RESENSI

Forum Keadilan, Rehal - Edisi Tahun VIII No. 50 - 26 Maret 2000
Provokasi dari Candi Cetho

Eep Saefulloh Fatah, Provokasi Awal Abad: Membangun Panca Daya Merebut Kembali Kemanusiaan. (PT Remaja Rosdakarya, Bandung, Februari 2000, XV + 91 hlm).

Eep menyebut lima hal sebagai aset utama bangsa. Sebuah diskusi yang harus berlanjut, baik berupa diskusi lainnya maupun tindakan konkret.

Banyak hal menarik dari Eep Saefulloh Fatah. Pertama, ia lahir dan besar di Cibarusah, Jawa Barat, kawasan yang dianggap udik oleh orang-orang Priangan--setidaknya oleh orang Bandung. Kedua, ia anak seorang guru, yang selepas kemerdekaan tak lagi jadi simbol intelektual, tapi simbol kemiskinan dan kemandekan. Sementara, dalam usia terbilang muda, Eep justru melesat ke pentas nasional menjadi "intelektual" yang nyaris komplet. Ia tak hanya mengajar, tapi juga aktif menulis kolom, menjadi pewawancara di televisi, dan berdiskusi dengan berbagai kalangan. Termasuk, kalangan kesenian.

Lebih dari itu, sebagai penulis, Eep terbilang komunikatif. Bahasanya ringan, bahkan indah, tanpa mengurangi kedalaman analisis dan pikiran-pikirannya. Itu keistimewaan Eep dibandingkan dengan intelektual lainnya, yang kerap tak bisa lepas dari "keseriusan" sebuah wacana ilmiah. Maka, ketika Februari silam ia meluncurkan Provokasi Awal Abad, brosur kecil laporan diskusi kebudayaan awal tahun, sekaligus awal abad, yang berlangsung di Candi Cetho, Jawa Tengah, kita pun layak penasaran. Adakah "buku" itu menyajikan sesuatu yang khas Eep dan sejauh mana relevansinya bagi kita?

Kedua hal itu, warna Eep dan relevansi, memang tersaji. Bahkan, sebagai "provokator", Eep pun cukup sukses. Itu terbukti dari sejumlah tanggapan dan pertanyaan lanjutan dari peserta diskusi. Misalnya, Romdon, yang balik memprovokasi Eep untuk kembali menguak "hegemoni kebudayaan Jawa" dan menagih resep praksis Eep di bidang pendidikan. "Pendidikan sangat penting peranannya dalam perubahan. Dalam kerangka itu, saya ingin bertanya, kira-kira pendidikan dalam format seperti apakah yang bisa menyiapkan berbagai perangkat bagi perubahan," kata Romdon (hlm. 48-49).

Menjawab soal pendidikan itu, Eep memaparkan pengalaman pribadinya yang kecewa dengan sekolah konvensional dan setuju dengan model pendidikan alternatif yang juga diikuti anaknya. Di bagian itu, ia menyoroti praktek pendidikan selama ini sebagai proses rezimentasi dan penyeragaman. Ujung-ujungnya, sebagai bangsa, kita pun jadi bebal sekaligus lembam. Daya hidup kreatif sirna, dan ketika "kebebasan" tiba, yang muncul adalah anarki sekaligus tragedi kemanusiaan yang paling banal.

Sebenarnya, resep dan analisis yang disodorkan Eep terbilang klise. Paradigma negara yang ditawarkannya, misalnya, sudah lama diteriakkan dan dipraktekkan kalangan LSM. Namun, apa yang disampaikannya itu tetap aktual. Kendati sudah "berabad-abad" dibahas, apa yang disampaikannya itu sampai kini belum juga bisa terlaksana secara sempurna. Misalnya, pengelolaan atas lima aset utama bangsa: spiritualitas, sejarah, kemajemukan, hati nurani, dan anak muda. "Abad ke-21 mesti kita rebut kembali sebagai lahan perubahan bagi pemerdekaan kemanusiaan. Jalan kita adalah membangun kembali lima aset itu, sehingga menjadi panca daya," kata Eep dalam pidatonya di awal diskusi itu (hlm. 17).

Walhasil, provokasi itu layak dibaca. Selain mengingatkan kembali pada agenda perubahan yang, dalam banyak hal, kerap terlupakan, ia juga memberi sejumlah arah. Khususnya perkara pendidikan, hal strategis yang nyaris sirna dari wacana reformasi selama ini. Padahal, seperti diisyaratkan Eep, lewat sektor itulah watak massa bangsa kita bisa diubah jadi bangsa warga negara, jadi manusia yang otonom.

Maman Gantra