaiknya tidak kita lakukan. Menjatuhkan Gus Dur hanya akan mendatangkan banyak persoalan baru tanpa kepastian pemecahan soal-soal lama. Dengan atau tanpa Gus Dur modal sosial kita untuk demokrasi tidak mengalami perubahan atau perbaikan berarti. Selain itu, kita tidak memiliki alternatif kepemimpinan yang memang benar-benar menjanjikan. Menjatuhkan Gus Dur sekarang adalah makruh karena perbuatan ini tidak menjanjikan manfaat yang pasti sambil menawarkan secara jelas banyak sekali maslahat. Dalam bahasa ilmu sosial: Kita mesti menghindari melakukan perbuatan itu sekarang karena akan memaksimalkan korban kemanusiaan dalam transisi yang sedang kia jalani.

Tapi, sebagaimana bisa dianalogikan dengan banyak perbuatan dalam kacamata hukum Islam, menjatuhkan Gus Dur secara umum bisa saja berubah menjadi perbuatan yang mubah, boleh-boleh saja. Yakni, tatkala Gus Dur dan pemerintahannya terus-menerus melarikan diri dari kewajiban asasinya untuk menyelesaikan banyak soal; tatkala Gus Dur dan pemerintahannya berlaku eskapis, melarikan diri dari tugasnya. (Jangan lupa, sekarang ini, berkembang sikap salah kaprah bahwa tidak berbuat sesuatu adalah lebih baik ketimbang keliru berbuat. Celakanya, sikap ini berjangkit di kalangan pemimpin).

Menjatuhkan Gus Dur juga bisa berubah menjadi sunnat , sangat dianjurkan, terutama manakala korban kemanusiaan semakin besar jumlah dan kualitasnya sementara arah transisi tak juga jelas.  Saya berdoa mudah-mudahan menjatuhkan Gus Dur tidak menjadi perbuatan yang wajib, harus dilakukan, karena Gus Dur dan pemerintahannya berusaha secara tegas membentuk dan melanggengkan sistem yang menindas kemanusiaan secara terang-terangan atau diam-diam.

Catatan penting yang mesti kita bubuhkan dalam perkara “menjatuhkan Gus Dur” ini adalah bagaimanapun siatuasinya, kita wajib menghindari cara-cara premanisme yang bekerja di luar aturan main atau konstitusi, meminimalkan korban kemanusiaan, serta melandaskan diri pada tujuan-tujuan transisi demokrasi yang teruji. Dengan kata lain: Jangan sampai kita tambahi preseden politik buruk ke tengah kita sementara kita sudah memilikinya begitu banyak.

Catatan lain yang penting adalah: Jangan memulai sebuah eksperimen jatuh bangunnya pemerintahan, sebagaimana terjadi di masa Demokrasi Parlementer 1940-an dan 1950-an, dalam gaya kanak-kanak. Di masa parlementer, jatuh bangunnya kabinet mesti diberi kerangka permakluman yang pantas karena berjalan di awal ekperimentasi politik kemerdekaan, bekerja bersamaan dengan eksperimen model parlementer tahap awal, di tengah kemiskinan modal politik bagi stabilitas politik berjangka panjang. Sekarang, jika kita mengulang eksperimen jatuh bangun pemerintahan semacam itu, kita akan menjadi bangsa yang punya peluang sejarah transisi dan konsolidasi demokrasi (dalam dua atau tiga dekade ke depan) tetapi menyiakan-nyiakan peluang itu untuk melayani syahwat kekuasaan jangka pendek.

Saudara-saudara,

Menimbang Gus Dur bukanlah akhir. Menimbang Gus Dur adalah awal-pembuka bagi pembentukan kewaspadaan kita terhadap bahaya-bahaya gagalnya transisi demokrasi di negeri kita. Cukuplah sudah saya mendiskusikan Gus Dur dalam posisinya yang proporsional, lalu saya ingin menjadikan pembahasan itu sebagai jalan masuk pada ajakan untuk awas-waspada.

Awas-waspada bahwa masa depan demokrasi di negeri ini bisa terancam oleh sejumlah soal berikut ini. (1) Kita dengan gagah merasa sedang menjalani perubahan tetapi tanpa pernah merumuskan secara tuntas paradigma yang kita pakai. (2) Pemerintahan tampaknya potensial mengalami disorientsi; nyasab kata orang Sunda atau keder kata orang Betawi. (3) Konsolidasi sistem kepartaian dan perwakilan politik kita terancam gagal. (4) Negosiasi-negosiasi elite politik lebih banyak berciri dagang sapi semata dan melupakan pentingnya membikin konsensus paradigmatis untuk transisi demokrasi sebagai kebutuhan yang sangat mendasar. (Poros Tengah adalah contoh terbaiknya di samping banyak contoh lain). (5) Masih terbukanya ancaman kembalinya tentara ke dalam politik, tidak dalam waktu dekat tetapi satu atau dua dekade ke depan. (6) Kegagalan kita dalam jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan krisis disintegrasi. (7) Potensial terpisah kembalinya ruang yang didiami elite dengan ruang yang ditempati massa.

Sementara itu, pada tataran kebudayaan, kita sepatutnya bersedih karena terlalu banyak orang - tak terkecuali para elite di eksekutif dan legislatif - yang sudah terbiasa untuk “tak mau berpikir keras”. Lalu, ada juga penyakit “pudarnya daya ingat kolektif tentang menyakitkannya otoritarianisme dan kekuasaan yang tanpa kontrol”; serta kuatnya memori kolektif untuk mengingat kebesaran semu sekaligus lemahnya memori kolektif untuk mengingat kegagalan dan dosa masa lalu.

[Bersambung...]