RESENSI

Kompas, Minggu, 30 Agustus 1998
Beberapa Catatan atas Runtuhnya Politik Orde Baru

Eep Saefulloh Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, (Penerbit: PT Pustaka Pelajar Yogyakarta: 1998), lxi + 312 halaman.

PERTARUNGAN politik antara sesama elite Golongan Karya dalam musyawarah nasional luar biasa yang lalu, makin menyadarkan kita betapa buruk dan "kotornya" kinerja partai pemerintah Orde Baru itu. Hampir tidak tampak integritas, kejujuran, moralitas, dan kepekaan sosial terhadap penderitaan rakyat yang kini sedang terjadi di balik pertarungan mereka.
Soal kejujuran, demokrasi, kedaulatan rakyat, hati nurani, keadilan sosial selama ini melekat menjadi ciri khas slogan-slogan mereka dalam setiap kampanye. Itu tidak lebih dari upaya penyelamatan vested interest pribadi yang selama ini menjadi fondasi dasar sekaligus penyebab gagalnya pemerintahan Orde Baru.

Keruntuhan Orde Baru bukan sekadar kegagalan Soeharto mempertahankan kekuasaan atas dasar koalisi ABRI, pemerintah dan Golkar. Lebih mendasar lagi Orde Baru hancur karena membiarkan berlangsungnya beragam penindasan manusia oleh sesamanya sehingga persis di titik kulminasi keruntuhannya menyisakan persoalan moral, etika, yang amat memalukan.

Munculnya beragam demo dan tuntutan pembebasan atas berbagai tekanan yang mengekang rakyat dapat dibaca sebagai bukti nyata, rakyat mengalami akumulasi kelelahan, yang dipakai pihak-pihak untuk mempertebal kantung-kantung pejabat, menyuburkan keserakahan yang pada akhirnya menghisap darah rakyat sebagai korban kebijakan pemerintah Orde Baru.

Sudah diketahui secara luas, rezim Orde Baru identik dengan rezim yang suka mempertahankan status quo. Rezim yang dibangun atas dasar fondasi utama yakni stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Bermacam cara dipakai pemerintah untuk melumpuhkan lawan politiknya - dengan penculikan, penghilangan orang, penerapan undang-undang subversif - sehingga stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi tetap melekat dengan identitas Orde Baru.

Pada awalnya, pilar itu menghasilkan pembangunan yang cemerlang, namun daya tahan yang dibangun pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi ternyata amat rapuh dan rentan menghadapi krisis moneter terakhir ini. Maka pada gilirannya kebangkrutan ekonomi menjadi penegasan terjadinya kebangkrutan politik, karena krisis rupiah, krisis moneter, dan krisis ekonomi telah bermetamorfosis menjadi krisis politik.

***

PENYAKIT-penyakit yang menyebabkan runtuhnya Orde Baru yang dibahas dalam buku ini sedikitnya ada lima.

Pertama, ketika kurs rupiah mencapai angka di atas Rp 4.000 per dollar AS, penjelasan-penjelasan ekonomi telah menjadi tidak relevan lagi. Kurs itu tidak lagi memperlihatkan problem ekonomi melainkan menegaskan adanya kompleksitas politik di balik krisis moneter.

Kedua, krisis ekonomi yang makin parah dan berlarut-larut memberi penegasan, konstalasi negara mengenai fundamental ekonomi kita kuat, ternyata lebih merupakan semacam manipulasi data atau upaya membohongi diri. Terbukti ketika badai krisis moneter menerpa situasi perekonomian nasional, dengan cepat menjadi kacau-balau. Makin dipahami, buruknya kondisi ekonomi nasional telah disangga dengan sangat baik oleh distingsi politik. Pada titik ini kebangkrutan ekonomi diberi konteks dengan kebangkrutan politik.

Ketiga, krisis ekonomi Indonesia menjadi sangat berlarut-larut berkaitan adanya krisis kepercayaan yang akut terhadap kekuasaan. Krisis moneter memberi indikasi, operasi kekuasaan selama ini terlampau personal, sehingga dengan mudah terjebak pada karakter antipublik, nepotis, serta menjadi lahan yang subur bagi korupsi, kolusi, dan manipulasi.

Keempat, dalam konteks hubungan patrimonialistik dengan kekuasaan personal, dunia ekonomi, dan bisnis kita memiliki karakter yang tidak nasionalistis. Tidak tumbuhnya nasionalisme merupakan bentuk amat serius bagi gagalnya politik Orde Baru.

Kelima, krisis rupiah, moneter yang melanda Indonesia menegaskan secara hampir tak terbantah kekeliruan strategi politik orde baru.

***

SECARA umum buku ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama membahas politik organisasi massa dan partai, didiskusikan persoalan-persoalan yang dimiliki lembaga swadaya masyarakat dan partai politik orde baru. Bagian ini mengedepankan gugatan atas kakunya sistem politik yang mewadahi partisipasi politik masyarakat, dan tuntutan agar model partisipasi dan sistem kepartaian direformasi ke arah yang lebih responsif, akomodatif, dan demokratis.

Bagian kedua mengedepankan gagasan mengenai problem-problem yang diidap praktek pemilu-pemilu serta perwakilan Orde Baru.

Bagian ketiga mengedepankan persoalan militer yang merupakan fakta tak terbantahkan bahwa militer merupakan variabel sangat penting dalam sistem politik Indonesia saat ini.

Bagian keempat membahas persoalan-persoalan yang melekat pada birokrasi, terutama terlampau besarnya kontrol birokratis, inefisiensi, kolusi, dan korupsi.

Dan bagian kelima membicarakan kebutuhan masa depan yang amat penting dalam kerangka demokratisasi. Dibahas juga mengenai suksesi kepemimpinan nasional, repolitisasi rakyat, peningkatan peran umat Islam, pemberdayaan politik perempuan, dan perubahan-perubahan politik yang mesti diupayakan.

Buku ini menjadi sumbangan yang amat berarti dan relevan untuk membuka wacana diskusi perpolitikan nasional di tengah arus reformasi yang tengah bergulir.

(Br Paulus Mujiran, FIC, peresensi, tinggal di Semarang)