RESENSI

Kompas, Senin, 23 Agustus 1999
Selamat Datang Oposisi

TINJAUAN BUKU
Judul Buku: Membangun Oposisi: Agenda-agenda Perubahan Politik Masa Depan; Penulis: Eep Saefulloh Fatah; Penerbit: Rosda Bandung, 1999; Tebal: xxviii + 216 halaman.


SEJARAH Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang berisi kisah menyedihkan tentang gerakan oposisi. Prasyarat sistemik maupun kultural bagi gerakan oposisi sudah terbabat hampir habis oleh penguasa yang tak mau diganggu gugat. Membangun oposisi di Indonesia ternyata merupakan pekerjaan berat yang banyak menguras energi, dan tentu membutuhkan ketekunan serta keuletan.

Buku Eep Saefulloh Fatah ini mengelaborasi agenda-agenda pembangunan oposisi yang permanen dan solid. Pembahasannya diletakkan dalam konteks rekonsolidasi otoritarianisme yang menggejala pascakejatuhan Soeharto. Tak ada pilihan lain bagi bangsa agar selamat melewati masa transisi menuju demokrasi, kecuali harus mentradisikan oposisi, baik dalam pemerintahan, parlemen maupun gerakan ekstraparlementer.

Sejarah awalnya berjalan di jalur yang tepat menuju pembentukan oposisi. Indonesia, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, memasuki demokrasi liberal. Sistem multipartai dan eksperimentasi demokrasi parlementer menghasilkan kultur politik yang demokratis. Kedua sistem itu, sekalipun diinterupsi oleh heroisme revolusi fisik 1945-1949, dalam catatan Eep memberi peluang adanya kompetisi politik dan sirkulasi kekuasaan.

Kehidupan politik ketika awal-awal Republik ini memang ditandai perbedaan tajam antarkelompok. Namun, tidak ada tendensi peniadaan oposisi maupun penindasan terhadap kaum oposan. Oposisi dirasa sebagai hal yang wajar saja, bukan barang aneh atau istimewa, serta tidak dianggap sebagai pengganjal bagi penguasa.
Ketika itu berbagai kekuatan politik siap mental menjadi pemenang tetapi juga sekaligus pecundang yang baik. Toleransi lintas kelompok, ideologi dan kepentingan merupakan perangkat kultural yang dibangun demokrasi liberal. Sistem inilah yang membuat Pemilu 1955 berlangsung bersih, elegan.

Menurut Eep, gerhana politik baru muncul tahun 1957. Presiden Soekarno dan Angkatan Darat (AD) mulai agresif menjalankan strategi antipartai. Mereka bersekutu untuk menyudahi eksperimen demokrasi liberal berbasis partai politik.

Periode 1957-1959 ditandai sistem kekuasaan berlanggam sentralistik. Soekarno, dengan dalih 'revolusi belum usai', memberangus semua kekuatan yang dianggap 'kontra revolusi'. Perangkat kultural sistemik kaum oposan dihancurkan. Fase ini, menurut Eep-menyitir Herbert Feith-adalah "The decline of constitutional democracy".

***

DEMOKRASI Terpimpin dicatat Eep sebagai periode musim kering kehidupan oposisi. Karakter kekuasaannya yang eksklusif dan antipublik menyebabkan setiap potensi oposisi mengalami kebinasaan.

Tahun 1966 Bung Karno jatuh. Tidak ada diskontinuitas ketika Angkatan Darat di bawah Soeharto mulai berkuasa pada 1966. Yang terjadi hanyalah musim semi kebebasan amat pendek (1966-1974). Indonesia lalu terperangkap rezimentasi Orde Baru yang mematikan demokrasi dengan wacana oposisi loyal. Soeharto hanya memperbolehkan oposisi yang loyal!

Kekuasaan Orde Baru yang sentralistik dan personal-sebagaimana hukum besi otoritarianisme di mana pun- mengalami sakralisasi. Dalam konteks operasi kekuasaan yang tidak bisa disalahkan itulah, gerakan oposisi pada zaman Orde Baru telah 'meninggal dengan tenang'. Begitulah Eep menangkap proses pelan-pelan yang dialami oposisi sampai akhirnya mati.

***

INDONESIA pasca-Soeharto, memang memasuki fase kehidupan politik dramatis. Namun, belum terjadi pembalikan radikal pelbagai aspek mendasar kehidupan politik. Dalam pandangan Eep, yang tampak hanyalah: redefinisi hak-hak politik rakyat, ledakan partisipasi politik, surplus percaya diri pada publik, delegitimasi pemerintahan Habibie, dan fragmentasi ideologi.

Ketidakpastian politik berkembang biak. Timbul ketidaktertataan pemerintahan (ungovernability). Otonomi negara digeser otonomi massa. Kekerasan politik dan politik kekerasan marak akibat ketidaksiapan hampir semua kekuatan politik untuk bermain secara sehat dan dewasa. Sumber-sumber kekhawatiran tersedia lebih banyak ketimbang harapan. Belum dapat dipastikan Indonesia sedang bergerak menuju transisi demokrasi atau rekonsolidasi otoritarianisme.

Dalam pengamatan Eep, ada kecenderungan kuat berbagai kekuatan politik lebih senang mengurusi titik pecah ketimbang titik temu. Partai politik dan mahasiswa pun mengalami disorientasi: antara menghela demokratisasi secara konsisten atau menyokong tanpa sengaja reinkarnasi Orde Baru. Kalangan reformis rupanya salah duga. Gerakan reformasi ternyata lomba lari maraton, bukan sprint berjarak pendek. Gerakan reformasi mulai tampak kehabisan napas.

Melaksanakan amanat sejarah yang tertunda-tunda terus itu, demikian Eep, jelas bukan pekerjaan ringan. Sebab, dalam empat dekade terakhir Indonesia mengalami pelumpuhan tradisi beroposisi. Memulai sesuatu yang lama absen tentu saja menimbulkan kegamangan. Namun, Eep tetap pada keyakinannya bahwa membangun visi dan aksi oposisi yang solid tetap merupakan kebutuhan mendesak.

Beroposisi berarti melakukan pengawasan atas praktik kekuasaan. Ketika kekuasaan melenceng, oposisi mengabarkan kekeliruan itu, seraya membangun perlawanan. Ke-tika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar, oposisi menggarisbawahinya, seraya membangun kesadaran publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi.

Oposisi, menurut penulis buku itu, dengan demikian membangun model partisipasi politik bertumpu pada keadilan. Oposisi adalah kegiatan menyerukan kebenaran dan melawan kemunkaran (amar ma'ruf nahi munkar).

Melalui buku tersebut, rupanya Bung Eep hendak menyerukan kepada bangsa ini, bahwa beroposisi itu penting dan harus dilakukan demi lurusnya jalannya penyelenggaraan negara.
Selamat datang oposisi.

(J Sumardianta, guru SMU Kolese de Britto Yogyakarta)