APRESIASI

Siklus Sang Selebriti
Oleh Hamid Basyaib

Eep Saefulloh Fatah (betul, kolumnis rajin dan pintar itu) berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Ohio. Dia akan menjadi “santri” entah yang ke berapa belas dari “Kiai” William Liddle. Selama satu bulan sebelum keberangkatannya, lingkaran luas kawan-kawannya mengadakan sejumlah acara perpisahan.  Dua di antaranya dibarengi peluncuran buku kumpulan tulisannya. Di Bandung, para teman-pengagumnya menggelar pementasan musik untuk Eep. Di Depok, markas Bengkel Teater menggelar Bip Bop, teater “minikata” yang dipentaskan pada 1968 di TIM (dan naskahnya tampaknya dibuat Rendra sebelum Eep lahir). Ceritanya tentang penguasa zalim yang dijatuhkan oleh tokoh pembebas, yang kemudian juga menjadi penguasa zalim. Mengutip Peter Worsley, Eep mengapresiasi drama itu sebagai “siklus otoritarianisme”.

Begitu banyak yang menyampaikan kata sambutan di Bengkel Rendra itu. Begitu  besar harapan dibebankan ke pundak Eep yang kecil. Ada pengusaha perikanan yang meminta Eep, sepulangnya dari “menuntut ilmu yang lebih tinggi di Amerika nanti,” turut memikirkan ihwal laut kita. Bukankah Indonesia adalah negeri maritim, sementara begitu banyak masalah yang berkecamuk di dalamnya? Kelompok-kelompok nelayan kita di sejumlah daerah terlibat konflik berdarah. Eep tentu harus memikirkan masalah ini. Seorang novelis yang sudah lama tak berkarya menyempatkan diri menulis puisi khusus buat Eep. Seorang komposer melantunkan lagu spesial buat Eep, tanpa iringan alat musik. Eep diharap, oleh seorang koreografer ternama yang teramat kehilangan, untuk terus “mengunjungi kita dengan tulisan-tulisannya” dari tempat barunya.

Seorang kiai menyampaikan pesan dan peringatan yang panjang sekali tentang adab dan filsafat menuntut ilmu, mengajak hadirin koor berdoa; kembali menyampaikan uraian religio-filosofis, berdoa sekali lagi dengan rumusan berbeda, sebelum menutupnya dengan mengajak seluruh hadirin merapal Al-Fatihah. Ada yang khawatir Eep bakal terkena “pengaruh Amerika” dengan belajar di sana. Ada yang mengaku pertama kali melihat Eep saat dia tampil sebagai penanya dalam debat calon presiden di layar TV; ia dan teman-temannya sepakat bahwa yang lebih pantas jadi presiden bukanlah para calon yang berdebat itu, melainkan Eep sendiri. Hadirin bertepuk tangan.

Aci, isteri Eep, menceritakan banyaknya pro-kontra di seputar kepergian suaminya. Ada yang menganggapnya wajar, sebab Eep memang harus memperdalam ilmunya. Ada yang cenderung menggugat, kenapa Eep harus pergi ke luar negeri sekarang, “di saat negeri kita sangat membutuhkan pemikiran-pemikiran Eep.” Kelihatannya Indonesia bakal hancur-lebur berkeping-keping, persis pagi setelah Eep pergi.

Sambil berpesan supaya Eep tidak shocked di Amerika nanti, Setiawan Djodi berjanji akan sering mengunjunginya, “satu bulan atau tiga bulan sekali,” karena sekalian menyampaikan “paper-paper” kepada profesornya untuk program studi yang dia ikuti. Sembari mampir, tentu saja, pengusaha itu “sangat mengharapkan kritik dan masukan-masukan dari Bung Eep”, orang yang baru-baru ini mewawancarainya dalam satu acara serempak di tiga stasiun TV. Ada beberapa orang lagi yang menyampaikan harapan, termasuk seorang pemimpin pengajian ibu-ibu di sebuah daerah. Dia meminta Eep supaya memikirkan mereka “yang berada di front belakang (dapur rumah tangga).” Hendaknya Eep juga memberitahu ibu-ibu bagaimana caranya melahirkan anak-anak sehebat dia.

Betapa beratnya beban Eep, dan betapa merisaukannya gejala ini dilihat dari sudut perkembangan budaya dan penguatan individu, hal yang diprogramkan Eep sendiri. Begitu banyak orang menyanjungnya, sambil menolak inti saran yang tersirat di hampir semua tulisannya. Dia sendiri sering mengeluhkan hal ini, meski tampaknya belum melihatnya sebagai kontradiksi yang ironis.

Di banyak daerah yang dikunjunginya untuk berceramah atau berdiskusi, katanya, orang bukan menyimak uraiannya. Mereka mengerumuninya, minta tanda tangan, lalu minta berfoto bersama. “Ini pelecehan terhadap saya,” kata Eep, tersenyum. “Mereka bukan memperlakukan saya sebagai pakar atau ilmuwan, tapi sebagai artis.” Luar biasa, masa satu setengah tahun telah mengubahnya menjadi pesohor yang amat mashur di seantero negeri. Publik rupanya menyukai pemuda kasep yang sering muncul di layar TV ini menyampaikan pikirannya dalam ungkapan-ungkapan yang fasih, cerdas, tajam dan sopan.  Mereka membaca ratusan kolomnya, yang kemudian terbit dalam 6-7 buku. Seusai dia berceramah di kampung kelahirannya, lima fraksi DPRD memintanya menjadi bupati. Mereka yakin, seorang yang mahir menganalisis situasi politik pasti efektif sebagai kepala daerah. Dan mereka bangga karena Eep berasal dari kecamatan termiskin di kabupatennya.

Semua orang tampak sepakat belaka bahwa Eep adalah penulis dan analis politik hebat yang masih muda belia. Padahal mereka tahu Eep kini memasuki 33, suatu usia yang tidak bisa dibilang sangat muda, apalagi dengan tingkat ketakjuban seolah ia berumur 11.  Begitu mudah orang lupa bahwa founding fathers kita bergiat dalam usia awal 20an. Bukankah para aktivis mahasiswa di tahun 60an pun semuanya di bawah 30, termasuk mereka yang giat menulis? Anda bisa memperpanjang daftar ini dengan banyak orang seperti itu di berbagai bidang, pada beberapa babak sejarah Indonesia. Dan melihat dengan teropong dari Barat, para profesor awal 30an di sana tentu terheran-heran akan maraknya pengaguman yang menyedihkan ini.

Salah satu program yang diperjuangkan Eep adalah memperkuat individu. Sampai batas tertentu dia sendiri merupakan contohnya. Dia mengaku, dia terus menulis tanpa peduli penilaian orang akan mutunya. Inilah salah satu resep mengapa produktivitasnya begitu tinggi: dia berani tampil dengan segenap individualitasnya. Kritiknya tepat atas predikat “Bapak Reformasi” yang dilekatkan pada Amien Rais. Reformasi, menurut Eep, justeru mau mengikis “bapak-bapakan” semacam itu. Kalau Amien Rais sendiri justeru dijadikan “Bapak”, itu penggerogotan terhadap semangat reformasi.

Sekarang, ia mendakwahkan otentisitas individu, dan orang mengikutinya dengan melawan ajakannya. Mereka menyanjung-nyanjungnya, sambil membebankan sepuluh kerja raksasa dan seratus harapan muluk kepadanya, bukan mengupayakannya sendiri sebagai individu yang percaya-diri dan bertanggung jawab. Eep Saefulloh Fatah, dalam skalanya sendiri, telah menjadi “Bapak” baru. Perlukah dia meminjam Peter Worsley sekali lagi? Dia boleh melengkapinya dengan mengutip bukunya sendiri, Bangsa Saya yang Menyebalkan.

Eep agaknya samar-samar melihat keganjilan ini. Dia jengkel “diperlakukan seperti selebriti,” lalu buru-buru pergi ke Ohio. Yang kurang dia lakukan, demi kesuksesan programnya, adalah mendekonstruksi dirinya.

Saya mengidap kekhawatiran tambahan. Jangan-jangan, setelah sekian tahun belajar di AS, dia kehilangan spontanitas dan keberaniannya menulis. Kita sudah banyak mendapati gejala yang mencolok ini: mereka yang semula produktif, setelah meraih Ph.D justeru terlalu hati-hati menulis, dan kelewat kering tulisannya, rupanya karena dikepung ketat oleh teori-teori baku. Seperti kata seorang kawan yang mengalami dan mengakui hal ini, Eep bisa takut karena tahu lebih banyak. Dari keraguan tentu sulit diharapkan lahirnya buku utuh yang berisi paparan ide-idenya secara komprehensif dan bulat --  hal yang belum dilakukannya.

Sambil iri pada Eep, saya ucapkan selamat bermeditasi di luar Indonesia.

Penulis adalah peneliti di Yayasan Aksara