Halaman 4

Saudara-saudara,

Sebagai penutup, ada baiknya saya bacakan satu-satunya kolom yang berhasil saya tulis selama bermukim-sementara selama lima bulan di Columbus, Ohio, Amerika Serikat. Berjudul “Menikmati Kekanak-kanakan,” kolom ini saya tulis pada Sabtu, 22 April 2000.

"Di satu sudut kecil kampus Ohio State University di bawah rintik hujan di tengah alam Columbus yang sedang berbenah keras menyambut musim semi, saya berbincang dengan salah seorang kawan Korea saya. Kami bicara tanpa tema dan arah sampai kemudian tanpa ragu ia berkata: Satu-satunya cara yang layak untuk menghormati para politisi adalah mencetak gambar wajah mereka di kertas toilet. “Dan saya,” katanya kemudian, “dengan senang dan riang menggunakannya setiap saat.”

Sebagai pembaca buku-buku teks pengantar ilmu politik selayaknya saya tak terkejut. Kawan Korea itu hanyalah wakil dari khalayak lebih luas yang -- menurut buku-buku teks -- cenderung mempersepsikan segala soal berkait dengan politik sebagai memuakkan. Tapi, nyatanya saya terkejut. Saya pikir, bagaimana mungkin di bawah pemerintahan yang relatif demokratis-nya Kim Dae Jung, setelah melewati masa peralihan yang relatif berhasil dari era Roh Tae Woo ke Kim Jong Sam, ada seorang Korea yang masih mempersepsikan politik dan politisi sebegitu buruk.

Tapi tahulah saya kemudian. Di balik ide gila mencetak wajah para politisi di kertas toilet, tersembunyi luka-luka dan trauma seorang Korea. Seorang yang dipaksa terus-menerus menyaksikan pemerintahan yang kanak-kanak dalam waktu yang sangat panjang. Seorang yang dipaksa menonton pemerintahnya, terutama di masa kekuasaan tentara, hampir selalu melakukan hal-hal yang tak layak dilakukan dan di saat sama tidak melakukan hal-hal yang sepatutnya mereka lakukan. Seorang Korea yang dipaksa menjadi saksi hidup dari tingkah polah pemerintah yang kanak-kanak dan kerapkali menjengkelkan lantaran melakukan sesuatu secara sia-sia tanpa kesungguhan.

Dan saya pun jadi teringat Pasar Rebo. Sekitar sebulan sebelum berangkat ke Columbus, dengan masygul saya menyaksikan bekas-bekas pembakaran kios-kios di pinggiran perempatan Pasar Rebo. Pemda DKI Jakarta di bawah Sutiyoso konon sedang melakukan penertiban. Bukan pembakaran itu benar yang membuat masygul tapi apa yang bekerja di baliknya. Di seluruh sisi perempatan yang yang ramai karena keluar masuk kendaraan dari dan ke terminal Kampung Rambutan itu, kios-kios dibakari meninggalkan puing hitam yang kotor. Tapi, hanya sekitar seminggu setelahnya kios-kios kembali bermunculan dan keruwetan kembali persis seperti sedia kala. Ya, dibalik pembakaran itu yang bekerja adalah kesia-siaan dan ketidaksungguhan. Pemerintah yang maunya menunjukkan kegagahan malah membuat parade kekanak-kanakan.

Dan celakanya, sebagaimana halnya kawan Korea saya, saya dipaksa untuk terus-menerus bertemu dengan pemerintahan seperti itu. Kasus Pasar Rebo tidak sendirian. Saya dengar waktu itu, hal serupa terjadi secara bersamaan di banyak tempat di Jakarta. Kasus itu juga bukan yang pertama. Selama lebih dari empat dekade, kekanak-kanakan, kesia-siaan, dan ketiadaan kesungguhan kerap melekat sebagai tabiat yang diidap pemerintah. Maka kasus Pasar Rebo itu bisa kita pahami sebagai replika cara kerja pemerintahan kita selama ini.

Ada beberapa pola kerja sebuah pemerintahan yang kanak-kanak. Mereka biasanya tidak suka masuk ke akar masalah melainkan melarikan diri darinya sambil memahami masalah dari kulitnya yang permukaan. Mereka biasanya senang mengurus soal-soal baru untuk menimbun soal lama; dan begitulah seterusnya sehingga sejatinya hampir tak ada soal yang mereka pecahkan. Mereka senang mempertontonkan kegagahan, misalnya dengan bertindak tegas, tapi secara vulgar membatalkan kegagahannya sendiri dengan ketidakkonsistenan dan ketiadaan kesungguhan.

Mereka senang mengumbar pidato dan pernyataan penuh bunga dan kuah tapi sejatinya di belakangnya bekerja sistem pemerintahan yang tak tertata. Biasanya mereka merasa cerdas tatkala banyak orang dibikin bingung dan tak bisa berkutik. Mereka banyak membelanjakan waktunya untuk merekayasa seolah-olah segala soal adalah mudah, untuk menutup-nutupi fakta bahwa mereka tak sanggup mengatasi soal-soal besar. Mereka percaya diri dengan kuatnya kekuasaan mereka, tapi bukan untuk membuat pemerintahannya efektif melainkan untuk membunuh lawan-lawan politik. Mereka tersenyum -- atau guyon dan tertawa -- terus, tapi abai pada banyak kesedihan yang menjadi abadi karena ketidakbecusan mereka mengatasi sumber-sumber kesedihan itu.

Begitulah kurang lebih saya memahami salah satu kelemahan mendasar Orde Baru di bawah Soeharto. Dan pemerintahan setelahnya - tak terkecuali di bawah Abdurrahman Wahid sekarang - mungkin, bahkan sangat mudah, untuk melanjutkannya.

Dan boleh jadi benarlah yang ditulis Vera Britain, seorang penulis Inggris yang hidup antara 1893-1970, dalam Rebel Passion (1964). Ia bilang, politik selalu merupakan ekspresi ketidakdewasaan penguasa. Bahkan salah seorang penulis dan jurnalis Amerika yang penuh humor, P.J. O'Rourke, memiliki sinisme yang lebih keras. Kurang lebih ia menulis dalam bukunya Parliament of Whores (1991), “Giving money and power to government is like giving whisky and car keys to teenage boys.” (Memberi uang dan kekuasaan kepada pemerintah adalah seperti memberi whisky dan kunci mobil kepada anak remaja).

Saya, jelas, tak punya sinisme setajam itu. Bagaimanapun, saya masih percaya unsur-unsur baik dari pemerintahan. Tetapi tak ada alasan bagi kita untuk percaya sepenuhnya bahwa pemerintahan sekarang -- yang bekerja sambil mengutip jargon-jargon reformasi atau demokratisasi -- secara serta merta akan menjadi dewasa. Tampaknya, cukup banyak indikasi bahwa mereka - pemerintahan sekarang -tertarik untuk mencoba kembali beberapa tingkah polah kekanak-kanakan sebagaimana dipraktikkan dengan penuh gelimang kenikmatan oleh pendahulunya.

Karena itu, ada baiknya juga membiarkan Presiden Abdurrahman Wahid sering-sering datang ke pertunjukan Srimulat atau Ketoprak humor. Memang di situlah barangkali ia bakal menemukan cermin yang tepat. Tapi sebaiknya sesekali kawan Korea saya itu diajak serta."

Akhirulkalam, saya tak punya niat melihat segala sesuatu tentang kita dengan buruk dan penuh syak wasangka. Saya hanya ingin mengajak Anda membaca medan perjuangan dengan seksama. Saya tak ingin menularkan pesimisme melainkan mengingatkan betapa pentingnya mengumpulkan energi dan kesetiaan pada tujuan-tujuan besar kemanusiaan. Jadi segala hal yang seolah-olah pesimistik yang saya utarakan sejatinya adalah peringatan bagi diri sendiri dan Anda - jika ikhlas diingatkan - bahwa tak ada proses perubahan yang terlalu cepat, mudah, dan pasti. Kita mesti tetap setia pada tujuan-tujuan besar dari perubahan namun dengan kesabaran memperjuangkan segala hasilnya. Dulu, orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) menyebutnya sebagai sebuah “kesabaran revolusioner”.

Begitulah dan demikianlah. Terima kasih atas pengorbanan waktu dan energi Anda untuk mendengar dan mudah-mudahan memikirkan pikiran-pikiran sederhana saya.


Depok, 20 Agustus 2000

Orasi politik disampaikan dalam acara “Suara Agustus”,
di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta,
Minggu malam, 20 Agustus 2000.